Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Nindi Aulia Putri
Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2017). [Suara.com/Adhitya Himawan]

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal memperkirakan deflasi masih akan berlanjut pada Oktober ini karena daya beli masyarakat masih lemah.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2020 mengalami deflasi sebesar 0,05 persen secara month-to-month (mtm). Sedangkan secara year-on-year (yoy), IHK mengalami inflasi sebesar 1,42 persen.

Bahkan, Faisal memperkirakan inflasi tahun 2020 akan berada pada kisaran yang rendah, yaitu sebesar 1,1 persen. Perkiraan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan target batas bawah Bank Indonesia, yaitu sebesar 2 persen.

Faisal menambahkan, “Hanya di bulan November dan Desember akan terjadi inflasi tipis. Sedangkan dilihat dari polanya saat ini, saya perkirakan bulan Oktober deflasi lagi, maka total inflasi tahun ini jika diakumulasikan sebesar 1,1 persen,”

Adapun hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menurut Faisal adalah penanggulangan wabah Covid-19.

Keberhasilan dalam penanggulangan dan pengendalian wabah Covid-19 akan menjadi siasat penting untuk meningkatkan konsumsi, khususnya bagi masyarakat kelas menengah atas yang berperan sebagai penyumbang paling besar dalam konsumsi nasional, yaitu sekitar 50 persen.

Faisal mengatakan bahwa upaya preventif yang dilakukan pemerintah masih belum maksimal karena realisasi anggaran masih sangat timpang dengan kebutuhannya. Ia menyarankan jika pemerintah fokus menanggulangi kesehatan, maka beberapa hal bisa dikendalikan untuk menahan laju penyebaran Covid-19, seperti pembagian masker gratis kepada masyarakat atau tes Covid-19 secara massal dan gratis. Namun nyatanya, hal tersebut tidak dilakukan pemerintah sampai saat ini terhitung sudah tujuh bulan sejak awal pandemi.

Ia menyatakan jika program bansos dari pemerintah memiliki kontribusi yang rendah terhadap ekonomi karena hanya bisa menahan anjloknya daya beli, bukan meningkatkan. Tidak heran bisa terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) memberi isyarat bahwa tingkat daya beli masyarakat akan melemah sampai akhir 2020. Hal ini tentu akan berdampak pada rendahnya kontribusi pertumbuhan konsumsi ke perekonomian nasional.

Isyarat ini berasal dari laju inflasi yang diprediksi berada di bawah 2 persen pada tahun 2020. Proyeksi itu sejatinya tak sampai pada batas bawah target inflasi bank sentral nasional, yaitu sebesar 3 persen plus minus 1 persen atau setara dengan 2 persen sampai 4 persen.

Dikutip dari CNNIndonesia.com, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan dalam konferensi pers hasil RDG BI periode Oktober 2020 secara virtual pada Selasa (13/10), "Inflasi memang rendah dan akhir tahun ini, diperkirakan berada di bawah batas bawah kisaran, yaitu di bawah 2 persen."

Perry menyatakan bahwa prediksi ini berhubungan dengan laju Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencantumkan penurunan harga atau deflasi dalam tiga bulan berturut-turut. Deflasi terakhir pada September 2020 sebesar 0,05 persen secara month-to-month (mtm).

Akibatnya, tingkat inflasi baru mencapai 0,89 persen secara periode berjalan dari Januari-September 2020. Sementara secara tahunan, inflasi berada di kisaran 1,32 persen jika dibandingkan dari September 2019.

Perry menyatakan bahwa Inflasi yang rendah dipengaruhi turunnya inflasi inti sejalan dengan lemahnya permintaan domestik. Selain itu, inflasi inti yang tetap rendah juga dipengaruhi oleh konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi, dan stabilitas nilai tukar yang terjaga.

Khusus untuk kelompok harga bergejolak (volatile food), Perry melihat kondisi inflasi kelompok ini cukup rendah karena ada penurunan harga bahan pangan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh peningkatan pasokan karena panen di beberapa sentra produksi, distribusi yang terjaga, dan rendahnya harga komoditas pangan global.

Sementara inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) melambat terutama didorong berlanjutnya penurunan tarif angkutan udara di tengah kenaikan harga jual aneka rokok seiring kenaikan permintaan. Lebih lanjut, Perry memperkirakan inflasi mungkin baru akan meningkat pada tahun depan seiring dengan pemulihan ekonomi nasional.

Menurut perkiraannya, laju inflasi akan kembali pada kisaran target 3 persen plus minus 1 persen di tahun 2021. Meskipun inflasi akan rendah sampai akhir tahun, Perry tetap optimis bahwa kondisi ini bisa memberi dampak positif bagi stabilitas nilai tukar rupiah yang saat ini masih di bawah nilai fundamental (undervalue).

Adanya bayangan inflasi yang terkendali terutama bersumber dari tekanan inflasi seluruh kelompok yang relatif masih lemah. Inflasi inti akan tetap terjaga sejalan dengan permintaan yang masih lemah akibat pandemi Covid-19.

Inflasi kelompok volatile food juga diprediksi tetap rendah seiring lemahnya permintaan pada beberapa komoditas dan tersedianya pasokan barang didukung oleh komitmen pemerintah untuk menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi selama masa pandemi Covid-19.

Selain itu, terjaganya inflasi administered price juga sejalan dengan permintaan yang belum kuat. Bank Indonesia senantiasa konsisten dalam menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna mengendalikan inflasi tetap dalam kisaran targetnya.

"BI melihat bahwa rupiah ke depan akan menguat. BI akan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan mekanisme pasar," pungkas Perry.


Oleh:  Nindi Aulia Putri / Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta

Nindi Aulia Putri

Baca Juga