Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi- UU Ciptaker (Antara Lampung/HO)

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker)  yang baru saja disahkan 2 Nopember 2020 lalu pada dasarnya merupakan omnibus law yang digagas oleh pemerintah. Sebab di dalamnya terhimpun sebelas klaster atau bidang besar dan menyangkut 74 buah undang-undang terdampak.

Undang-undang omnibus law ini difokuskan untuk dapat menyelesaikan permasalahan tumpang tindihnya regulasi dan birokrasi. Pemerintah juga berharap undang-undang ini dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat serta dapat menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Khusus klaster kemudahan berusaha yang mengatur bidang perpajakan, ada tiga undang-undang perpajakan pusat yang terdampak dan masuk dalam omnibus law, yaitu: Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).

Dimasukkannya paket undang-undang perpajakan selaras dengan tujuan omnibus law itu sendiri, yaitu bahwa kebijakan pajak sebagai salah satu faktor penentu investasi perlu diperbaiki untuk menjaga iklim bisnis dan investasi, serta kemudahan usaha yang lebih kondusif.

Hal ini akan menghadirkan kebijakan fiskal nasional yang dapat menjaga kinerja penerimaan pajak melalui peningkatan investasi, kepatuhan pajak sukarela, serta kepastian hukum yang berkeadilan bagi iklim usaha.

Konsinyasi Dihapus

Ada  beberapa perubahan penting dalam aspek kebijakan objek PPN dan penyerahan barang kena pajak (BKP) dalam undang-undang omnibus law ini. Terkait kebijakan objek PPN, terdapat tiga substansi materi perubahan yang diusung oleh Pasal 112 UU Ciptaker ini, yaitu:

1) menetapkan hasil pertambangan batu bara sebagai BKP dengan mengubah Pasal 4A ayat (2) UU PPN,

2) mengeluarkan transaksi konsinyasi dari kategori penyerahan BKP yang terutang pajak dengan menghapus Pasal 1A ayat (1) huruf g UU PPN, serta  

3) menambahkan transaksi pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal pengganti saham (inbreng) sebagai transaksi yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP dengan mengubah bunyi Pasal 1A ayat (2) huruf d UU PPN.

Seperti diketahui, dalam akuntansi komersial penyerahan barang secara konsinyasi bukan merupakan penyerahan hak milik yang menyebabkan berpindahnya kepemilikan hak atas barang (transfer of tittle). Artinya, bagi pihak penerima barang (consignee), status barang tersebut adalah barang titipan, bukan hak miliknya, sehingga dalam pembukuan dia tidak boleh mencatat barang tersebut sebagai perolehan barang. Sebaliknya bagi pihak yang menyerahkan barang, catatan atas harta/ persediaan itu masih ada atau belum dikurangkan/ dihapuskan dari pembukuan.

Dalam penyerahan konsinyasi juga tidak ada unsur penyerahan penguasaan atas barang kepada pihak lain. Ini mengandung arti bahwa segala risiko terhadap barang baik secara fisik maupun kepemilikan tetap berada pada pihak yang menyerahkan barang (consignor).

Sebelumnya, ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf g UU PPN menyatakan bahwa penyerahan BKP secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang terutang PPN. Memori penjelasan UU PPN hanya menjelaskan bahwa dalam penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayarkan saat menitipkan BKP dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak terjadinya penyerahan BKP yang dititipkan tersebut.

Dalam hal BKP yang dititipkan tidak laku dijual atau dikembalikan, maka penjual yang menerima titipan dapat membuat nota retur atas pengembalian itu. Ketentuan ini berlaku sebagai dasar yuridis pengenaan PPN atas penyerahan BKP secara konsinyasi.

Ternyata rumusan penyerahan konsinyasi sebagai penyerahan kena pajak baru ada sejak 1 Januari 1995, yaitu sejak berlakunya perubahan pertama UU PPN 1984. Artinya, selama kurun 10 tahun sebelumnya tidak terdapat ketentuan yang mengatur pengenaan PPN atas transaksi konsinyasi ini.

Di samping itu, penjelasan dalam UU PPN juga bukan merupakan penjelasan yang bersifat substansi atas alasan mengapa konsinyasi dikenakan pajak. Tetapi penjelasan ini hanya  merupakan penjelasan teknis mengenai aspek administrasi pajaknya saja.

Tampak bahwa UU PPN lebih mengedepankan asas revenue optimation dalam penetapan transaksi konsinyasi sebagai penyerahan BKP. Di mana pengusaha yang menitipkan barang kepada pihak lain dianggap telah mempunyai niat untuk menjual barang itu.

Padahal pada saat pemilik menitipkan barang bukan berarti penjualan telah terjadi. Ketentuan ini menambah beban administrasi bagi pihak yang menitipkan barang karena harus memungut PPN dan menerbitkan faktur pajak, melaporkannya dalam surat pemberitahuan masa PPN, serta harus menyetorkan PPN jika terjadi  kurang bayar di laporan pajaknya tadi.

Kebijakan tersebut juga tidak selaras dengan asas ease of administration dalam teori pemungutan pajak. UU PPN hanya mengambil sisi praktisnya dengan mengenakan PPN dimuka atas penyerahan barang konsinyasi.

Bila ternyata barang tersebut tidak laku terjual dan dikembalikan, PPN yang sudah dipungut dapat diminta kembali dengan menerbitkan nota retur. Perlakuan ini tentunya kurang mengindahkan aspek keadilan dari sisi pengusaha, serta tidak sesuai dengan prinsip akrual dalam akuntansi yang berlaku umum.

Dari sudut pandang pajak penghasilan (PPh), penyerahan secara konsinyasi tidak dicatat sebagai penjualan yang menjadi objek pajak. Penghasilan (omset) baru dicatat jika barang tersebut benar-benar telah terjual. Jadi dalam hal ini prinsip akuntansi sejalan dengan prinsip pengakuan hak milik dalam PPh atas barang konsinyasi.

Dengan demikian penghapusan penyerahan secara konsinyasi dari pengertian penyerahan BKP oleh UU Ciptaker telah mengembalikan pengaturan PPN ke kondisi sebelum tahun 1995.

Lagi pula untuk tujuan penerimaan negara, masih ada sektor-sektor bisnis dan jenis transaksi lainnya yang lebih potensial menghasilkan pajak daripada transaksi konsinyasi ini.

Regulasi perpajakan seharusnya tetap mengedepankan asas keadilan (equity) dalam pemungutan pajak. Dalam transaksi konsinyasi pemerintah mestinya cukup bersabar sebentar,  toh jika memang telah terjadi penjualan pada akhirnya pajak akan masuk juga ke kas negara.

Penghapusan ketentuan barang konsinyasi dari kelompok penyerahan BKP yang terutang PPN memang sudah semestinya dilakukan.

Sebab, selain terdapat cacat akademis, memasukkan konsinyasi sebagai penyerahan yang terutang PPN hanya menguntungkan pemerintah dari sisi penerimaan pajak serta kurang memperhatikan sisi keadilan bagi masyarakat.

Mencabut ketentuan konsinyasi sebagai penyerahan BKP yang terutang PPN berarti mengembalikan pengaturan PPN ke masa sebelum tahun 1995, yang pada dasarnya tidak ada isu yang krusial dalam penerimaan pajak.