Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nida Aulia
Ilustrasi kebakaran hutan (Pexels/Pixabay)

Perubahan iklim sudah menjadi topik yang menarik sejak tahun 1960-an. Namun, tidak dapat disangkal bahwa perubahan iklim menjadi tantangan pada abad ke-21. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York, Amerika Serikat pada tahun 2019 menyebut perubahan iklim sebagai isu yang paling menentukan di zaman kita.

Pada Februari 2022, Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) telah menerbitkan laporan yang menyajikan berbagai skenario untuk masa depan bumi kita, menguraikan konsekuensi yang tak terhindarkan yang akan dihadapi manusia dalam beberapa tahun ke depan. Dalam semua skenario tersebut adalah tingkat pemanasan global dan perubahan iklim yang tinggi pada tahun 2040 yang akan menimbulkan berbagai risiko terhadap ekosistem alam dan kesehatan manusia secara global.

Konsensus ilmiah saat ini menyatakan bahwa pemanasan global sedang terjadi dan akan terus terjadi, dengan dampak yang signifikan pada kesehatan masyarakat dan lingkungan. International Psychoanalytical Association (IPA) kini menyebut perubahan iklim sebagai ancaman kesehatan global terbesar di abad ke-21.

Individu semakin menghadapi ketidakpastian terkait masa depan akibat perubahan iklim, seperti peristiwa cuaca ekstrem, peningkatan suhu, gangguan kesehatan pernapasan, perubahan ketersediaan air dan makanan, serta pengungsi massal akibat perubahan lingkungan. Menurut The Journal of Climate Change and Health, banyak orang yang merasa takut terhadap diri mereka sendiri, anak-anak mereka dan generasi mendatang tentang perasaan kehilangan, keputusasaan, dan kemarahan yang mendalam ketika mereka menyaksikan dampak perubahan iklim.

Pada tahun 2018, Yale Program on Climate Change Communication menemukan bahwa 69% orang Amerika khawatir tentang pemanasan global dan 49% percaya hal itu akan merugikan mereka secara pribadi. Kemudian, data survei dari organisasi kesehatan mental remaja Australia, ReachOut, mengungkapkan bahwa empat dari lima pelajar merasa sedikit atau sangat cemas terhadap perubahan iklim. Setengah dari pelajar tersebut dilaporkan bahwa mereka mengalami emosi ini setiap minggunya.

Perubahan iklim secara luas diakui sebagai salah satu ancaman kesehatan global yang paling serius di abad ke -21, mengancam kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk dampaknya terhadap kesehatan mental, yang dikenal dengan istilah eco-anxiety

Apa itu eco-anxiety?

Istilah eco-anxiety digunakan untuk menggambarkan keadaan emosional dan mental yang terkait dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan tekanan yang terjadi secara bersamaan dalam menghadapi implikasinya yang mengancam masa depan.

American Psychological Association (APA) menggambarkan eco-anxiety sebagai "ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan". Ketakutan ini dapat berasal dari pengalaman langsung terhadap peristiwa cuaca ekstrem dan perubahan lingkungan (misalnya banjir, kebakaran hutan, angin topan, kekeringan) atau paparan terhadap informasi perubahan iklim melalui media berita dan sumber lainnya.

Menyadur dari Journal of Environmental Psychology, eco-anxiety dapat dikategorikan sebagai reaksi kekhawatiran dan kecemasan masyarakat terhadap ancaman perubahan iklim global dan degradasi lingkungan yang terjadi secara bersamaan.

Clayton & Karazsia mendefinisikan eco-anxiety sebagai bentuk respon emosional negatif terhadap perubahan iklim. Kemudian, Helm dan kawan-kawan mendefinisikannya sebagai kekhawatiran yang parah dan melemahkan terkait dengan perubahan dan ketidakpastian lingkungan alam. Lalu, Stanley dan kawan-kawan menyebut eco-anxiety sebagai kecemasan yang dialami dalam menyikapi krisis ekologi.

Gejala-gejala eco-anxiety

Para ahli mencirikan eco-anxiety melalui berbagai gejala yaitu:

  • Pikiran obsesif tentang iklim,
  • Ketakutan eksistensial,
  • Rasa bersalah terkait dengan jejak karbon yang dihasilkan sendiri,
  • Kemarahan atau frustrasi terhadap generasi tua atau pejabat pemerintah yang belum berbuat cukup untuk mengurangi perubahan iklim,
  • Perasaan depresi, cemas, atau panik,
  • Solastalgia (duka dan kesedihan atas hilangnya lingkungan alam),
  • Kesulitan tidur atau berkonsentrasi
  • Perubahan nafsu makan

Kelompok-kelompok yang rentan terhadap eco-anxiety

  • Anak muda. Generasi muda diperkirakan akan lebih menderita akibat perubahan iklim dan cenderung lebih takut akan masa depan mereka sebagai dampaknya.
  • Masyarakat pribumi. Alam memainkan peran penting baik dalam budaya maupun kehidupan sehari-hari banyak komunitas pribumi.
  • Komunitas yang terpinggirkan dengan sumber daya terbatas. Kelompok ini mencakup kelompok-kelompok seperti pengungsi, orang-orang dengan kondisi kesehatan mental atau fisik yang sudah ada sebelumnya, dan orang-orang dengan status sosial ekonomi rendah.
  • Orang-orang yang bekerja dekat dengan alam. Pekerja seperti petani, nelayan, dan peneliti iklim mungkin akan mengalami eco-anxiety yang lebih parah.
  • Orang-orang yang tinggal di daerah dengan risiko tinggi terhadap perubahan iklim. Secara geografis, wilayah tertentu menghadapi risiko lebih besar terhadap dampak ekstrem perubahan iklim dibandingkan wilayah lainnya (misalnya, masyarakat di bagian utara dan garis pantai).
  • Para petugas pertama yang berada di garis depan dalam menghadapi bencana cuaca. Mereka yang bekerja di garis terdepan bencana cuaca memiliki pengalaman unik dan langsung mengenai dampak krisis iklim.

Eco-anxiety adalah keadaan emosional dan mental berupa ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan, reaksi kekhawatiran dan kecemasan masyarakat terhadap ancaman perubahan iklim global, serta respon emosional negatif terhadap perubahan lingkungan alam dan ketidakpastian yang disebabkannya. Dengan peningkatan kesadaran akan dampak lingkungan dan ketidakpastian akan masa depan bumi, eco-anxiety menjadi tantangan kesehatan mental yang signifikan di tengah krisis lingkungan saat ini.

Nida Aulia