Di tengah derasnya arus informasi yang dangkal dan maraknya disinformasi, membaca menjadi salah satu bentuk perlawanan personal demi melawan arus kebodohan.
Kita lebih sering disuguhkan konten video yang instan, narasi yang singkat, dan meme yang ringkas. Namun, di antara semua kebisingan digital itu, membaca bisa menjadi bentuk perlawanan yang memiliki kekuatan luar biasa.
Membaca bukan sekadar hobi, melainkan sebuah bentuk perlawanan atas kondisi saat ini yang penuh dengan manipulasi, kebohongan, dan arogansi kekuasaan.
Kondisi saat ini ditandai oleh dua fenomena besar, arus informasi yang tak terkendali dan maraknya manipulasi narasi. Di satu sisi, kita dibanjiri oleh hoaks, berita palsu, dan konten yang dangkal secara terus-menerus.
Hal ini membuat kita sulit membedakan fakta dari fiksi. Di sisi lain, ada pihak-pihak yang secara sistematis menyebarkan disinformasi untuk memecah belah masyarakat dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Mereka tahu, masyarakat yang malas berpikir dan mudah terprovokasi adalah target yang empuk. Di sinilah membaca menjadi senjata.
Membaca adalah gerbang menuju literasi kritis. Dengan membaca, kita tidak hanya menerima informasi, tetapi juga dilatih untuk menganalisis, mempertanyakan, dan menghubungkan satu gagasan dengan gagasan lainnya.
Buku, artikel, dan jurnal ilmiah memberikan perspektif yang mendalam dan berimbang, jauh dari sekadar judul yang sensasional atau narasi yang terpotong.
Membaca mengajarkan kita untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang disajikan, melainkan memprosesnya dengan akal sehat dan nalar. Ini adalah perlawanan pertama, melawan kebodohan yang dipelihara.
Membaca tidak harus selalu dari buku cetak. Di era digital ini, akses terhadap pengetahuan semakin melimpah. Membaca bisa dilakukan melalui berbagai media seperti artikel jurnal online, artikel di blog yang terpercaya, riset dari lembaga kredibel, atau surat kabar digital. Yang terpenting bukanlah formatnya, melainkan kualitas dari bacaan itu sendiri.
Membaca dari berbagai sumber ini justru memperkaya wawasan kita dan membantu kita melihat isu dari berbagai sisi. Ketika kita membaca laporan investigasi mendalam, kita sedang melawan narasi permukaan yang sengaja disebarkan.
Membaca adalah sebuah kegiatan aktif, bukan pasif, di mana kita secara sadar mencari pengetahuan untuk memahami dunia dengan lebih baik.
Membaca adalah bentuk empati. Saat kita membaca novel atau buku sejarah, kita dibawa masuk ke dalam kehidupan orang lain. Kita merasakan penderitaan mereka, memahami motivasi mereka, dan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Empati ini adalah penawar paling ampuh di tengah polarisasi, nirempati dan kebencian yang kini merajalela. Di saat media sosial dipenuhi dengan fitnah dan permusuhan antarkelompok.
Membaca mengingatkan kita bahwa setiap manusia memiliki cerita, perjuangan, dan kemanusiaan yang sama. Dengan memahami orang lain, kita bisa membangun jembatan, bukan tembok.
Membaca juga merupakan perlawanan atas arogansi kekuasaan. Rezim yang otoriter atau elite yang korup seringkali takut pada masyarakat yang cerdas dan kritis.
Mereka lebih suka rakyat yang patuh, mudah digiring, dan tidak mempertanyakan kebijakan. Oleh karena itu, membaca, terutama buku-buku yang mengkritik kekuasaan, buku sejarah yang mengungkap kebohongan, atau buku filsafat yang mendorong pemikiran radikal, adalah sebuah tindakan perlawanan lewat membaca.
Dengan membaca, kita memperluas wawasan dan membangun kesadaran yang sulit dibungkam. Setiap kata yang kita baca adalah satu langkah lebih dekat menuju pembebasan dari belenggu ketidaktahuan.
Jadi, ketika kita memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca alih-alih layar media sosial yang dangkal, kita sebenarnya sedang melakukan sebuah aksi perlawanan.
Kita menolak untuk menjadi boneka dalam permainan narasi, kita menolak untuk membenci tanpa alasan, dan kita menolak untuk menjadi bagian dari kerumunan yang tidak berpikir.
Membaca adalah sebuah revolusi personal yang dimulai di dalam diri, namun dampaknya bisa mengubah dunia. Ini adalah benteng yang dapat menjaga akal sehat dan kemanusiaan di tengah zaman yang semakin kacau.
Baca Juga
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
-
Keadilan bagi Affan: Ketika Kendaraan Negara Merenggut Nyawa Pencari Nafkah
Artikel Terkait
News
-
Heboh Prabowo Dikabarkan Mau ke Israel, Istana dan Gerindra Kompak Bilang Hoaks!
-
Begini Jawaban Menohok Robot AI saat Ditanya AHY Cara Memajukan Indonesia
-
Perempuan dan Segenggam Cita-cita: Kisah Lahirnya Gadis dan Penatu
-
Apa Itu Family Office? 5 Fakta 'Bank Sultan' Luhut yang Bikin Menkeu Purbaya Ogah Keluarin Duit APBN
-
Bikin Penasaran! Apa Sih Isi 'Bisik-bisik' Prabowo dan Trump di KTT Perdamaian Gaza?
Terkini
-
AXIS Nation Cup 2025: Pertarungan dan Sportivitas Para Juara Futsal Pelajar
-
AXIS Nation Cup 2025: Generasi Juara Futsal Pelajar Indonesia
-
Ulasan Novel Rumah Lentera: Teenlit Yang Nggak Cuma Omong Kosong Remaja
-
Istora Menggema! Kisah Kamil dari Depok Kejar Mimpi Juara di AXIS Nation Cup 2025
-
AXIS Nation Cup 2025 Mengguncang GBK Lewat Ultras Para Siswa