Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi belajar daring (foto by Julia M Cameron/pexels.com)

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sampai saat ini, masih membuat berbagai ruang akses publik dibatasi dengan standarisasi protokol kesehatan yang cukup ketat. Namun, tidak semua kegiatan bisa dilaksanakan secara langsung atau dengan tatap muka, pertemuan virtual masih menjadi salah satu alternatif terbaik, demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Pertemuan virtual tersebut dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat dan instansi. Salah satunya ialah instansi pendidikan, yang menerapkan sistem belajar mengajar secara daring selama masa darurat Covid-19, mengutip Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Surat edaran tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memperkuat surat edaran sebelumnya yaitu Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19).

Pembelajaran daring yang diterapkan dalam instansi pendidikan mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Perguruan Tinggi yang ada di seluruh Indonesia, tentunya menjadi suatu hal baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Setiap pagi, kami pelajar Indonesia yang biasanya berpacu dengan hiruk pikuk kemacetan lalu lintas tetapi, kini kami harus berpacu dengan jaringan internet, mencari posisi yang baik dan bagus agar jaringan kami stabil selama kegiatan pembelajaran daring berlangsung. Tidak mudah memang, khususnya untuk pelajar yang ada di daerah pedalaman, mungkin mereka akan lebih merasakan kendala jaringan yang kerap terjadi. Bahkan, kami pelajar Indonesia sudah melalui hal tersebut selama kurang lebih 9 bulan lamanya.

Bukan waktu yang singkat memang, banyak tantangan yang harus kami lewati. Sebenarnya tidak hanya jaringan yang menjadi kendala kami, ada banyak permasalahan yang harus segera diatasi, misalnya pembagian subsidi kuota yang belum merata serta fasilitas pendukung seperti handphone dan laptop yang belum tentu dimiliki.

Selama kegiatan pembelajaran daring berlangsung, tentu banyak perubahan sosial yang terjadi seperti kondisi psikis, mental, dan emosional siswa. Banyak hal yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan ekspresi secara langsung selayaknya pembelajaran luring.

Khususnya bagi siswa ataupun mahasiswa baru yang sedang menyesuaikan kondisi lingkungan pendidikan mereka saat ini. Pertemuan mereka dibatasi hanya via google meet ataupun zoom, sedangkan sebagai siswa maupun mahasiswa baru, mereka belum terlalu mengenal sifat dan kepribadian guru, dosen, ataupun teman mereka masing-masing secara langsung. Komunikasi yang mereka gunakan juga hanya via whatsapp dan aplikasi penunjang lainnya. Memiliki teman baru yang hanya bisa berinteraksi di media sosial memang tidak mudah. Namun, mereka harus bisa menyesuaikan kondisi tersebut.

Di dalam pembelajaran daring seperti ini, baik yang mengajar maupun pelajar kerap merasa kesulitan mengungkapkan ekspresi yang mereka rasakan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena mereka dibatasi oleh ruang dan waktu yang berada di dalam sebuah layar monitor, serta keadaan jaringan yang memungkinkan mereka bisa mengaktifkan kamera ataupun tidak.

Berbeda ketika mereka belajar luring, seorang guru bisa langsung memantau ekspresi siswa mana yang mengerti, tidak mengerti, memperhatikan, dan tidak memperhatikan materi pembelajaran yang sedang dijelaskan. Namun, ketika pembelajaran daring seperti ini seorang guru ataupun dosen merasa cukup sulit melihat ekspresi anak didiknya, terlebih lagi yang tidak bisa mengaktifkan kamera dikarenakan kondisi jaringan yang tidak stabil atau adanya kendala pada sistem yang digunakan. Jadi, guru maupun dosen tidak mengetahui apakah anak didiknya serius menyimak pembelajaran atau tidak.

Hal tersebut berbanding lurus juga dengan siswa yang merasa cukup sulit untuk mengeluarkan gagasan, opini, dan ekspresi yang ingin mereka ungkapkan. Berdasarkan wawancara singkat yang saya lakukan via whatsapp ke beberapa teman pelajar, mereka sepakat bahwa dalam pembelajaran daring ini ruang ekspresi menjadi terbatas.

Salah satunya yang berhasil saya wawancarai mengungkapkan bahwa "Ketika pembelajaran daring berlangsung, saya setuju sekali bahwa ruang ekspresi menjadi terbatas,karena mau menunjukan ekspresi apapun itu, participant yang ada di dalam layar monitor juga tidak ada yang memperhatikan,tetapi jika belajar luring tentunya saya bisa melihat secara langsung sesuai dengan penglihatan mata saya.

Jika saya menoleh ke kanan, tentunya bisa langsung melihat teman di kanan dan kiri saya sedang memasang ekspresi apa terhadap saya ataupun jika guru sedang memperhatikan kegiatan saya, tentunya secara pribadi saya akan langsung menyadarinya," kata Muhammad Eri Setyawan, mahasiswa baru jurusan Teknik Informatika, Universitas Budi Luhur.

Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa mereka mengaktifkan kamera hanya sebatas tanda kehadiran saja. Menurut mereka dalam pembelajaran luring siswa bisa melihat langsung ekspresi teman, guru, atau dosen, sedangkan dalam pembelajaran daring seperti ini tampaknya sangat sulit untuk diterapkan.

Jika mereka mengeluarkan ekspresi kesulitan saat pembelajaran yang sedang berlangsung, participant di dalam room virtual juga tidak ada yang memperhatikan, bahkan guru ataupun dosen pastinya hanya berfokus pada materi pembelajaran yang sedang dipresentasikan.

Biasanya di akhir sesi pembelajaran guru atau dosen akan membuka sesi tanya jawab untuk siswa ataupun mahasiswanya. Namun, ada permasalahan yang umum terjadi. Bagaimana jika ada siswa atau mahasiswa yang belum mengerti tetapi enggan untuk bertanya?

Biasanya faktor penyebab utamanya adalah rasa malu dan tidak percaya diri, tetapi dalam pembelajaran daring seperti ini faktor penyebabnya jadi bertambah, misalnya gangguan jaringan atau audio pada sistem yang digunakan ketika akan bertanya. Jika hal tersebut terjadi, solusinya ialah mereka bisa meminta tolong kepada salah satu teman untuk menyampaikan pertanyaan materi yang tidak dipahami agar proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif, meskipun dalam keadaan daring.

Kami berharap pandemi ini segera berakhir karena kami rindu bangku sekolah, goresan tinta di papan tulis yang guru atau dosen kami tuliskan, berpidato di depan mimbar sebagai bentuk ekspresi kebebasan dan kebahagiaan kami mengeluarkan pendapat, dan juga kami rindu teman-teman, khususnya siswa ataupun mahasiswa baru yang ingin melihat dan mengenal secara langsung sifat dan karakter teman mereka, sehingga tidak hanya sebatas kenal dan bertemu dalam ruang virtual meeting saja.

Baca Juga