Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi deflasi

Inflasi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan suatu kondisi kecenderungan naiknya harga barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung terus menerus. Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa tersebut menyebabkan turunnya nilai uang.

Dengan demikian, inflasi dapat juga diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Sementara, deflasi merupakan kebalikan dari inflasi. Deflasi secara makna berarti suatu keadaan yang menunjukkan penurunan harga suatu barang atau jasa yang terjadi secara terus menerus dalam kurun waktu relatif singkat.

Jika diamati bersama, pola inflasi yang terjadi di  Indonesia dari tahun ke tahun biasanya mengalami inflasi lebih tinggi pada awal tahun, kemudian semakin meningkat pada pertengahan tahun dan akan mengalami pernurunan kembali saat menjelang penutupan akhir tahun.

Banyak penyebab yang menjadikan pola inflasi tersebut, salah satunya berkaitan dengan peningkatan permintaan barang/jasa pada awal tahun yang diakibatkan oleh adanya euphoria pergantian tahun baru dan adanya sisa efek perayaan hari besar di akhir tahun sebelumnya.

Kemudian, pada pertengahan tahun Indonesia memasuki masa liburan semester anak-anak sekolah yang menyebabkan permintaan barang atau utamanya jasa meningkat akibat liburan tersebut, selanjutnya di rentang waktu pertengahan tahun hingga menjelang akhir tahun geliat permintaan barang/jasa relatif stabil dan akan meningkat saat pekan terakhir akhir tahun yang dampak geliat permintaanya akan terasa pada awal tahun berikutnya. Tiga fase naiknya permintaan barang/jasa yang lazim terjadi di Indonesia menjadi salah satu penyebab pola inflasi  terjadi hampir selalu sama di setiap tahunnya.

Ditinjau dari teori inflasi berdasarkan sebabnya pada asumsi demand pull inflation. Di mana dikatakan bahwa adanya peningkatan inflasi akan menambah output yang akan memberikan efek domino pada peningkatan jumlah GDP.

Penambahan jumlah output itu akan berkaitan dengan penambahan jumlah input yang terserap, sehingga secara teoritis di kondisi normal peningkatan inflasi yang diakibatkan oleh demand pull inflation akan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan secara otomatis mengurangi angka pengangguran. Maka, inflasi jika ditinjau dari asumsi demand pull inflation akan berdampak terbalik dengan jumlah pengangguran.

Namun, saat ini kondisi anomali tengah terjadi di Indonesia. Bukan tanpa alasan, namun jelas terjadinya perubahan besar pada hampir seluruh aspek perekonomian diakibatkan adanya pandemik Covid-19 sejak bulan Maret 2020. Pola inflasi yang biasanya mengalami peningkatan pada pertengahan tahun, justru sejak Maret hingga September 2020 terpantau terus mengalami penurunan hingga mengalami deflasi.

Kini, Indonesia mengalami deflasi pada 3 bulan terakhir. Berdasarkan data yang rilis oleh BPS pada tahun 2020, dari laporan inflasi bulanan Indonesia selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli hingga September dengan masing-masing nilai inflasi sebesar -0,10 pada bulan Juli, -0,05 pada bulan Agustus, dan -0,05 pada bulan September.

Dalam perspektif masyarakat awam, deflasi yang terjadi dapat dianggap sebagai keuntungan, akibat adanya penurunan harga barang/jasa di pasaran yang seharunya membuat masyarakat dapat meningkatkan pembelian sejumlah barang/jasa. Sebagaimana yang ada pada hukum permintaan, jika suatu barang mengalami penurunan harga, maka jumlah output barang/jasa yang diminta oleh masyarakat idealnya akan meningkat.

Namun, fakta yang terjadi saat ini tidak demikian, ditengah menurunnya harga barang/jasa selama 3 bulan terakhir, justru menunjukan adanya fakta bahwa geliat perekonomian yang berkembang di masyarakat baik pada sektor riil, perbankan ataupun sektor lainnya tetap mengalami kelesuan. Kondisi tersebut selaras dengan prediksi Bappenas pada tahun 2020, bahwa jumlah pengangguran di Indonesia akan meningkat dari semula 4 – 5 juta penganggur menjadi 11 juta penganggur. Mengapa demikian?

Hal tersebut terjadi karena adanya pelemahan daya beli masyarakat yang mengakibatkan lemahnya kemampuan permintaan barang/jasa yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Kendati harga barang/jasa menurun, namun kemampuan daya belinya juga menurun, permintaan dipasaran tidak akan naik, dan geliat pasar pun akan tetap tidak ada perbaikan yang signifikan.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa daya beli masyarakat mengalami penurunan? Daya beli masyarakat yang mengalami penurunan ini ada kaitannya dengan kondisi inflasi yang menurun atau dalam kata lain deflasi yang sedang terjadi.

Kondisi Deflasi yang memiliki keterbalikan kondisi dari inflasi pada asumsi demand full inflation akan berdampak pada menurunnya jumlah output produksi yang dihasilkan suatu negara, oleh karena itu pengurangan jumlah tenaga kerja merupakan suatu kepastian yang terjadi, dan dampaknya jumlah pengangguran akan semakin meningkat.Fenomena inilah yang saat ini sedang terjadi di Indonesia. 

Alih-alih dianggap deflasi sebagai angin segar karena harga-harga menurun, namun jika diimbangi dengan penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja atau dalam kata lain meningkatkan jumlah pengangguran dalam masyarakat, maka deflasi bisa menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia, jika sampai akhir periode pada tahun ini perputaran uang dan permintaan pasar semakin melemah tanpa diatasi secara serius dan komprehensif oleh para pemangku kepentingan di negara ini.

Bank Indonesia selaku otoritas moneter sejak awal adanya pandemik, sebetulnya sudah melakukan kebijakan ekonomi ekspansif, untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

Transmisi kebijakan menjadi salah satu langkah untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari jurang kelesuan, mulai dari penurunan BI 7DRRP yang memiliki efek domino pada penurunan tingkat suku bunga kredit dan deposito, kemudian akan berdampak pada peningkatkan penyaluran kredit, kemudian penurunan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada akhirnya mengurangi kemampuan dalam kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi, serta sejumlah dampak lainnya dari  kebijakan moneter ekspansif yang dilakukan.

Namun, jika dilihat dari sisi permintaan kredit, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu. Kerja dari transmisi kebijakan ini memerlukan timelag yang tidak bisa secara spontan di prediksi.

 Timelag yang berjalan pada tiap-tiap kebijakan transmisi tersebut akan memerlukan waktu yang berbeda-beda sehingga transisi kebijakan yang sudah dilakukan oleh Bank Indonesia pun belum terlalu memberikan hasil yang memuaskan bagi peningkatan geliat perekonomian Indonesia.

Pada akhirnya perbaikan kondisi pada sektor keuangan, perbankan, serta pemulihan kondisi yang terjadi pada sektor riil menjadi menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter yang sudah dilakukan. Oleh karena itu, Deflasi yang terjadi bukanlah kabar baik dari harapan adanya pemulihan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pasca terjangan pandemik Covid-19 ini.

Pemerintah, otoritas moneter, dan masyarakat masih harus bersinergi bersama dalam membangkitkan lagi perekonomian Indonesia, dimulai dengan membangkitkan sektor-sektor riil yang ada dibawah yang menjadi roda penggerak perekonomian yang utama.