Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara bagian di dunia berhasil menimbulkan berbagai dampak sosial masyarakat. Dampak tersebut tak terkecuali memberikan tekanan berat bagi sektor perekonomian baik dari sisi penawaran maupun permintaan.
Sejak tahun 2018 hingga tahun 2020 saat ini, laju inflasi di Indonesia dinilai semakin rendah. Diproyeksikan hingga akhir tahun 2020, inflasi berada di bawah target pemerintah sebesar 3%, bahkan dapat berada di bawah inflasi tahun lalu yang sebesar 2,72%. Proyeksi tersebut memang didasarkan karena tren pola inflasi yang terus melandai. Bahkan dalam tiga bulan terakhir di tahun ini, Indonesia mencatat deflasi secara beruntun.
Dilansir dari www.kemenkeu.go.id dalam laporan ekonomi keuangan dan bulanan September 2020, tren perlambatan laju inflasi masih berlanjut hingga Agustus yaitu sebesar 1,32% (yoy) atau secara kumulatif mencapai 0,93% (ytd), jauh lebih rendah dibandingkan pola 3 tahun terakhir yang mencapai 3,50% (yoy) atau 2,38% (ytd).
Jika dibandingkan dari bulan sebelumnya, terjadi deflasi sebesar 0,05% (mtm). Deflasi yang terjadi selama dua bulan berturut-turut dapat memberikan sinyal bahwa permintaan domestik masih lemah sebagai dampak pandemi Covid-19. Perlambatan inflasi juga dicerminkan dari penurunan harga yang hampir terjadi di seluruh kelompok pengeluaran, baik komoditas pangan maupun non-pangan.
Onny Widjanarko selaku Direktur Eksekutif Informasi, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia mengatakan berdasarkan prediksi BI pada Oktober 2020 ini akan kembali mengalami inflasi.
Survei pemantauan harga pada minggu ketiga di bulan Oktober menunjukkan bahwa bulan ini akan mengalami inflasi 0,04% secara month on month (mom). Dengan perkembangan tersebut, perkiraan inflasi Oktober 2020 secara tahun kalender atau year to date (ytd) sebesar 0,93%, dan secara tahunan atau year on year (yoy) sebesar 1,41%.
Adapun penyumbang utama inflasi pada periode laporan bulan ini antara lain berasal dari kenaikan harga cabai merah sebesar 0,08% dari bulan lalu, dan harga bawang merah naik 0,02% selama sebulan terakhir.
Harga minyak goreng pun juga naik 0,01% dibandingkan dengan harga pada September 2020, sementara pada periode yang sama harga daging ayam ras juga naik tipis sebesar 0,01%. Namun demikian, harga sejumlah komoditas juga turun sehingga mampu menahan laju kenaikan harga barang pada Oktober 2020.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi di sepanjang tahun 2020 akan meleset dari target. Sebelumnya, bank sentral menargetkan inflasi tahun ini berada pada kisaran 2% - 4%. Ekonom bank Permata, Josua Pardede juga memperkirakan inflasi di tahun 2020 akan berada di bawah 2%, hal ini sejalan dengan masih lemahnya daya beli masyarakat di tengah pandemi.
Menurut perhitungan Josua Pardede, apabila inflasi di akhir tahun ini bisa berada dalam sasaran BI, maka dibutuhkan rata-rata inflasi bulanan sebesar 0,36% hingga 0,37% dari bulan Oktober 2020 hingga bulan Desember 2020.
Bank Indonesia (BI) turut memberi sinyal tingkat daya beli masyarakat akan lemah sampai akhir tahun 2020. Hal ini akan memberi dampak pada rendahnya kontribusi pertumbuhan konsumsi ke perekonomian nasional tahun ini. Sinyal ini berasal dari laju inflasi yang diperkirakan akan di bawah 2 persen pada tahun ini. Proyeksi itu bahkan tak sampai batas bawah target inflasi bank sentral nasional sebesar 3 persen plus minus 1 persen alias 2 persen sampai 4 persen pada tahun ini.
Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil RDG BI periode Oktober 2020 yang dilaksanakan secara virtual mengatakan proyeksi ini tak lepas dari kondisi terkait laju Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencatatkan penurunan harga alias deflasi dalam tiga bulan berturut-turut. Deflasi terakhir pada September 2020 sebesar 0,05 persen secara bulanan.
Pengamat ekonomi senior dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menganggap wajar terjadinya daya beli masyarakat lemah selama masih adanya pandemi Covid-19. Hal ini pun juga didorong oleh pembatasan aktivitas sosial masyarakat demi menghindari tertularnya wabah Covid-19.
Deflasi atau inflasi yang rendah sudah diperkirakan sebagai akibat dari menurunnya permintaan. Di tengah pandemi seperti saat ini permintaan turun disebabkan oleh menurunnya daya beli sebagian masyarakat.
Terpuruknya daya beli masyarakat utamanya didorong oleh anjloknya permintaan masyarakat kelas ekonomi bawah dikarenakan penurunan pendapatan. Sementara masyarakat kelas ekonomi menengah atas justru lebih memilih untuk menunda konsumsi.
Menurut Piter Abdullah, penurunan daya beli masyarakat bawah sudah dibantu dengan adanya berbagai stimulus yang telah digelontorkan pemerintah. Namun langkah tersebut dinilai belum cukup untuk mampu mengembalikan konsumsi kembali pada level normal. Sementara masyarakat menengah atas selama masih ada pandemi akan menahan konsumsi. Hal ini berarti penurunan konsumsi selama masih adanya pandemi adalah kondisi yang tidak terelakkan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai bahwa pemerintah perlu menaruh perhatian khusus terhadap penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat. Sebab konsumsi merupakan kontributor utama dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan hal utama yang harus dilakukan pemeritah dalam program PEN sekaligus mendorong pemulihan ekonomi yaitu berupa penanggulangan wabah Covid-19. Pasalnya, keberhasilan penanggulangan dan pengendalian wabah akan menjadi kunci penting dalam keberhasilan peningkatan konsumsi, khususnya untuk masyarakat kelas menengah ke atas yang berkontribusi sekitar 50 persen terhadap total konsumsi nasional.
Melansir dari situs resmi Presiden RI www.presidenri.go.id ,Jokowi menekankan sejumlah hal penting mengenai upaya pengendalian inflasi yang disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi Tahun 2020. Presiden Jokowi mengatakan, pengendalian inflasi saat ini tidak dapat hanya berfokus pada upaya-upaya pengendalian harga saja.
Akan tetapi juga harus diarahkan untuk memastikan daya beli masyarakat melalui penguatan perlindungan sosial serta dukungan terhadap sektor UMKM. Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah pusat telah menyalurkan berbagai skema program perlindungan sosial dan yang bersifat cash transfer mulai dari PKH, bantuan sosial tunai, BLT dana desa, Kartu Prakerja, Subsidi Gaji, hingga Bansos Produktif untuk membantu UMKM.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Maaf Rakyat! Meski Susah Beli Beras dan Hidup Pas-pasan, Sri Mulyani Tetap Bakal Naikkan PPN 12%
-
Data Ekonomi China Dorong Rupiah Berotot di Perdagangan Senin Pagi
-
Kolaborasi Riset Indonesia-Australia, Wujudkan Swakelola Limbah dan Ekonomi Sirkular di Citarum
-
Gapai Kebebasan Finansial di Masa Depan Lewat Investasi dan Trading Saham di BRIGHTS
-
Dongkrak Ekonomi Pesisir, Pelindo Adakan Pelatihan Pemasaran BUMMas
News
-
Mahasiswa Bisnis Perjalanan Wisata UGM Gelar Olimpiade Pariwisata #13 Tingkat Nasional
-
Bawakan Berbagai Genre Lagu, DNT Management Gelar Celebrate Zumba Party
-
Kesbangpol dan PD IPARI Karanganyar Gelar Pembinaan Kerukunan Umat Beragama untuk Meningkatkan Toleransi dan Harmoni
-
Sukses Digelar, JAMHESIC FKIK UNJA Tingkatkan Kolaborasi Internasional
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
Terkini
-
Review Buku Tuhan, Maaf Aku Kurang Bersyukur Karya Malik Al Mughis
-
Lagu NewJeans How Sweet: Manisnya Karma Baik dan Terusirnya Orang Toksik
-
4 Mix and Match Outfit ala Wendy Red Velvet, Keren dan Mudah Ditiru!
-
3 Pelembab untuk Skin Barrier Ramah di Kantong Pelajar, Harga Rp40 Ribuan
-
Lapor Mas Wapres ala Gibran: Kebijakan Strategis atau Populis?