Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Atraksi topeng monyet di kawasan Sunter Jaya, Jakarta, Rabu (20/2). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Yayang Nanda Budiman

Di sebuah perempatan padat di pinggiran kota, di antara deru kendaraan dan aroma asap knalpot, seekor monyet kecil duduk bersila di trotoar. Lehernya terikat rantai besi, matanya kosong menatap jalan yang tak berujung. Pemiliknya menggoyang tali, memberi aba-aba agar sang monyet mulai menari. Musik dari pengeras suara tua mengalun serak, disambut tawa anak-anak yang menonton dari pinggir jalan. Dalam pemandangan itu, seolah semua tampak menghibur. Tapi di balik tawa itu tersembunyi luka panjang yang tak pernah benar-benar dilihat.

Praktik topeng monyet sudah lama dikenal sebagai hiburan rakyat. Sebuah tradisi jalanan yang dulu tumbuh bersama kemiskinan kota. Bagi sebagian orang, ini sekadar tontonan sederhana yang mengingatkan masa kecil, ketika setiap sore ada pengamen lewat membawa monyet kecil dengan topeng lusuh di wajahnya. Namun di balik romantisasi itu ada realitas yang lebih kelam. Pertunjukan ini tidak lahir dari kreativitas, melainkan dari rantai panjang eksploitasi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah melarang praktik ini sejak 2013. Alasan hukumnya jelas, penyiksaan hewan melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesejahteraan Hewan. Tetapi seperti banyak larangan lain di negeri ini, hukum berhenti di atas kertas. Di kota-kota satelit, di gang-gang sempit dan perumahan padat, monyet masih menari di bawah panas, rantainya masih menggores kulit leher, dan pertunjukan itu tetap berlangsung tanpa pengawasan.

Sebagian besar pelaku topeng monyet bukan orang jahat. Mereka adalah orang miskin yang bertahan hidup di celah sistem ekonomi yang timpang. Mereka tidak memiliki modal untuk berdagang, tidak punya akses kerja tetap, dan tidak cukup berpendidikan untuk mendapatkan pekerjaan lain. Maka mereka melanjutkan pekerjaan yang diwariskan: menghibur orang dengan monyet. Dalam logika sederhana mereka, ini bukan kekejaman, melainkan kerja. Bagi mereka, selama monyet diberi makan dan menghasilkan uang, maka itu sudah cukup.

Namun bagi monyet-monyet kecil yang dijadikan alat hiburan, hidup tidak lagi berarti kebebasan. Mereka yang semula lahir di hutan tropis kini hidup di kandang sempit dari kayu dan kawat. Mereka tidak lagi tahu bagaimana memanjat pohon, tidak mengenal aroma daun, atau sentuhan kelompoknya. Taring mereka dicabut agar tidak menggigit, tubuh mereka sering dipukul ketika tak menuruti perintah, dan lapar dijadikan alat untuk mengontrol. Menurut data dari Jakarta Animal Aid Network, banyak monyet dilatih dengan kekerasan. Mereka hanya diberi makan jika berhasil melakukan gerakan tertentu dan dibiarkan kelaparan jika gagal.

Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang sebenarnya adalah primata dengan tingkat kecerdasan tinggi dan struktur sosial kompleks. Mereka hidup berkelompok, saling merawat, dan berkomunikasi dengan sistem sosial yang halus. Tetapi di tangan manusia mereka dijadikan karikatur dirinya sendiri. Mereka dipaksa meniru manusia, mengendarai sepeda mini, mengenakan topeng, dan menunduk memberi hormat, padahal mereka tidak pernah paham arti dari semua itu.

Kini populasi monyet ekor panjang di alam liar kian menurun. Sejak 2022, International Union for Conservation of Nature menetapkan mereka berstatus genting dengan penurunan populasi mencapai empat puluh persen dalam empat dekade terakhir. Sebab utamanya bukan hanya deforestasi tetapi juga perburuan untuk perdagangan dan pertunjukan. Anak monyet ditangkap di hutan, dipisahkan dari induknya, dan dijual murah di pasar gelap. Sebagian berakhir di laboratorium, sebagian lain menjadi properti pengamen jalanan.

Pertunjukan topeng monyet bukan sekadar masalah penyiksaan hewan, tapi juga cermin buram relasi manusia dan makhluk lain. Di satu sisi manusia mencari hiburan dan penghidupan, di sisi lain hewan kehilangan kebebasannya. Ini adalah pertarungan antara perut dan nurani, antara kemiskinan dan empati.

Negara sebenarnya memiliki peraturan yang cukup untuk melindungi satwa, tetapi penegakan hukumnya sering kali tumpul. Kampanye dari organisasi seperti JAAN, WALHI, dan Animal Defenders Indonesia telah mendorong penyelamatan dan rehabilitasi monyet-monyet bekas pengamen. Namun tanpa dukungan ekonomi bagi para pelakunya, larangan ini hanya akan memindahkan masalah. Mereka yang kehilangan monyet akan kehilangan penghasilan, dan tanpa solusi nyata mereka akan kembali mencari jalan lain yang serupa.

Sebuah bangsa bisa diukur dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah. Dan di negeri ini, yang lemah sering kali tidak hanya manusia miskin, tetapi juga hewan yang tidak bisa bersuara. Setiap tawa yang lahir di depan monyet berkalung rantai adalah legitimasi terhadap kekerasan yang kita biarkan.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti menertawakan penderitaan. Mungkin sudah saatnya kita menatap mata monyet itu dan bertanya, siapa sebenarnya yang lebih terbelenggu? Mereka yang dirantai besi atau kita yang kehilangan empati?