Pembunuh tidak selalu memiliki wujud manusia, justru pembunuh tak terlihat yang jauh lebih berbahaya. Senyap dan mematikan, namanya polusi udara. Bagi masyarakat yang tinggal di kawasan padat industri, tentunya polusi udara sudah menjadi makanan sehari-hari yang dianggap biasa.
Padahal, riset IQAir dan Greenpeace Asia Tenggara ungkap polusi udara diduga sebabkan 8.700 kematian warga Jakarta di sepanjang 2023. Ini menempatkan Jakarta di posisi ke-11 dari 28 kota besar di dunia pada grafik proyeksi kematian akibat polusi udara. Posisi tersebut tepat di atas Bangkok yang berada posisi ke-12.
Faktanya kebanyakan orang hanya mengkhawatirkan polusi udara saat melihat atau mencium baunya saja. Sedikit orang tahu, polusi udara seringnya muncul tanpa wujud atau bau. Lantas, bagaimana ‘pembunuh’ ini membunuh kamu dari dalam? Simak jawabannya di bawah!
Apa yang Tergolong Pencemar Udara?
Sebagai manusia, pastinya tetap harus menghirup udara untuk menarik oksigen. Namun ada kalanya apa yang terkandung di udara bukan hanya oksigen, tetapi juga ada pencemar udara yang merusak pernapasan jika ikut terhidup.
Melalui laporan Al-Jazeera pada 28 September 2023, Sophie Gumy, Kepala Teknis Departemen Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim, dan Kesehatan WHO, menyebutkan dua kategori pencemar udara, yakni polutan (Particulate Matter atau PM) dan gas.
Zat yang masuk dalam kategori PM meliputi karbon hitam, sulfat, amonia, nitrat, sodium klorida, mineral debu, dan air. Sedangkan kategori gas di antaranya karbon monoksida, nitrogen dioksida, ozon, dan sulfur dioksida.
Menelusuri Jejak Penyebab Polusi Udara Jakarta
Dilansir Greenpeace Indonesia pada 1 Juli 2022, pencemar udara di Jakarta berasal dari asap pembakaran batu bara sebesar 20%. Kondisi ini diperburuk dengan faktanya bahwa terdapat 8 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang mengelilingi Jakarta dalam radius 100 km.
Namun data terbaru dari Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 14 Agustus 2023, menyebutkan bahwa pencemar udara di Jakarta 44% disebabkan asap kendaraan bermotor. Sisanya 31% oleh industri energi, 10% manufaktur industri, 14% sektor perumahan, dan 1% komersial. Kendaraan bermotor menghasilkan karbon monoksida akibat pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna.
Risiko Menghirup Karbon Monoksida bagi Kesehatan
Sulit menghindari asap kendaraan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi bagi yang tinggal di kawasan padat lalu lintas. Karbon monoksida yang dihasilkan kendaraan bermotor sangat berbahaya dalam jangka panjang.
Berdasarkan jurnal dengan judul Dampak Paparan Gas Karbon Monoksida Terhadap Kesehatan Masyarakat yang Rentan dan Berisiko Tinggi yang diterbitkan JKLI pada 2022, karbon monoksida (CO) masuk melalui saluran pernapasan bersamaan dengan oksigen.
Tetapi gas CO mempunyai ikatan 245 kali lebih kuat daripada oksigen, sehingga keduanya saling bersaing untuk mengikat ke hemoglobin.
Oksigen mudah lepas dari hemoglobin, sebaliknya CO mengikat lebih lama. Akhirnya semakin sedikit hemoglobin yang mengikat oksigen.
Tingginya kandungan CO dalam darah berpotensi membawa masalah kesehatan, seperti mata berair, pusing, muntah, mata pedih, sesak napas, gangguan konsentrasi, hingga rasa mudah lelah.
Meski jumlah CO yang terhidup sedikit, paparan secara terus menerus dapat meningkatkan risiko penyakit paru-paru dan jantung. Parahnya lagi, menghirup CO dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kematian.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pemerintah memang telah berupaya untuk mengurai masalah ini, namun memulai dari sendiri adalah langkah paling tepat untuk mengurangi jejak karbon. Cara yang paling efektif adalah mengoptimalkan transportasi yang digunakan.
Lebih baik jalan kaki jika jaraknya dekat, sepeda untuk jarak menengah, atau transportasi umum sebagai alternatif mobil atau motor pribadi.
Lagipula menggunakan transportasi umum bisa lebih murah. Selain itu, LindungiHutan.com juga menganjurkan bawa botol minum sendiri dan tas belanja untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Jangan sampai ‘pembunuh’ tak terlihat ini merebut masa depan kamu dengan mengikis kesehatan. Dampaknya memang tidak terlihat sekarang, tetapi kamu bisa merasakannya setelah bertahun-tahun mendatang. Mulailah bijak dalam bertindak supaya ibu kota tercinta lebih sehat untuk semua!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Bangun Capsule Wardrobe untuk Perangi Fast Fashion
-
Jalin Hubungan Terlarang, Ini 5 Drakor Lee Do Hyun yang Wajib Tonton!
-
Nyaman dan Trendy, 5 Outfit ala Zee JKT48 untuk Nonton Konser
-
Jadi Vegan Demi Selamatkan Bumi, Emang Pengaruh?
-
Nasi Menangis, Bumi Meringis: Ini yang Terjadi Kalau Mubazir Makanan
Artikel Terkait
-
Tak Cuma Tekan Food Loss, Menggali Lebih Dalam Makna Ngasak bagi Masyarakat
-
Waduh! DPRD Tak Tahu Biaya Renovasi Rumdin Gubernur DKI Tembus Rp22 M: Buat Bangun Apa?
-
Gelar Fan Meeting Perdana, BABYMONSTER Siap Sambangi Jakarta Juni Mendatang
-
Ambil Bagian Jaga Bumi dengan Mengurangi Nongkrong di Cafe, Emang Bisa?
-
Super Junior Siap Gelar Konser di Jakarta pada 14 September 2024
Rona
-
GEF SGP Gandeng Ghent University dalam Program Ketahanan Pangan dan Ekologi
-
Kisah Mama Siti: Perempuan Adat Papua yang Menjaga Tradisi Lewat Pala dan Membawanya ke Dunia
-
Pariwisata Hijau: Ekonomi Sirkular untuk Masa Depan Bumi
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Apakah Hari Kartini Menjadi Tameng Emansipasi oleh Kaum Wanita?
Terkini
-
Match Recap Malaysia Masters 2025: Indonesia Loloskan Empat ke Perempat Final
-
7 Rekomendasi Film Horor Terbaik dari tahun 80-an, Sudah Nonton?
-
Mees Hilgers, Laga Kontra Cina dan Performa Buruknya di Timnas Indonesia
-
Harapan Pupus! Ada 2 Alasan Kekalahan MU dari Spurs Kali Ini Terasa Jauh Lebih Menyakitkan
-
Kembang Goyang Luna Maya Patah Detik-Detik Sebelum Akad, Pertanda Apa?