Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)
Steven Lukes, sosiolog ternama dunia (Sumber: New York University)

Kekuasaan pada dasarnya merupakan jantung dalam ilmu politik atau dapat disebut juga kekuasaan menjadi darahnya ilmu politik sehingga berpolitik tanpa kekuasaan adalah hal kemunafikan. Kekuasaan bisa bekerja baik secara kasat mata maupun tidak, bahkan sebagian besar ilmuwan politik percaya jika kekuasaan akan bekerja secara optimal dalam kondisi yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.

Berbicara tentang kekuasaan, jika dihubungkan dengan fenomena kontemporer saat ini yang terjadi, ada dinamika kekuasaan yang bekerja di tengah konflik dan penolakan yang bergejolak. Kekuasaan atau yang sering kali ditukargulingkan dengan kekuatan sebetulnya menjadi perbincangan menarik bahkan perdebatan serius dalah kalangan ilmuwan politik. Oleh karena itu, untuk membaca bagaimana kekuasaan itu bekerja juga dapat ditinjau dari berbagai sisi kekuasaan.

Kali ini penulis berusaha membaca kekuasaan negara yang baru saja mengesahkan Omnibus Law RUU cipta kerja menjadi Undang-Undang menggunakan perspektif tiga wajah kekuasaan yang diutarakan oleh Steven Lukes. Steven Lukes merupakan sosiolog yang terkenal dengan teori tiga wajah kekuasan dalam bukunya berjudul Power: A Radical View.

Teori ini sebenarnya muncul sebagai kritik atas pendapat Robert Dahl yang mengutarakan jika kekuasaan ialah satu wajah dan juga Peter Bachrach  dan Morton Barazt yang mengutarakan wajah kekuasaan adalah dua wajah. Walaupun tiga wajah kekuasaan Steven Lukes tidak lepas dari kritikan selanjutnya, namun penulis merasa perlu membaca Omnibus Law UU Cipta Kerja dibenturkan dengan konsep kekuasaan pandangan Steven Lukes.

1. Kekuasaan Pengambilan Keputusan

Wajah pertama kekuasaan menurut Steven Lukes adalah “kemampuan untuk membuat keputusan”. Melihat peristiwa disahkanya Omnibus Law cipta kerja sebenarnya menjadi RUU inisiatif pemerintah yang pada akhirnya disahkan bersama-sama oleh DPR.

Disahkanya Omnibus Law RUU cipta kerja menjadi UU bermakna bahwa kekuasaan telah berhasil membuat keputusan terlepas dari dinamika politik dan persoalan yang ditimbulkan. Wajah pertama kekuasaan Lukes menekankan pada pembuatan keputusan bukan menekankan pada proses, prosedur, dialog, dan lainya.

Jika dalam membuat keputusan harus melewati tahapan yang begitu kompleks dan rumit misalnya melibatkan partisipasi masyarakat, kepentingan bersama, dan persetujuan mayoritas namun menurut Lukes terlepas dari itu semua yang paling penting bisa membuat keputusan. Baik itu keputusan yang bisa diterima publik atau tidak, direspons positif atau negatif, melalui mekanisme yang ditentukan atau tidak, dan yang pasti keputusan telah diambil. Menggunakan dalil wajah pertama Lukes, maka kekuasaan dalam hal pengesahan Omnibus Law cipta kerja menjadi UU maka pada lingkaran itulah kekuasaan telah bekerja.

2. Kekuasaan Non-Pengambilan Keputusan

Wajah kedua kekuasaan menurut Steven Lukes adalah “kekuasaan tercermin dalam kemampuan untuk suatu agenda politik dan mencegah keputusan-keputusan lain yang semestinya diambil”. Dalam membaca Omnibus Law cipta kerja ini menggunakan wajah kedua ada hal yang menarik untuk dianalisis. Hal tersebut karena disahkanya Omnibus Law cipta kerja menimbulkan gejolak publik baik kalangan buruh dan mahasiswa bahkan secara terang-terangan akademisi juga mengutarakan Omnibus Law cipta kerja cacat baik dari awal proses hingga disahkan menjadi UU.

Ketika keputusan yang diambil menimbulkan konflik sesuai wajah yang kedua lalu ada agenda politiknya ada dimana? Dan lantas keputusan-keputusan yang mana yang seharusnya diambil oleh penguasa?

Tidak bisa terelakkan jika Omnibus Law cipta kerja yang disahkan banyak menguntungkan pihak economic society atau pengusaha sehingga sektor UMKM, buruh, pekerja dan lainya akan menjadi terdampak dan kalah bersaing. Bahkan menurut salah satu pakar hukum tata negara UGM Omnibus Law cipta kerja akan melahirkan sistem kapitalis yang dinilai membahayakan.

Di sisi lain juga menurut secara lingkungan akan merusak karena ada kebebasan yang diberikan oleh negara kepada pengusaha sehingga akhirnya sumber daya kita akan terancam krisis. Suara-suara masyarakat madani misalnya Muhammadiyah dan NU yang jelas merasa menolak dan keberatan namun faktanya mulus disahkan oleh penguasa. Lantas tidak salah jika ada kepentingan atau agenda politik antara penguasa dengan kapitalistik.

Di sisi lain keputusan yang semestinya tidak dihambat ialah membuat keputusan yang melalui proses awal hingga akhir dengan baik, melibatkan partisipasi publik, sehingga itulah idealnya. Namun itu dihambat seolah-olah Omnibus Law cipta kerja menjadi hal prioritas di tengah-tengah negara gagal membendung penyebaran pandemi yang semakin melonjak naik.

3. Kekuasaan Ideologis

Wajah ketiga kekuasaan menurut Lukes ialah “kekuasaan bisa berbentuk pengendalian terhadap pikiran orang lain dengan memanipulasi persepsi dan preferensi orang lain”. Membaca wajah ketiga dari Omnibus Law cipta kerja nampaknya belum terbentuk sempurna. Di satu sisi pemerintah, DPR dan kapitalistik telah setuju dengan regulasi yang dibuat dengan tujuan kesejahteraan publik namun di sisi lain publik terlalu cerdas dalam membaca regulasi yang dibuat oleh elit politik.

Penguasa dan kapitalistik gagal dalam mempengaruhi persepsi publik sehingga implikasinya ialah munculnya gejolak demonstrasi diberbagai daerah yang menuntut pembatalan Omnibus Law cipta kerja yang disahkan secara cacat secara mekanisme pembentukanya.

Partisipasi publik dibungkam, ruang demokrasi dirajut rapat tanpa celah, sehingga kebebasan yang semestinya terjadi justru melahirkan oligarki kekuasaan yang membuat publik menjadi tidak lagi percaya terhadap penyelenggaraan negara. Hal tersebut wajar karena menurut Lukes apalagi kekuasaan dalam negara demokrasi tidak boleh memunculkan Dass Sollen dan Das Sein, di mana yang seharusnya dilakukan namun faktanya jauh berbeda.

Dengan begitu negara gagal mempengaruhi publik dan risikonya chaos menjadi hidangan bagi negara sebagai akibat dari kegagalanya. Tentu sebagai sebuah negara yang telah konsistem memakai sistem demokrasi seharusnya memang pilar demokrasi dijunjung tinggi.  Rakyatlah yang memiliki kedaulatan tertinggi atas segala kebijakan. 

Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)