Setiap kali kalender berputar ke 4 Oktober, dunia merayakan Hari Hewan Sedunia. Di banyak negara, perayaan ini ditandai dengan kampanye kesadaran dan pesan moral agar manusia lebih peduli pada satwa liar.
Namun, peringatan ini terasa paradoksal. Di balik poster cinta lingkungan, perdagangan gelap hewan langka tetap marak. Negeri yang disebut sebagai surga biodiversitas justru menjadi salah satu episentrum peredaran satwa ilegal dunia.
Operasi Thunder yang digelar Interpol pada akhir 2024 membuka mata betapa seriusnya kejahatan ini. Hampir 20 ribu satwa dilindungi berhasil diselamatkan dalam operasi lintas 138 negara. Ratusan pelaku ditangkap. Dari burung eksotik, primata, hingga trenggiling, satwa liar terus diperdagangkan lintas benua.
Nilai bisnisnya fantastis. Interpol menghitung perdagangan satwa liar bernilai 21 miliar dolar AS per tahun. Ia menempati posisi keempat sebagai kejahatan transnasional terbesar setelah narkoba, perdagangan manusia, dan senjata. Fakta ini menegaskan bahwa isu satwa liar bukan perkara konservasi belaka, melainkan bagian dari industri kriminal global.
Indonesia, dengan hutan tropis dan ribuan spesies endemik, masuk dalam jantung peredaran itu. Data Yayasan Flight sepanjang 2024 mencatat 264 kasus penyitaan satwa liar di Indonesia.
Lampung menjadi titik rawan terbesar: 32.909 individu satwa diselamatkan di provinsi ini saja. Tingginya angka penyitaan memperlihatkan dua hal: perburuan di hulu berjalan sistematis, dan distribusi ke pasar besar di Jawa hingga luar negeri terus hidup.
Perdagangan satwa liar memiliki rantai pasok kompleks. Dari pemburu di hutan, pengepul daerah, hingga sindikat internasional. Namun aparat hukum di Indonesia lebih sering berhenti di level kecil. Para pemburu dan pedagang eceran kerap ditangkap, sementara aktor besar tetap bebas.
Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati memang mengatur sanksi pidana. Namun hukumannya ringan, jauh dari efek jera jika dibandingkan dengan keuntungan miliaran rupiah yang diperoleh sindikat. Lemahnya penegakan hukum diperparah minimnya sumber daya aparat di lapangan. Polisi hutan jumlahnya terbatas, sementara kawasan yang diawasi luas.
Menghilangnya satwa liar bukan hanya soal lenyapnya spesies. Ia merusak ekosistem. Burung tak lagi menyebar benih, trenggiling tak lagi mengendalikan rayap, predator besar tak lagi menjaga rantai makanan.
Efek domino ini akhirnya kembali ke manusia: hutan kehilangan daya regenerasi, pertanian lebih rentan hama, dan ekosistem rapuh. Artinya, perdagangan satwa liar adalah kejahatan terhadap manusia juga. Bukan hanya ancaman bagi satwa.
Setiap peringatan Hari Hewan Sedunia mestinya menjadi momentum evaluasi. Namun selama kesadaran publik rendah, regulasi tumpul, dan pemerintah tak serius, peringatan ini tak lebih dari seremoni. Media sosial terus dipenuhi iklan burung langka atau reptil eksotik. Literasi ekologi nyaris tak terdengar.
Indonesia tak bisa terus bersembunyi di balik klaim sebagai negara mega-biodiversitas. Kekayaan itu membawa tanggung jawab. Dunia menaruh harapan pada Indonesia untuk menjaga hutan tropis, laut, dan satwa endemik yang tak dimiliki negara lain.
Jika kita lengah, generasi mendatang hanya akan mengenal harimau Sumatera, orangutan, atau cendrawasih lewat gambar di layar gawai, bukan dari alam.
Menjaga satwa liar berarti menjaga masa depan manusia. Saatnya pemerintah mempertegas sanksi, menutup rapat jalur perdagangan ilegal, memperkuat kerja sama internasional, dan mendorong kesadaran publik.
Tanpa itu, jaringan gelap satwa liar akan terus merajalela, dan Indonesia hanya dikenang sebagai negeri yang gagal menjaga warisan alamnya. Perdagangan satwa liar bukan sekadar soal penyelundupan hewan, melainkan cermin rapuhnya tata kelola negara.
Hari Hewan Sedunia mestinya tidak berhenti di ruang kampanye dan slogan, tetapi menjadi alarm keras bahwa kita sedang kehilangan harta paling berharga: keseimbangan ekosistem.
Jika pemerintah terus lengah, jika hukum tetap tumpul, jika publik masih menganggap satwa langka sekadar koleksi, maka kita sedang menulis babak kepunahan dengan tangan sendiri.
Baca Juga
-
Nasib Masyarakat Pesisir di Tengah Gelombang Ancaman Krisis Iklim
-
Memutus Rantai Perundungan di Sekolah Melalui Literasi Hukum Sejak Dini
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
-
Antara Rantai dan Tawa: Potret Luka di Balik Topeng Monyet yang Tak Merdeka
Artikel Terkait
-
Minim Penerangan, Ragunan Janji Evaluasi Wisata Malam Tanpa Ganggu Satwa
-
10 Hewan Aneh yang Sulit Dipercaya Ada, Eksplorasi Dunia Fauna dari Madagaskar hingga Amazon
-
7 Fakta Kaburnya Macan Tutul Lembang Park & Zoo: Diduga Stres, Viral hingga Diburu Anjing Pelacak!
-
Rocky Gerung Bongkar 'Pasar Gelap Keadilan': Petani Diusir, Kasus Tom Lembong dan Hasto Jadi Sorotan
-
Penampakan Langka, Kelinci Belang Sumatera Terekam di Kawasan Konservasi Bukit Barisan
Kolom
-
Banjir Ungkap Jejak Chainsaw, Sistem Pengawasan Hutan Masih Bolong
-
Blue Carbon: Harta Karun Tersembunyi di Pesisir Indonesia
-
Keluarga dan Pola Asuh Berkontribusi pada Perilaku Bullying, Benarkah?
-
Invisible Wound: Luka Psikologis Bullying yang Tak Terlihat tapi Berbahaya
-
Anak Meniru yang Dilihat: Bagaimana Keluarga Menghasilkan Pelaku Bullying?
Terkini
-
Duet dengan Rizky Febian Tandai Kembalinya Mahalini di Spotify Wrapped Live 2025
-
Investasi Jangka Panjang: Kenapa Anda Perlu Pemeriksaan Kesehatan Secara Berkala?
-
White Memories oleh fromis_9: Kenang Momen Musim Dingin yang Hangatkan Hati
-
Harus Hati-Hati! Garuda Muda Kali Ini Kalah Modal di Laga Perdana SEA Games Kontra Filipina
-
Usai Bongkar Dugaan Perselingkuhan, Wardatina Mawa Tunggu Inara Rusli Datang Minta Maaf