Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi potret Harimau sebagai satwa yang dilindungi.(Pixabay)
Yayang Nanda Budiman

Setiap kali kalender berputar ke 4 Oktober, dunia merayakan Hari Hewan Sedunia. Di banyak negara, perayaan ini ditandai dengan kampanye kesadaran dan pesan moral agar manusia lebih peduli pada satwa liar.

Namun, peringatan ini terasa paradoksal. Di balik poster cinta lingkungan, perdagangan gelap hewan langka tetap marak. Negeri yang disebut sebagai surga biodiversitas justru menjadi salah satu episentrum peredaran satwa ilegal dunia.

Operasi Thunder yang digelar Interpol pada akhir 2024 membuka mata betapa seriusnya kejahatan ini. Hampir 20 ribu satwa dilindungi berhasil diselamatkan dalam operasi lintas 138 negara. Ratusan pelaku ditangkap. Dari burung eksotik, primata, hingga trenggiling, satwa liar terus diperdagangkan lintas benua.

Nilai bisnisnya fantastis. Interpol menghitung perdagangan satwa liar bernilai 21 miliar dolar AS per tahun. Ia menempati posisi keempat sebagai kejahatan transnasional terbesar setelah narkoba, perdagangan manusia, dan senjata. Fakta ini menegaskan bahwa isu satwa liar bukan perkara konservasi belaka, melainkan bagian dari industri kriminal global.

Indonesia, dengan hutan tropis dan ribuan spesies endemik, masuk dalam jantung peredaran itu. Data Yayasan Flight sepanjang 2024 mencatat 264 kasus penyitaan satwa liar di Indonesia.

Lampung menjadi titik rawan terbesar: 32.909 individu satwa diselamatkan di provinsi ini saja. Tingginya angka penyitaan memperlihatkan dua hal: perburuan di hulu berjalan sistematis, dan distribusi ke pasar besar di Jawa hingga luar negeri terus hidup.

Perdagangan satwa liar memiliki rantai pasok kompleks. Dari pemburu di hutan, pengepul daerah, hingga sindikat internasional. Namun aparat hukum di Indonesia lebih sering berhenti di level kecil. Para pemburu dan pedagang eceran kerap ditangkap, sementara aktor besar tetap bebas.

Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati memang mengatur sanksi pidana. Namun hukumannya ringan, jauh dari efek jera jika dibandingkan dengan keuntungan miliaran rupiah yang diperoleh sindikat. Lemahnya penegakan hukum diperparah minimnya sumber daya aparat di lapangan. Polisi hutan jumlahnya terbatas, sementara kawasan yang diawasi luas.

Menghilangnya satwa liar bukan hanya soal lenyapnya spesies. Ia merusak ekosistem. Burung tak lagi menyebar benih, trenggiling tak lagi mengendalikan rayap, predator besar tak lagi menjaga rantai makanan.

Efek domino ini akhirnya kembali ke manusia: hutan kehilangan daya regenerasi, pertanian lebih rentan hama, dan ekosistem rapuh. Artinya, perdagangan satwa liar adalah kejahatan terhadap manusia juga. Bukan hanya ancaman bagi satwa.

Setiap peringatan Hari Hewan Sedunia mestinya menjadi momentum evaluasi. Namun selama kesadaran publik rendah, regulasi tumpul, dan pemerintah tak serius, peringatan ini tak lebih dari seremoni. Media sosial terus dipenuhi iklan burung langka atau reptil eksotik. Literasi ekologi nyaris tak terdengar.

Indonesia tak bisa terus bersembunyi di balik klaim sebagai negara mega-biodiversitas. Kekayaan itu membawa tanggung jawab. Dunia menaruh harapan pada Indonesia untuk menjaga hutan tropis, laut, dan satwa endemik yang tak dimiliki negara lain.

Jika kita lengah, generasi mendatang hanya akan mengenal harimau Sumatera, orangutan, atau cendrawasih lewat gambar di layar gawai, bukan dari alam.

Menjaga satwa liar berarti menjaga masa depan manusia. Saatnya pemerintah mempertegas sanksi, menutup rapat jalur perdagangan ilegal, memperkuat kerja sama internasional, dan mendorong kesadaran publik.

Tanpa itu, jaringan gelap satwa liar akan terus merajalela, dan Indonesia hanya dikenang sebagai negeri yang gagal menjaga warisan alamnya. Perdagangan satwa liar bukan sekadar soal penyelundupan hewan, melainkan cermin rapuhnya tata kelola negara.

Hari Hewan Sedunia mestinya tidak berhenti di ruang kampanye dan slogan, tetapi menjadi alarm keras bahwa kita sedang kehilangan harta paling berharga: keseimbangan ekosistem.

Jika pemerintah terus lengah, jika hukum tetap tumpul, jika publik masih menganggap satwa langka sekadar koleksi, maka kita sedang menulis babak kepunahan dengan tangan sendiri.