Saat kita sedang scroll media sosial, ada satu hal yang hampir selalu mampir di timeline harian kita, yaitu fashion. Berbagai konten tentang fesyen, seperti model-model outfit terbaru, tips padu padan warna-warna pakaian, gaya berpakaian modis, hingga tren fesyen vintage yang kembali viral hadir memenuhi layar ponsel kita. Tak ayal, muncul juga keinginan kita untuk sesekali membeli baju-baju trendi dan mencoba berbagai gaya outfit yang modis itu.
Namun, di balik ingar bingar industri fashion yang berjalan cepat, ada satu ironi yang sering kali luput dari perhatian kita. Demi memuaskan dahaga akan kebutuhan gaya pakaian yang berubah-ubah dan permintaan pasar yang terus naik, industri tekstil tidak ragu untuk memproduksi pakaian dalam skala besar. Sayangnya, proses produksi yang cepat ini ternyata menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia.
Fast fashion sendiri mengacu pada istilah pakaian yang diproduksi secara massal dan dibanderol dengan harga yang murah untuk memaksimalkan permintaan pasar akan gaya pakaian terkini. Namun, dari 100 miliar pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton di antaranya justru berakhir menjadi sampah. Jika situasi ini terus berlanjut, diperkirakan pada akhir dekade ini atau pada tahun 2030, jumlah sampah fast fashion akan meningkat sebanyak 134 juta ton per tahun.
Di Indonesia sendiri, dampak fast fashion dari industri tekstil tak kalah memprihatinkan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2023, sampah tekstil menyumbang 2,87 persen dari total komposisi sampah nasional. Artinya, jumlah sampah tekstil pada tahun 2023 diperkirakan menyentuh angka 1,75 ton.
Data di atas hanya sebatas ironi kecil dari industri mode cepat ini. Padahal jika menelusuri lebih lanjut, maka dampak yang ditimbulkan dari produksi fesyen cepat ini pun tidak kalah kompleks. Singkatnya, masalah sampah hanya sebagai dampak kecilnya saja karena efek yang lebih besar justru mengancam pada keberlangsungan kelestarian lingkungan.
Salah satu efek negatif fast fashion adalah pemborosan air. Di Indonesia, produksi tekstil bisa menggunakan 93 miliar meter kubik air per tahun. Selain pemborosan, industri tekstil juga menjadi salah satu penyebab pencemaran air karena dalam proses produksinya, industri mode rupanya turut menyumbang atas 20 persen limbah air global dan 3 persen emisi karbon dioksida global.
Belum lagi dengan sampah mikroplastik yang turut mencemari perairan dan lautan. Hal ini disebabkan oleh bahan produksi pakaian yang biasanya terbuat dari nilon atau poliester karena kedua bahan ini memiliki harga yang cenderung lebih murah sehingga banyak digunakan produsen tekstil.
Selain itu, proses pencucian dan pengeringan pakaian juga turut melepaskan serat-serat kain yang sangat halus ke saluran pembuangan air. Akibatnya, kontaminasi laut oleh mikroplastik kain diperkirakan mencapai angka setengah juta ton per tahunnya atau sekitar 10 persen mikroplastik di lautan adalah dari tekstil.
Tentunya, sampah serat mikro kain ini juga berpengaruh pada ketersediaan sumber air. Sampah-sampah yang hampir tidak terlihat ini akan menyebabkan polusi tanah dan memengaruhi kualitas tanah dan air. Apabila kondisi ini tidak segera diatasi, dikhawatirkan di masa depan nanti akan ada ancaman kekeringan dan krisis air bersih.
Dampak fast fashion juga tidak hanya memengaruhi kehidupan manusia saja. Beberapa item fesyen, seperti baju, tas, sepatu, hingga jam tangan terkadang menggunakan kulit hewan sebagai bahan utamanya. Penggunaan kulit hewan yang tidak terkendali bisa menyebabkan penurunan populasi hewan, bahkan ancaman kepunahan fauna.
Meskipun dunia fesyen menyimpan sisi yang mengkhawatirkan bagi lingkungan, hal itu bukan berarti kita tidak boleh tampil modis. Di masa kini, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk terus bergaya sekaligus turut melestarikan lingkungan alam.
Gerakan slow fashion juga mulai digaungkan untuk mendorong orang-orang agar membeli pakaian yang tahan lama dan ramah lingkungan.
Selain itu, beberapa tahun ini ramai tren fashion minimalist yang menekankan pada kualitas dan kuantitas pakaian yang kita miliki. Ada juga yang disebut dengan istilah capsule wardrobe, yaitu memadupadankan pakaian yang kita miliki semaksimal mungkin.
Jadi, kita masih bisa lho bergaya modis dan tetap memperhatikan keberlangsungan kelestarian lingkungan!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
-
Konflik Agraria dan Pentingnya Pengakuan Hukum Bagi Masyarakat Adat
-
Novel Love on the Brain: Kala Cinta Bersemi di Proyek NASA
-
Tren Musik Lintas Zaman: Ketika Lagu-lagu Lawas Kembali Viral
-
Penuh Makna, Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Curug Losari Berjalan Meriah dan Khidmat
Artikel Terkait
-
Kamu Belum Cinta Lingkungan Kalau Belum Tahu 8 Gerakan Ini!
-
Nikel dan Sustainability Paradox: Elektromobilitas Harus Mengorbankan Alam?
-
Menteri LH: Ada Potensi 4 Perusahaan Tambang di Raja Ampat Dipidana
-
Jejak Karbon Digital: Saat Internet Diam-Diam Membakar Bumi
-
Mengenal 6 Bahan Bangunan Ramah Lingkungan, Cocok untuk Generasi Peduli Bumi
Rona
-
Bawa Botol Minum Sendiri: Kebiasaan Kecil yang Selamatkan Laut dan Iklim
-
Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?
-
Kamu Belum Cinta Lingkungan Kalau Belum Tahu 8 Gerakan Ini!
-
Jejak Karbon Digital: Saat Internet Diam-Diam Membakar Bumi
-
Dampak Nikel terhadap Ikan Pari dan Penyu: Raja Ampat Sudah Tak Aman
Terkini
-
Sinopsis Film How to Train Your Dragon (2025), Kisah Pertemanan Manusia dan Naga
-
Review Series The King of Pigs, Kisah Balas Dendam dari Luka yang Terpendam
-
Review Film The Winter Lake: Ketika Rahasia Mengapung ke Permukaan
-
ATEEZ Maknai Cinta sebagai Proses Saling Menerima dalam Lagu Time of Love
-
Film Roman Dendam: Balas Dendam Luka Lama yang Menyingkap Konspirasi Besar