Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahyu Astungkara
Ilustrasi mental health (Freepik/rawpixel.com)

Sebagaimana dipahami, bahwa kita sering menghadapi berbagai peristiwa yang dapat memengaruhi kesehatan mental. Situasi krisis, seperti bencana alam, kekerasan berbasis gender, atau peristiwa traumatis lainnya, kerap menimbulkan tekanan emosional bagi mereka yang terdampak. Mencermati hal ini, hadirlah kebijakan Pertolongan Pertama Psikologis (PPP) yang berperspektif adil gender.

Berbagai inisiatif telah dikembangkan untuk memperkuat dukungan psikososial oleh para pegiat psikologi. Salah satunya adalah kebijakan PPP yang berbasis pada prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan pendekatan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion atau GEDSI). Pendekatan ini bertujuan memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang gender, disabilitas, atau status sosial, mendapatkan dukungan psikososial yang mereka butuhkan

Tahapan Pertolongan Pertama Psikologis

Merujuk pada cpmhpsikologiugm, aspek penting dalam kebijakan ini adalah penerapan enam tahap dalam PPP, yaitu LOOK (Melihat), LISTEN (Mendengarkan), COMFORT (Memberikan Kenyamanan), PROTECT (Melindungi), LINK (Menghubungkan dengan Layanan yang Dibutuhkan), dan HOPE (Menumbuhkan Harapan). Pendekatan ini memastikan bahwa penyintas tidak hanya menerima bantuan sesaat, tetapi juga diarahkan untuk mendapatkan dukungan jangka panjang jika diperlukan.

Misalnya, dalam tahap LOOK, pendamping mengamati kondisi fisik dan emosional penyintas untuk memahami kebutuhan mendesaknya. Kemudian, dalam tahap LISTEN, penyintas diberikan ruang aman untuk berbicara tanpa takut dihakimi. Selanjutnya, tahap COMFORT adalah memberikan rasa aman, sementara tahap PROTECT memastikan penyintas tidak mengalami ancaman. Jika dibutuhkan, penyintas akan dihubungkan dengan layanan profesional di tahap LINK, sebelum akhirnya diberikan dukungan untuk membangun kembali harapan di tahap HOPE.

Dukungan Psikososial yang Inklusif

Kebijakan PPP juga menekankan prinsip non-diskriminasi, keamanan, kerahasiaan, serta pendekatan yang sensitif gender dan inklusif. Artinya, setiap penyintas diperlakukan dengan hormat, informasi penyintas dijaga kerahasiaannya, dan layanan diberikan dengan mempertimbangkan kebutuhan unik penyintas.

Menurut UN Women, pendekatan yang netral gender dalam inklusi disabilitas dapat memperpetuasi diskriminasi dan kerentanan. Oleh karena itu, UN Women telah melakukan upaya terkoordinasi untuk mempromosikan inklusi disabilitas dan kesetaraan gender, termasuk dengan memperkuat suara perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Partisipasi aktif dan konsultasi dengan kelompok-kelompok penyandang disabilitas telah menjadi bagian integral dari strategi UN Women dalam memastikan bahwa kebijakan-kebijakan sosial benar-benar inklusif.

Dalam Rencana Strategis UN Women 2022–2025, menegaskan komitmennya untuk mengarusutamakan inklusi disabilitas dalam seluruh programnya. Tujuannya adalah memastikan pendekatan sistematis untuk menjamin hak-hak perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas, serta memastikan kebijakan sosial yang lebih berkeadilan

Selain itu, integrasi perspektif Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) juga ditekankan dalam strategi Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction/DRR). Menurut laporan UN Women perencanaan dan penganggaran untuk DRR harus mempertimbangkan kebutuhan spesifik kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan komunitas terpinggirkan agar tidak ada yang tertinggal dalam mitigasi bencana

Dampak Dukungan Psikososial di Masyarakat

Dalam praktiknya, kebijakan PPP ini tidak hanya untuk respon darurat, tetapi juga membangun kembali kepercayaan diri para penyintas. Pendekatan yang holistik dan berbasis komunitas, menjadi salah satu prinsip ketika merespon kebutuhan psikososial.

Menurut laporan UNICEF, dukungan psikososial yang baik dapat membantu penyintas trauma untuk lebih cepat pulih dan kembali menjalani kehidupan secara normal. Pendekatan ini juga dapat mencegah risiko kesehatan mental jangka panjang, seperti depresi dan PTSD, yang sering muncul akibat peristiwa traumatis.

Melalui kebijakan ini, menunjukkan bahwa pertolongan pertama psikologis bukan sekadar respon terhadap krisis, tetapi juga sebagai tahapan kepedulian yang inklusif, dan berkeadilan. Dengan kata lain, kita semua dapat berkontribusi dalam menciptakan komunitas yang lebih kuat dan lebih tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan sosial.

Wahyu Astungkara