Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Hafsah Azzahra
Ilustrasi menikah (Pexels/Sandro Crepulja)

Cerita ini dimulai ketika setelah lebaran 2022 lalu, sepupu saya memutuskan untuk menikah. Berita bahagia ini telah disampaikan paman saya beberapa bulan sebelumnya.

Harusnya, datangnya hari dan kabar bahagia ini benar-benar membawa kebahagiaan bagi keluarga kami. Namun nyatanya, tidak demikian.

Adik sepupu saya yang sudah lama berpacaran dengan gadis yang memiliki perbedaan agama akhirnya naik ke pelaminan. Saat hari sakral itu terjadi, paman saya tidak bisa menutupi wajah sedihnya.

Saya tidak mengerti isi hati beliau yang sebenarnya. Namun, saya menduga hal tersebut terjadi karena beliau menyayangkan sang putra alias sepupu saya, menikah dengan wanita dengan perbedaan keyakinan.

Sebenarnya, hal ini bukan yang pertama dalam keluarga besar kami. Sebelumnya, adik paman saya juga menikah dengan wanita yang memiliki perbedaan agama. Sehingga, anak paman saya yang kedua memiliki perbedaan dalam menganut agamanya.

Anak perempuan mengikuti agama ibunya, sedangkan anak lelaki mengikuti agama paman saya yang kedua. Sejak kecil, saya sangat menyayangkan hal ini. Tidak dapat dipungkiri, saya sering menginginkan persamaan dalam keluarga besar saya dalam hal beragama, sama seperti keluarga besar yang lain.

Namun meski begitu, saya tetap menghormati dan menghargai segala bentuk perbedaan ini. Ketika kami berkumpul dalam momen seperti lebaran, kami tidak pernah membahas hal yang sekiranya menyinggung perbedaan di antara kami.

Suasana hangat dan nyaman selalu tercipta dari tahun ke tahun tanpa pernah mengusik perbedaan mencolok di antara kami. Sebagai minoritas, saya dan anggota keluarga yang lain tetap merangkul saudara saya yang memiliki perbedaan agama.

Demikian pula sekarang, saat saudara sepupu saya sudah menikah, yang menandakan ada anggota baru dalam keluarga kami. Sebagai keluarga, kami tetap menyambut dan menganggapnya sebagai saudara yang harus dirangkul.

Perbedaan keyakinan dalam keluarga besar kami akan semakin bertambah, karena anak perempuan paman saya yang kedua juga akan menikah dengan lelaki yang berseberangan keyakinan dengan kami.

Hal ini karena adik sepupu saya tersebut sejak kecil memang mengikuti agama ibunya, sehingga setelah dewasa, ia juga memilih lelaki yang memiliki keyakinan yang sama dengannya sebagai pendamping hidup.

Melihat peristiwa ini, saya dan anggota keluarga yang lain tetap memberikan toleransi dan menghargainya. Karena sejatinya, perbedaan memang ada bukan untuk memisahkan, melainkan sebagai pembelajaran untuk saling memahami.

Hafsah Azzahra