Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi penyu laut (Pexels/Pixabay)

Tanggal 23 Mei kembali mengetuk kesadaran kita. Hari Penyu Sedunia bukan cuma pengingat bahwa penyu itu imut dan Instagramable. Tapi bahwa mereka adalah penjaga ekosistem laut, yang nasibnya kian mengenaskan karena ulah kita.

Di balik tempurung keras mereka, tersembunyi rentetan ancaman yang tak kalah keras: polusi, perburuan, pembangunan, dan ketamakan manusia.

Sayangnya, peringatan tahunan ini sering kali cuma berhenti di baliho dan spanduk bertema biru laut dengan penyu tersenyum. Padahal, di lapangan, mereka lebih sering menangis daripada tersenyum.

Tidak heran jika dari tujuh spesies penyu laut yang ada di dunia, enam di antaranya sudah masuk daftar merah IUCN sebagai spesies terancam punah.

Hal yang paling ironis, banyak dari kita lebih sibuk menyelamatkan selfie di pantai daripada menyelamatkan penyu yang akan bertelur di tempat yang sama. Beberapa bahkan bangga unggah foto tukik, lalu tanpa sadar menginjak sarangnya saat berjalan mundur untuk ambil angle lebih bagus. Konservasi berubah jadi konten.

Zona Aman yang Tak Selalu Aman

Menurut Roberts et al. (2021), penyu memilih area yang sudah dilindungi, terutama zona multi-penggunaan, saat transit atau mencari makan. Tapi ironisnya, “dilindungi” di atas kertas tak selalu berarti aman di laut.

Banyak kawasan konservasi yang lebih mirip wilayah administratif ketimbang zona perlindungan nyata. Ada papan larangan, tapi tak ada patroli. Ada peraturan, tapi tak ada pengawasan.

Penyu memang makhluk cerdas, tapi mereka belum belajar membaca SK Menteri. Mereka mengandalkan naluri, bukan dokumen hukum. Maka ketika kawasan lindung malah ramai kapal wisata atau alat tangkap ilegal, penyu tetap melintas, tanpa tahu itu bisa jadi perjalanan terakhir mereka.

Zona multi-penggunaan juga sering multitafsir. Harusnya seimbang antara konservasi dan kegiatan manusia, tapi yang terjadi malah dominasi eksploitasi. Penyu yang lapar datang mencari makan, justru disambut dengan jaring dan suara mesin kapal.

Perlu penataan ulang kawasan lindung. Bukan cuma batas wilayah di peta, tapi batas tegas dalam praktik. Kita butuh perlindungan yang bisa dirasakan penyu, bukan sekadar dibaca birokrat.

Nelayan dan Penyu: Dua Sisi Satu Laut

Nelayan kerap jadi kambing hitam atas kematian penyu, padahal mereka juga korban dari kebijakan konservasi yang kurang berpihak. Untungnya, ada pendekatan yang lebih adil dan cerdas: melibatkan mereka dalam konservasi. Virgili et al. (2024) menawarkan peta jalan 3 fase—dari pertemuan, pelatihan, hingga pengujian alat pengurang tangkapan sampingan.

Bayangkan jika nelayan tidak hanya jadi subjek hukum, tapi juga mitra solusi. Mereka diajak bukan untuk dimarahi, tapi diajak ngobrol, dilatih, dan diberikan alat-alat ramah penyu. Bukan tidak mungkin, mereka akan jadi garda depan penyelamatan laut—karena mereka yang paling sering bersinggungan langsung.

Masalahnya, kadang pendekatan pemerintah masih terlalu ‘atas-bawah’. Sosialisasi lebih mirip kuliah satu arah. Sementara nelayan justru lebih percaya cerita teman sekampung ketimbang power point pejabat. Maka pendekatan komunitas dan informal sering kali jauh lebih efektif.

Penyu dan nelayan memang bukan pasangan romantis, tapi keduanya punya relasi penting. Jika nelayan sejahtera dan sadar lingkungan, laut akan lebih sehat. Penyu punya peluang hidup lebih panjang.

Plastik: Makanan Palsu yang Mematikan

Bayangkan Anda lapar, lalu melihat makanan lezat—eh ternyata itu kresek. Itulah yang dialami penyu saban hari. Plastik di laut tak hanya mengotori, tapi menyamar jadi ubur-ubur, makanan favorit penyu. Akibatnya, banyak penyu mati karena tersedak, pencernaan rusak, atau kelaparan kronis karena perutnya penuh sampah.

Senko et al. (2020) menyebut efek plastik bukan cuma mematikan, tapi juga sub-mematikan: malnutrisi, luka internal, imobilitas, hingga stres fisiologis. Kalau penyu bisa curhat, mungkin dia akan bilang: “saya bukan tempat sampah bergerak.”

Zhang et al. (2022) juga menemukan bahwa mikroplastik berdampak pada penetasan telur. Busa dan fragmen plastik bisa mengganggu suhu dan kelembapan sarang, mengubah rasio kelamin tukik, bahkan menurunkan tingkat penetasan. Jadi, plastik merusak penyu sejak sebelum mereka menetas.

Kita tak bisa berharap penyu jadi vegan dan berhenti makan plastik. Kitalah yang harus berhenti menyebarkan plastik. Edukasi publik, regulasi ketat industri, dan sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas adalah langkah krusial. Karena laut bukan tempat sampah, dan penyu bukan pemulung.

Komunitas Adalah Kunci, Bukan Hiasan Proyek

Banyak program konservasi gagal karena datang seperti superhero—terbang dari kota, membawa proposal, foto-foto, lalu hilang setelah laporan dikumpulkan.

Padahal, penelitian Ferreira & dos Prazeres (2024) menunjukkan bahwa intervensi berbasis komunitas jauh lebih efektif. Mereka melibatkan warga, membangun kesadaran, memberi alternatif ekonomi, dan menciptakan sistem pengawasan lokal.

Konservasi tanpa masyarakat lokal seperti menanam pohon di pasir. Mungkin tegak sebentar, tapi pasti tumbang. Warga pesisir yang hidup berdampingan dengan penyu setiap hari lebih tahu cara menjaga, asal mereka merasa dilibatkan, bukan dimarjinalkan.

Alternatif ekonomi juga penting. Tak bisa melarang warga mengambil telur penyu tanpa memberi pilihan. Solusi kreatif seperti ekowisata berbasis warga, pelatihan kerajinan dari limbah, atau sertifikasi penjaga sarang bisa jadi sumber pendapatan baru yang berkelanjutan.

Kunci dari semua ini: kepercayaan. Jangan datang sebagai penyelamat, datanglah sebagai sahabat. Karena penyu tidak butuh penyelamat. Tapi komunitasnya butuh diberdayakan.

Menjaga Penyu, Menjaga Kita Sendiri

Penyu laut bukan sekadar simbol eksotis. Mereka adalah penjaga rantai makanan, pengatur ekosistem, bahkan indikator kesehatan laut. Saat populasi mereka turun, itu pertanda bahwa laut kita sedang sakit. Dan saat laut sakit, kita yang tinggal di daratan juga ikut demam.

Konservasi penyu bukan tugas segelintir LSM atau tanggung jawab nelayan semata. Ia butuh kolaborasi lintas sektor—pemerintah, akademisi, media, pelaku wisata, dan tentu saja masyarakat. Kita perlu berhenti melihat konservasi sebagai proyek, dan mulai menganggapnya sebagai gaya hidup.

Karena menjaga penyu berarti menjaga laut. Dan menjaga laut berarti menjaga napas kita sendiri. Di negara maritim seperti Indonesia, laut bukan halaman belakang, tapi halaman depan rumah kita. Dan penyu adalah tamu kehormatan yang tak boleh diusir.

Jadi, jangan hanya unggah foto penyu di media sosial. Unggahlah juga kesadaran, lalu lanjutkan dengan tindakan. Karena penyu tidak butuh simpati, mereka butuh aksi. Dan kita semua punya peran di dalamnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yudi Wili Tama