Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Omnibus Law (freepik)

Perubahan skema pengupahan yang tercantum dalam Undang-Undang Cipta Kerja diperkirakan akan mempengaruhi penetapan upah pekerja di tahun 2021 mendatang. Beredarnya informasi menyatakan bahwa Ombibus Law Cipta Kerja akan menekan upah buruh, seperti upah yang dibayar per jam. Benarkah demikian?

Baru-baru ini serikat buruh diresahkan dengan sistem upah per jam yang kabarnya telah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

DPR telah mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada hari Senin (5/10/2020). Pengesahan RUU tersebut telah menimbulkan polemik, di mana buruh di berbagai daerah menolak Omnibus Law Cipta Kerja tersebut.

Serikat buruh menilai Undang-Undang Cipta Kerja menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten / Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Ketentuan UMK dan UMSK telah diatur dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum diatur di pasal 89 di mana upah minimum yang diterima pekerja berdasarkan pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Pasal 90 lebih lanjut menegaskan larangan bagi pemberi upah untuk membayar pekerja di bawah upah minimum.

Lebih lanjut, pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menjelaskan bahwa upah minimum dihitung setiap tahun dengan berdasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL). Penetapan upah minimum pun harus mempertimbangkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Direktur Pengupahan Kemenaker, Dinar Titus Jogaswitani menegaskan bahwa aturan sistem upah per jam dalam Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya belum diatur. Hal tersebut di sampaikannya untuk menjawab keraguan dan protes dari serikat buruh mengenai ketentuan upah per jam. “Jadi tidak merubah sistem yang sudah ada,” Ujar Dinar pada Rabu, 7 Oktober 2020.

Lantas, bagaimana nasib aturan tersebut di dalam Undang-Undang Cipta Kerja? Rupanya, Pasal 89 UU Ketenagakerjaan dihapus. Namun, pemerintah dan DPR menambahkan 5 pasal yakin pasal 88A, 88B, 88C, 88D, dan 88E di dalam Undang-Undang yang mengundang polemik tersebut.

“Gubernur dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten / Kota dengan syarat tertentu,” begitulah isi dari ayat (2) Pasal 88C.

Klausul ‘dapat’ dan ‘dengan syarat’ ini dinilai berpotensi membuat pekerja dalam satu provinsi mendapatkan upah dengan besaran yang sama terlepas dari perbedaan kondisi perekonomian tiap kabupaten/kota.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengemukakan skema penghitungan baru dalam UU Cipta Kerja bisa saja langsung berimbas pada upah minimum untuk 2021.

“Bisa saja Undang-Undang Cipta Kerja ini berdampak langsung pada upah minimum di tahun 2021. Tapi pemerintah harus sangat cepat menerbitkan aturan pelaksanaannya dan melakukan sinkronisasi,” katanya.

Dikutip dari Bisnis.com, Timboel Siregar pada hari Rabu, (7/10/2020) mengemukakan bahwa Selama ini UMP mendekati dengan UMK terendah. Kita bisa melihat contoh di Jawa Barat, untuk Karawang UMKnya sudah mencapai Rp4,5 juta, bandingkan dengan Banjar yang hanya Rp1,8. Bukan tak mungkin nantinya upah minimum pekerja Karawang menjadi Rp2 juta karena mengacu ke UMP.

Sistem upah per jam sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia industri, karena beberapa negara di dunia pun sudah memberlakukannya untuk beberapa jenis pekerjaan. Akan tetapi, sistem upah per jam di Indonesia dapat menjadi masalah yang besar menurut serikat buruh.

Sebelumnya, buruh menyatakan menggelar aksi mogok kerja pada tanggal 6-8 Oktober 2020. Para pekerja menyerukan penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja terutama pada klaster ketenagakerjaan.

Selain menekankan daya beli pekerja, dunia usaha  bisa turut terimbas karena barang dan jasa yang ditawarkan belum tentu diserap konsumen yang upahnya mengalami penyesuaian.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Undang-Undang Cipta Kerja hanya merugikan para buruh saja dan hanya menguntungkan pengusaha.