Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Stevany Silaban
Ilustrasi pakaian (unsplash.com/@priscilladupreez)

Di era modern yang didominasi oleh sosial media saat ini, penampilan menjadi hal yang penting khususnya bagi kaum muda. Hal yang paling menonjol ketika berbicara tentang penampilan adalah pakaian yang digunakan. Istilah OOTD atau Outfit of The Day yang merujuk pada rangkaian pakaian yang digunakan oleh seorang individu mulai dari baju hingga sepatu serta aksesoris tambahan sebagai pelengkap, menjadi ungkapan yang sering digunakan apabila berbicara tentang pakaian. 

Namun sadarkah kita ketika pakaian ternyata memiliki dampak yang tidak biasa terhadap bumi dan lingkungan? 

Fast Fashion merupakan istilah yang digunakan oleh industri tekstil yang memproduksi pakaian secara besar-besaran dengan mengikuti pergantian tren yang cepat pula. Fast Fashion tidak hanya cepat dan trendi tetapi juga murah dan rendah biaya. 

Menurut Miranda dan Roldan dalam jurnalnya yang berjudul “Fast Fashion : A Successful Business Model Forced to Transform” rendahnya harga jual pakaian meningkatkan kebiasaan konsumsi para konsumen terhadap fast fashion. Namun bukannya bagus, kualitas pakaian yang dihasilkan fast fashion justru sangat rendah. 

Fast Fashion sebagai “Pembuat Onar” bagi Lingkungan

Kehadiran fast fashion tidak hanya memberikan dampak buruk terhadap kebiasaan konsumsi penggunanya tetapi juga bagi lingkungan. Dikutip dari Earth.org, sebanyak 92 ton dari 100 miliar pakaian yang diproduksi setiap tahunnya berakhir di tempat pembuangan sampah. Selain itu, Annika Rachmat, Co-founder Our Reworked World, mengungkap bahwa pencemaran air terburuk kedua di dunia disebabkan oleh limbah tekstil. 

“Limbah tekstil adalah pencemar air kedua terburuk di dunia setelah limbah industri. Menurut data kami, dari total 200 miliar potong pakaian yang diproduksi setiap tahunnya, 85% di antaranya berakhir di tempat sampah," ungkap Annika

Menurut PBB dalam BBC, industri fashion juga bertanggung jawab atas emisi global sebesar 8-10%. Ini tidak hanya berasal dari emisi produksi pembuatan pakaian tetapi juga emisi terkait penggunaan energi, transportasi serta pola konsumsi yang berlebihan.

Dilansir dari Center for Biological Diversity, fast fashion tidak hanya berdampak buruk terhadap lingkungan tetapi juga satwa. Hal ini dikarenakan beberapa tekstil seperti wol dihasilkan dari bahan dasar bulu yang biasanya diambil dari binatang seperti domba. 

Filosofi Utama Slow Fashion

Segala permasalahan tentu memiliki penyelesaian, sama seperti fast fashion yang sebenarnya dapat dicegah dengan memulai kebiasaan yang baik seperti menerapkan slow fashion.

Slow fashion sendiri seperti antonim dari kata fast fashion merupakan gerakan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan dan sosial, dan berupaya mengatasi masalah yang ditimbulkan akibat fast fashion seperti kelebihan produksi, konsumsi berlebihan serta kerusakan lingkungan akibat sampah produksi dan limbah pakaian. 

Dilansir dari Earth.org, slow fashion memiliki 7 filosofi utama dimana 4 diantaranya berorientasi pada lingkungan, yaitu:

  • Quality over Quantity

Faktanya, sebesar 15% kain yang digunakan dalam proses produksi pakaian terbuang sia-sia dan sebesar 57% pakaian yang dibuang berakhir di tempat sampah. Artinya, kualitas kain yang digunakan tidak memiliki ketahanan yang kuat dan mudah rusak apabila digunakan terlalu sering. 

Seperti maknanya, slow fashion diharapkan dapat menitik beratkan produksi pakaian pada kualitas yang dihasilkan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, kualitas tinggi pada pakaian diharapkan dapat mengurangi kebiasaan konsumtif yang ditimbulkan akibat kerentanan pakaian hasil fast fashion

  • Chemical-Free and Sustainable Process

Menurut Gitnux Market Data Report tahun 2024, dibutuhkan sekitar 93 miliar meter kubik air yang digunakan dalam industri fashion tetapi tidak dapat di daur ulang kembali akibat kontaminasi bahan kimia berbahaya. Ditambah lagi, proses pewarnaan tekstil bertanggung jawab sebesar 20% limbah air sedunia. Artinya, industri fashion tidak hanya menjadi kontributor terhadap pencemaran lingkungan tetapi juga pencemaran air. 

Oleh sebab itu, industri fashion diharapkan dapat menggunakan bahan dasar manufaktur yang ramah lingkungan dan rendah limbah. Selain itu, penggunaan bahan kimia berbahaya baik dalam produksi seperti proses pewarnaan diharapkan dapat dihindari.

  • Made-by-order than Ready-Stock

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inventory Planner dalam Retail Technology Innovation Hub, sekitar 62% penjual pakaian di UK merasa kesulitan dan mengalami kerugian akibat stok berlebih yang terjadi di awal tahun 2023. Hal ini tidak saja merugikan secara finansial bagi para pengecer tetapi juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan akibat sisa pakaian yang tidak terjual.

Penerapan made-by-order bagi industri fashion dianggap lebih baik dari segi keberlanjutan ketimbang ready-stock sebab produksi pakaian didasarkan atas jumlah permintaan konsumen. Hal ini juga dapat mengurangi limbah pakaian akibat barang yang tidak habis terjual. 

  • Eco-friendly and Upcycle Fabric

Dalam 10th Edition Annual Material Market Report yang dilansir dari Textile Exchange, pangsa pasar tekstil daur ulang mengalami penurunan dari 8,5% di tahun 2021 menjadi 7.9% di tahun 2022. Tekstil daur ulang sendiri menjadi salah satu gerakan ramah lingkungan yang dapat mengurangi persentase limbah fashion dengan mendaur ulang tekstil yang tidak digunakan kembali. Selain itu, menggunakan serat alami maupun kain sisa dapat menjadi opsi bagi industri fashion untuk mengurangi limbah serta pencemaran air akibat proses produksi tekstil. 

Lalu apakah kita bisa turut serta?

Selamatkan Bumi dari Limbah Fashion dengan Aksi Nyata

Menjadi seseorang yang memiliki kebiasaan sustainable memang tidak mudah. Butuh dedikasi serta komitmen tinggi dalam menerapkannya. Namun bukan berarti mustahil bagi kita untuk turut serta dalam aksi nyata menyelamatkan bumi dari limbah fashion. Filosofi slow fashion dapat dimulai dari diri sendiri dengan melakukan 4 hal berikut, yaitu:

  • Mix and Match

Memadupadankan pakaian menjadi salah satu cara termudah yang bisa dilakukan untuk mengurangi frekuensi pembelian pakaian baru. 

“If an outfit is not interesting through colors, then it has to be interesting through shape, and if it's not interesting by shape, then it has to be interesting through texture. And if it's not interesting by texture, then it has to be interesting by colors” 

Cuitan di atas diambil dari salah satu tren tiktok yang menemukan cara baru dalam styling pakaian. Hal ini dilakukan dengan cara memadukan pakaian dari segi bentuk, warna dan tekstur agar lebih menarik dan tidak membosankan. Meskipun terdengar simple tapi cara ini justru dapat menjadi ide alternatif untuk memulai mix and match pakaian yang ada.

  • Thrifting atau Second-Hand

Sadar atau tidak, cara ini sudah mulai diterapkan oleh segelintir orang. Thrifting atau second-hand menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi pembelian pakaian fast fashion. Meskipun bekas, bukan berarti kita tidak bisa tampil menarik. Justru dengan thrifting kita bisa mendapatkan barang bagus dengan harga yang lebih terjangkau. Namun setelah berbelanja pakaian bekas jangan lupa dicuci terlebih dahulu agar sisa kotoran dan bakteri yang masih menempel pada pakaian bisa hilang. 

  • Re-do, Re-use, Recycle 

Tidak hanya nge-thrift kita juga bisa mengurangi sampah pakaian yang tidak digunakan lagi dengan mendaur ulang kembali. Cara ini dilakukan dengan merubah bentuk pakaian dengan bantuan alat jahit. 

  • Long-term Fashion

Apakah slow fashion membuat kita tidak bisa membeli barang baru? tentu saja bisa. Namun perlu dilakukan dengan bijak dan pertimbangan. Misalnya memilih pakaian dengan kualitas bahan yang mumpuni sehingga tidak mudah robek apabila digunakan berkali-kali atau memilih pakaian dengan gaya yang long-term dan tidak akan ketinggalan zaman apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama. 

Dengan menerapkan slow fashion kita dapat memulai kebiasaan baik untuk mengurangi kuantitas sampah pakaian sebagai hasil dari fast fashion. Sebab bagaimanapun juga kita perlu sama-sama menjaga kelestarian lingkungan yang harus dimulai dari diri sendiri.

Mari mulai slow fashion di #HariBumi #YoursayEarthDay

-

Stevany Silaban

Baca Juga