Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Eko Saputra
Ilustrasi rumah sakit horor (pixabay)

Jumat malam, seorang pengusaha muda ditemukan tak bernyawa di kamar hotel tempatnya menginap untuk beberapa minggu. Tubuhnya terlentang bersimbah darah, mengubah baju tidurnya menjadi merah. Alis dan dahi terangkat, dan mata yang melotot besar menandakan ketakutan yang maha dahsyat dialami korban sebelum kematiannya. Ekspresi itu mungkin ketika ia melihat pembunuh mengacungkan revolver ke arahnya. Siapa pun yang melihat wajah si mayat, pasti sependapat bahwa itu adalah ekspresi paling menakutkan yang pernah ada.

"Aku datang untuk janji pertemuan dengannya, kami akan merencanakan beberapa hal untuk bisnis kami. Aku ke sini menjemput karena sudah lewat satu jam dari seharusnya," kata seorang rekan pengusaha itu ketika ditanyai pihak kepolisian. Ia orang pertama yang melihat korban.

"Aku ketuk pintu berkali-kali. Tak ada jawaban. Dia itu orang yang selalu tepat waktu kalau berjanji. Jadi, pasti telah terjadi sesuatu padanya," rekan pengusaha itu menjelaskan. "Pengusaha kaya sepertinya punya banyak musuh. Kemarin sore ia bercerita tentang kematian, entah apa firasatnya. Jadi karena tadi dia tidak menyahut waktu kupanggil, terpaksa aku minta pihak hotel membukakan pintu. Dan yang kulihat, seperti yang kalian tahu sekarang."

Namun, polisi menemukan jalan buntu dalam memecahkan kasus ini. Tidak ditemukan petunjuk yang mengarah pada penyelesaian, baik itu motif, cara, maupun ciri pelaku. Kamar hotel itu tertata rapi. Tak ada barang berserakan. Seakan korban tidak melakukan perlawanan apa pun. Tidak pula ditemukan benda milik pelaku yang tertinggal. Tak ada sidik jari, tak ada jejak kaki. Pintu dan jendela terkunci rapat dari dalam.

Pada tubuh korban tidak ditemukan sedikit pun luka kekerasan. Hanya ada sebuah lubang dua centimeter di atas telinga kanan. Dalam kepalanya bersarang sebutir peluru. Hanya itu, itu saja yang dapat ditemukan. Kasus ini benar-benar rumit, benar-benar menguji kemampuan aparat.

***

Sementara itu, empat kilometer dari tempat kejadian, di dalam rumah mungil yang sederhana, seorang laki-laki sedang bersantai sambil menonton televisi. Sesekali ia tersenyum. Senyum kemenangan. Dua minggu lalu, saat duduk santai di taman kota, ia memulai misinya. Dia menutup mata, menghitung selama tiga puluh detik. Kemudian membuka matanya. Orang pertama yang ia lihat akan menjadi target dalam misi pembunuhan ini. Saat itu, si pengusaha sial tersebut lewat di hadapannya.

Jadi, korban yang tewas di kamar hotel itu, sama sekali tak ada hubungan dengan pelaku. Ia tak lain hanya lelaki bernasib buruk yang oleh ketetapan takdir harus mati dengan cara seperti itu. Maka, sekiranya polisi menelusuri orang-orang di sekitar korban, akan makin jauhlah kasus ini dari selesai.

***

Hari-hari berlalu, minggu-minggu berlalu, bulan-bulan berlalu. Pelaku tidak juga ditemukan. Penyelidikan tidak lagi sesemangat awalnya. Media pun tampak tak begitu gencar mengejar pernyataan pihak kepolisian. Orang-orang sudah melupakan kasusnya, berganti kesibukan dan peristiwa-peristiwa yang datang silih berganti.

Adapun laki-laki itu, mengapa dan bagaimana ia menjalankan aksinya ini, tak lain terinspirasi dari novel kriminal yang dibacanya. Ia begitu takjub bagaimana pembunuh dalam cerita itu melalukan kegiatan biadab dengan santai dan berwibawa. Seakan-akan membunuh orang adalah hobi yang bisa dikerjakan saat waktu senggang.

Dari novel itulah, ia mulai misi pribadinya. Ia ingin tahu seperti apakah sensasi memata-matai, mengendap-endap, menembak kepala seseorang, meninggalkan tempat kejadian tanpa meninggalkan jejak, dan melewati hari-hari setelah itu.

Terjadilah peristiwa pada Jumat malam. Sebuah perayaan ulang tahun yang megah bagi laki-laki itu, persis seperti yang di dalam novel.

***

Setahun berlalu, laki-laki itu akan merayakan ulang tahunnya dengan cara yang sama. Kali ini targetnya seorang perempuan paruh baya, lima ratus meter saja dari kediamannya.

Ia sudah begitu bersemangat, sebuah revolver tersimpan di balik jaket. Namun, baru satu langkah keluar rumah, seseorang menghentikannya. Orang itu bertubuh tegap dan berpakaian polisi.

"Jangan melawan dan aku tak akan menembakmu," kata polisi.

"Tunggu dulu, ada urusan apa polisi malam-malam datang ke rumahku," laki-laki itu berusaha setenang mungkin, seperti yang dibacanya dalam novel.

"Aku polisi yang mengambil alih kasusmu setelah tidak tuntas berbulan-bulan."

"Kasus apa? Aku tidak pernah melakukan kejahatan."

"Kau bisa mengelabui semua orang, tapi tidak denganku"

Laki-laki itu akhirnya diseret ke pengadilan dan dipidana karena melakukan pembunuhan terencana dengan hukuman penjara seumur hidup.

***

Di dalam jeruji besi, si pelaku menggerutu sendiri. Sial sekali nasibnya. Dia kira tidak akan ketahuan, apalagi setelah satu tahun. Dia sudah mengikuti cara pembunuh dalam novel itu sampai ke detail-detailnya. Padahal dalam cerita, si pembunuh tidak ketahuan sama sekali sampai akhir hayat.

Saat sibuk mengutuki diri sendiri, polisi yang tempo hari menangkapnya datang.

"Bagaimana rasanya di penjara?"

"Biasa saja."

"Oh, baguslah kalau begitu," polisi itu kemudian pergi.

"Hai," si pelaku memanggil sebelum terlalu jauh.

Polisi menghentikan langkahnya, tanpa membalikkan badan.
"Apa? Ada yang bisa kubantu?"

"Aku mau bertanya," kata pelaku dari balik jeruji.

"Tanya saja apa yang kau mau tanya."

"Bagaimana caramu mengetahui akulah yang membunuh pengusaha itu?”

Polisi itu diam, tak menjawab. Hening beberapa saat.

Tak ada jawaban, pelaku bertanya lagi, "Apa kau juga membaca novel yang kubaca?"

Kemudian polisi pun membalikkan badan, tersenyum kecil padanya, "Apa kau pernah bertanya, siapa yang menulis novel itu?"


***

Eko Saputra

Tag