Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | dewa aditya
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) (Foto/Siswowidodo)

Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Pada tahun 2017 jumlah penduduk di Indonesia mencapai lebih dari 225 juta jiwa dan sekitar 4,5 juta orang bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rasio kerja PNS di Indonesia sebesar 1,7 persen yang berarti setiap 1,7 orang PNS harus mampu untuk melayani 100 masyarakat Indonesia (Praditya, 2017).  Lalu apakah bisa?

Dalam undang-undang No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pada pasal 90 undang-undang tersebut  dijelaskan mengenai batasan usia pensiun dengan rincian: 58 tahun batas usia untuk pejabat administrasi dan 60 tahun batas usia bagi pejabat pimpinan tinggi. Sebelum diterapkan peraturan tersebut, PNS akan dipensiunkan pada usia 55 tahun.

Perubahan ini didasari oleh meningkatnya kemampuan PNS dan juga karena pola karier yang dilakukan berjenjang, maka akan sayang jika PNS pensiun lebih cepat. Namun sebaliknya, ada juga yang berpendapat jika sebaiknya pensiun dilakukan di umur 45 tahun untuk membuka kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan produktivitas negara.

Pada tahun 2020, menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, jumlah PNS yang pensiun mencapai 752.271 orang.  Banyaknya jumlah pensiunan tentunya akan memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Dan terdapat skema baru pensiunan yang berpotensi memberikan dana pensiun hingga Rp.1 miliar. “Namun hal ini masih menunggu peraturan pemerintah” ujar kepala BKN.

Dalam riset yang di lakukan oleh Melbourne Mercer Global Pensions Index (MMGPI), dikatakan bahwa negara dengan sistem pensiun pegawai terbaik diduduki oleh Belanda dan Denmark dengan nilai A. beberapa alasannya yaitu sebagian besar pekerja mendapatkan manfaat dalam program tunjangan pasti berdasarkan rata-rata pendapatan seumur hidup.

Selanjutnya, tingkat keamanan finansial yang baik diberikan pada saat pensiun dan adanya kepercayaan masyarakat. Dalam riset ini juga dijelaskan bahwa pada negara di Asia termasuk Indonesia yang membuat penilaiannya rendah adalah karena kurangnya transparansi dan juga kurangnya menabung untuk pensiun dibandingkan dengan negara-negara lain (Sari, 2019).

Beberapa waktu belakangan ini persoalan pensiun dini di kalangan PNS mulai diperbincangkan kembali. Seperti yang diketahui, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2/2019 tentang Tata Cara Persiapan Pensiun agar para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat menikmati masa pensiunnya dengan baik.

Terlebih lagi, Kementerian Keuangan Republik Indonesia juga berencana akan melakukan perubahan terkait skema pendanaan pensiun untuk para PNS baru di tahun 2020. Tentu, dengan adanya dua hal tersebut memungkinkan adanya untung dan rugi bagi individu, lembaga atau negara jika diimplementasikan.

Dilihat dari sisi individu, upaya pensiun dini untuk para PNS saat ini memungkinkan untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan pensiun dini bagi PNS yang menempati golongan tinggi akan mendapatkan dana pensiun sebesar 75 persen dari gaji pokok pada saat PNS tersebut aktif. Pensiun dini atau yang biasa disebut sebagai pemberhentian secara hormat oleh pemerintah akan tetap mendapatkan gaji yang sudah ditetapkan oleh peraturan.

Terdapat banyak program pensiun dini seperti seperti golden shake hand bagi 1000 pegawai yang ingin pensiun dini di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Program tersebut memang ditujukan kepada para pegawai yang memiliki umur diatas 50 tahun ataupun yang sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun (Debora, 2017).

Dari sisi lembaga atau negara, salah satu hal yang dapat dijadikan acuan dalam melihat untung dan rugi dalam pelaksanaan pensiun dini yaitu dengan melihat sistem pendanaan pensiun yang digunakan di Indonesia. Sistem pendanaan pensiun  pay as you go yang digunakan saat ini dinilai dapat membebani keuangan negara Indonesia. 

Hal tersebut dikarenakan dana pensiun tidak dikelola secara berkelanjutan yang nantinya menyebabkan pembiayaan akan bergantung pada alokasi dana yang ada pada APBN di setiap tahunnya. Terlebih lagi dana yang diberikan untuk pensiunan PNS dari tahun ke tahun semakin bertambah. Pada tahun 2017 alokasi dana untuk pensiun PNS diperkirakan Rp 75 triliun hingga Rp 76 triliun, tahun 2018 sejumlah Rp 90 triliun, dan tahun 2019 sejumlah Rp 117 triliun. 

Maka dengan begitu, akan lebih menguntungkan jika sistem pendanaan pensiun PNS menggunakan sistem fully-funded seperti yang sedang direncanakan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dimana pemberian dana pensiun PNS dalam sistem tersebut dihasilkan dari iuran yang dikumpulkan dari PNS sebagai pekerja dan pemerintah sebagai pemberi kerja (Suripto, 2014).

Hal selanjutnya yang dapat dijadikan acuan untuk menimbang untung dan rugi dalam pensiun dini yang ada pada PNS yaitu Batas Usia Pensiun (BUP). Penelitian yang dilakukan oleh Argo Pambudi dan Joko Kumoro dengan judul “Analisis Kebijakan Batas Usia Pensiun PNS dalam UU No.5 Tahun 2004 Tentang Aparatur Sipil Negara” menyebutkan bahwa BUP tidak selalu menjadi faktor yang menyebabkan keefektifan seorang PNS dalam bekerja, melainkan lebih banyak didorong oleh faktor motivasi dan semangat kerja, kesehatan, dan lain-lain.

Seorang PNS yang berusia muda dan tua dapat memiliki keefektifan kinerja yang berbeda karena faktor selain usia tersebut. Dengan begitu, persoalan yang harus dihadapi oleh kebijakan BUP PNS yaitu pada tahap implementasi karena nyatanya kebijakan tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap produktivitas atau kinerja pada PNS.

Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh kepala BKN pada tahun 2019, bahwa kinerja PNS di lapangan masih buruk berdasarkan banyaknya komplain yang diberikan oleh masyarakat maupun kepala daerah terkait kinerja PNS karena tidak dapat mengikuti ritme kerja yang cepat. 

Pada akhirnya, pensiun dini untuk PNS dapat dikatakan bukanlah suatu hal yang buruk setelah menimbang untung dan rugi pada sisi individu, lembaga atau negara. Namun, hal tersebut juga harus diimbangi dengan usaha perbaikan yang terus menerus dilakukan terkait implementasinya. Dengan begitu, kesejahteraan para pensiunan PNS serta keproduktifitasan lembaga dan negara yang terkait dapat terwujud.

dewa aditya