Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | fathia azkia
Ilustrasi bumi (Pixabay)

Setiap langkah kecil yang kita lakukan akan berdampak di kemudian hari. Seperti kata pepatah yang cukup terkenal: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Uang Rp100.00 jika konsisten menabung setiap hari selama 1 tahun, akan menjadi Rp36.500,00. Bisa lah, buat beli 2 porsi bakso. Lalu, bagaimana kalau kita terus menerus menuangkan racun pada bumi? Apa yang akan terjadi di kemudian hari? 

Kalian sering lihat, kan? Sampah plastik di dalam tanah—kemasan makanan tahun 90an—yang belum sepenuhnya terurai. Jadi, plastik itu susah terurai karena plastik merupakan benda asing yang tidak dikenali oleh mikroorganisme tanah. Plastik sendiri terbuat dari bahan Polimer Sintetik yang artinya plastik tersusun dari struktur berulang. Jadi butuh waktu lama untuk plastik benar-benar dapat terurai secara alami. Apalagi, kemasan makanan pun memiliki banyak lapisan yang berbeda.

Plastik yang dapat terurai dengan mudah (maupun kita olah/kreasikan), seperti bahan biodegradable atau di-eco brick pun, dikhawatirkan dapat menghasilkan mikroplastik yang berbahaya bagi tubuh maupun makhluk hidup lain. Kualitas tanah pada akhirnya akan menurun dan tercemar. Begitu pula dengan ekosistem.

Deterjen berbahan kimia yang umum dipakai di masyarakat, pun memiliki banyak imbas terhadap alam: menurunnya kualitas oksigen air; meningkatnya fosfat; menutup akses cahaya matahari ke air; mengganggu ekosistem air; dan masih banyak lainnya.

Produk-produk seperti sedotan sekali pakai; sendok plastik; spons cuci piring; tisu; hal remeh seperti ini pun dapat berkontribusi terhadap polusi lingkungan dan kerusakan bumi. Ditambah dengan pemikiran masyarakat umum yang, “kalau cuman saya yang menjaga bumi, enggak bakal ngaruh juga, kan? Ya sudah saya bersenang-senang saja” dan tentu saja tidak hanya 1-2 orang yang berpikir seperti ini.

Lalu bagaimana dengan nasib planet ini? Tempat tinggal kita? Bumi?

Namun di tengah kekhawatiran akan masa depan planet ini, muncullah berbagai alternatif yang menjanjikan.

Tentu hampir mustahil untuk kita benar-benar melakukan 'Zero Waste' karena bahkan parfum yang kita gunakan sehari-hari pun berkontribusi dalam penipisan lapisan ozon. Saat ini, kita hanya bisa 'mengurangi' alias 'less' atau 'Less Waste'. Tentu saja, melalui beberapa alternatif.

Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi lebih jauh alternatif-alternatif yang menarik ini dan bagaimana mereka dapat menjadi bagian penting dari solusi kita dalam mengatasi masalah limbah berbahaya.

1. Deterjen Kimia to Lerak

Sabun Natural (Dok. pexels/Sarah Chai)

Banyak busa = bersih. Yah, mungkin barang yang kita cuci bersih, tapi lingkungannya?

Di tengah perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi berhasil menempatkan isu bumi dalam perhatian tertentu, memunculkan berbagai alternatif-alternatif yang lebih ramah lingkungan dan alami, salah satunya lerak.

Buah lerak mengandung saponin, alkaloid, polifenol, senyawa antioksidan, flavonoid, dan tanin yang dapat menghambat perkembangan bakteri dan berfungsi sebagai sabun.

Sabun lerak dapat digunakan pada berbagai jenis pencuci, seperti: cuci tangan, cuci piring, dan cuci baju (tidak disarankan untuk baju putih), bahkan mandi ataupun keramas. Tidak perlu beli berbagai jenis dan gonta-ganti, kegiatan mencuci pun menjadi lebih sederhana. Dan dapat menghemat pengeluaran karena harga lerak cukup terjangkau.

Aku ada rekomendasi platform jual beli barang sustainable, cek instagram @bumijo.id ya! 100 gram lerak utuh harganya sekitar Rp7.000,00.

Cara membuat sabun dari lerak mudah sekali, singkatnya.. Rendam sampai leraknya lunak, keluarkan getah, rebus sampai sedikit mendidih, tambahkan garam dan wangi-wangian alami seperti lemon atau sereh, saring, dan selesai.

Untuk perbandingan lerak dan airnya 1:1. Kalau leraknya 10 buah, berarti airnya 1 liter. 1 buah = 100 ml.

Selamat mencoba!

2. Spons Cuci Piring to Loofah

Loofah (Dok. pexels/Polina Kovaleva)

Pada dasarnya, Loofah terbuat dari tanaman gambas atau oyong yang dikeringkan.

Loofah memiliki banyak serat dan tetap memiliki tekstur kasar ketika terkena air, cocok sekali sebagai alternatif spons.

Loofah harus rajin dikeringkan setelah dipakai karena tempat lembap menjadi sarang bakteri. 

Disarankan untuk mengganti loofah setiap seminggu sekali. Kalian bisa kompos saja ya! Karena loofah juga merupakan bahan dari alam.

Omong-omong loofah juga dapat dipakai untuk mandi.

3. Botol Kemasan to Tumbler

Tumbler (dok. pixabay/zeropromosi)

Tumbler sering kali menjadi opsi bagi anak sekolah atau pekerja kantoran yang ingin membawa bekal minum.

Tumbler lebih tahan lama dan tidak mudah rusak. Rata-rata umurnya sekitar 1 tahun. Sedangkan botol plastik hanya bisa dipakai sekali.

Belilah tumbler yang berkualitas dan sesuai kebutuhan, bukan karena 'lucu' atau apa pun. Apalagi yang harganya murah dan cepat rusak. Itu lebih menambah sampah daripada botol plastik, bukan? 

4. Alat Makan Plastik to Alat Makan Stainless

Ilustrasi sampah plastik (dok. pixabay/dennis)

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 35,93 juta ton timbulan sampah sepanjang 2022. Di tahun 2023 pula Filipina membuang sebesar 356.371 sampah ke lautan, menurut indonesiabaik.id.

Sedotan atau gelas kertas yang diyakini sebagai langkah menuju ramah lingkungan masih memiliki lapisan plastik. Dikhawatirkan pula mikroplastik akan terbawa masuk ke dalam tubuh saat meminum kopi panas menggunakan gelas kertas.

Alat makan stainless yang lebih kuat, tahan lama, juga aman dapat menjadi alternatif yang baik.

5. Sikat Gigi Bambu

Sikat gigi bambu (Dok. pexels/Sarah Chai)

Menurut wwf.org.au, sikat gigi plastik yang terbuat dari polipropilen dan nilon membutuhkan waktu hingga 500 tahun atau lebih untuk terurai. Total 3,5 miliar sikat gigi terjual di seluruh dunia setiap tahunnya, dan sebagian besar sikat gigi bekas berakhir di tempat pembuangan sampah, sungai, dan lautan.

Ada baiknya kita beralih ke bahan yang lebih alami, yaitu bambu. Mengutip dari Guinness World Records, bambu adalah tanaman dengan pertumbuhan tercepat di dunia, jadi tidak perlu takut kehabisan stok bambu.

Sikat gigi bambu yang sudah dipakai selama 3-5 bulan dapat dikompos. Namun jangan lupa untuk mencabut bulunya dahulu, dan pisahkan ke bagian non-organik.

6. Produk Refill

Dok. pexels/Sarah Chai

Meski sebenarnya kebanyakan refill dikemas dengan plastik, tapi setidaknya bisa mengurangi sampah 'botol'. Sampah kemasan dapat dijadikan eco brick.

Dalam konteks produk sehari-hari seperti minyak, sampo.

7. Kantong Kain Ketika Berbelanja

Dok. pexels/cottonbro studio

Bahan kain cenderung lebih awet dan bahkan lebih kuat daripada plastik. Namun saat ini kantong plastik lah yang lebih sering dipakai saat berbelanja, terutama saat berbelanja di pasar.

Ikan: satu kantong plastik; sayur: satu kantong plastik; telur: satu kantong plastik. Belum lagi, makanan tersebut dibungkus plastik dahulu untuk mempertahankan kehigienisannya.

Kantong kain lebih praktis dengan sekali pegang namun mencakup banyak. Jika banyak pedagang yang menerapkan “pelanggan membawa kantong sendiri” akan membantu mengurangi pengeluaran. 

Kantongnya tidak harus berbahan kain. Mau rotan pun tidak masalah.

8. Kompos

Kompos organik (Dok. pexels/Denise Nys)

Sampah organik dapat menghasilkan metana bila langsung dibuang. Lebih baik dikubur atau ditaruh di komposer. Dapat membuat tanaman menjadi lebih subur.

Mau memisahkan kategori organik anorganik pun sepertinya masih susah. Karena pengolahan sampah di Indonesia masih kurang.

9. Eco Brick

Mahasiswa Teknik Geodesi UGM sedang memberikan pelatihan eco brick (Dok. /geodesi.ugm.ac.id)

Sebuah upaya untuk mengurangi kadar sampah anorganik atau biasanya sampah plastik. Eco Brick berisi sampah plastik yang sudah dipotong-potong dan dipadatkan di dalam sebuah botol.

Kalau sudah terkumpul banyak eco brick, bisa dikreasikan. Seperti kursi sandar, kursi pendek, dan lainnya. Dijual ke beberapa bank sampah juga bisa!

10. Beeswax Wrap untuk Pembungkus Makanan

Beeswax Wrap (Dok. pixabay/RikaC)

Beeswax atau lilin lebah merupakan pembungkus makanan alami yang terbuat dari sarang lebah. Kain katun yang dilapisi oleh lilin lebah disebut Beeswax Wrap.

Ketahanan Beeswax Wrap cukup kuat dan lama. Bisa sekitar 1 tahun sebelum lilinnya meleleh. Perawatannya mudah, tinggal dicuci menggunakan air dan sabun lalu keringkan.

Namun bukan berarti Beeswax Wrap bisa digunakan untuk jenis makanan apa pun. Tidak disarankan untuk membungkus makanan mentah atau makanan panas menggunakan Beeswax Wrap.

Dengan adanya alternatif-alternatif seperti lerak dan beeswax wrap, kita memiliki kesempatan untuk mengurangi jejak lingkungan dari konsumsi produk sehari-hari kita.

Langkah-langkah sederhana ini, meskipun terlihat kecil, memiliki dampak besar dalam menjaga keseimbangan bumi dan melestarikan lingkungan untuk generasi mendatang.

Dengan terus mengembangkan dan mengadopsi solusi-solusi ramah lingkungan seperti ini, kita dapat bergerak menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap bumi kita.

Dengan demikian, mari kita terus memilih alternatif-alternatif yang lebih baik dan berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi dalam menjaga keberlangsungan hidup planet kita.

fathia azkia