Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Dream
Ilustrasi Surat Cinta (Pixabay/PublicDomainPictures)

Mawan, kamu tak tahu bagaimana kamu sudah membuatku patah hati. Benar kita tak punya hubungan hubungan cinta antar kekasih, sama sekali bukan. Kita hanyalah orang yang tanpa sengaja berada dalam satu tim sebagai rekan kerja.

Ya , ketidaksengajaan yang berlanjut menjadi hubungan seperti keluarga. Ada kalanya kita berbeda pendapat namun diantara kita terjalin pengertian bahwa kita semua bertujuan sama yakni kelancaran pekerjaan.Dan hasil akhir yang baik membuat kita berusaha tetap melakukan yang terbaik untuk perusahaan.

Kau bukan satu-satunya anggota tim. Tetapi kamu adalah salah satu yang terbaik. Kamu rajin, kompeten dan tampaknya selalu berusaha membantu. Dan aku yakin kamu juga tahu bahwa aku selalu mendukungmu. Kamu tahu aku hampir tak pernah membiarkan dirimu sendirian menghadapi masalah.

Aku juga jadi salah satu yang bahagia saat kamu menikah dan akhirnya punya seorang putri.  Semua tampak sempurna.

Sampai suatu ketika badai menerpa perusahaan tempat kita bekerja. Pendek kata kondisi perusahaan semakin memburuk dan memburuk. Terjadi pengurangan jam kerja karena perusahaan tak mampu membayar penuh gaji karyawan.

Sebenarnya perusahaan hanya mampu membayar setengah dari jumlah karyawan yang ada. Namun atmosfir kekeluargaan di perusahaan ini telah memberikan suatu pilihan kepada semua karyawan. Dan melalui hasil pemungutan suara, mayoritas memilih tidak ada pemutusan hubungan kerja namun dengan konsekuensi semua karyawan menerima gaji hanya setengah dan hanya masuk kerja setengah dari jam wajib kerja.

Bukan sesuatu yang ringan. Kehilangan separuh pendapatan tentu saja berpengaruh besar kepada kehidupan semua orang termasuk hidupmu. Tapi aku salut kau tetap tak menampakkan keputusasaan dan rasa kecewa seperti yang lainnya. Kau tetap rajin menyelesaikan pekerjaanmu. Walau beberapa orang sudah mulai menunjukkan penurunan kualitas pekerjaan. Kau tak ikut-ikutan menjadi malas. Kau bahkan tetap menunjukkan wajah ceria dan penuh semangat. Aku yakin atasan juga senang melihat perilaku, semangat dan dedikasimu.

Ada kalanya kau memang sedikit terlambat datang bekerja. Tapi itu selalu karena ada alasan yang masuk akal sehubungan dengan kondisi rumah dan hal- hal lain yang tak bisa kau hindari. Jadi aku tak mempermasalahkannya.

Kau juga tak pernah berkomentar banyak dengan keluhan- keluhan rekan kerja yang lain. Wajah tenangmu hanya menanggapi dengan senyuman dan kadang sedikit tawa. Saat dikejar deadline kau pun tetap berbuat seperti biasanya, bersedia pulang terlambat walau tak akan ada uang lembur. Kadang wajahmu sedikit tegang karena tekanan pekerjaan, tapi tetap  tak terdengar keluh kesah darimu.

Saat kemalasan rekan kerja yang lain membuat tugas terpaksa dialihkan kepadamu, kau tetap berusaha menyelesaikannya. Saat kukatakan bahwa kau tidak harus memaksakan diri menyelesaikannya; kau hanya tertawa kecil dan mengatakan ‘tak apa-apa’.

Kadang kupikir apakah aku harus angkat topi untuk kesabaranmu? Aku cukup senang bisa mengenalmu dan punya kau sebagai rekan kerja. Setidaknya di dalam situasi yang sulit ini, mempunyai rekan kerja yang tetap semangat adalah sebuah berkah.  Setidaknya aku bisa mengurangi beban pikiran dan juga menaikkan mood ketika keadaan menjadi buruk. Juga menjadi penghiburan menghadapi sikap acuh rekan lain pada pekerjaan.

Lalu…

Kau tak masuk kerja. Kau tak mengatakan apa-apa kepadaku seperti dulu-dulu jika kau tak bisa hadir kau selalu mengabari aku. Saat kutanya kepada atasan, jawaban yang kudengar hampir tak dapat kupercaya.

Ternyata kau telah mengajukan resign! dan hari ini sedang mengurus sesuatu terkait dengan pengunduran dirimu.

Aku lebih dari sekadar terkejut. Aku cukup terguncang tidak saja karena sangat mendadak tapi karena kau tak pernah mengatakan apapun kepadaku!

Kau tak pernah menyinggung ada masalah..

Kau tak pernah kudengar ada niat atau menyiratkan ingin berhenti dari perusahaan ini

Kau bahkan tak pernah terlihat bosan dan jenuh pada pekerjaan.

Sejujurnya ada rasa kosong yang mendadak menyerangku. Aku seakan tak bisa menerima kenyataan bahwa kau tak punya cukup alasan untuk bertahan di perusahaan ini. Kurasa kau sudah mempercayai sepenuhnya rumor bahwa perusahaan kita ini ibarat kapal sudah menjadi kapal penuh lubang yang terus terisi air dan perlahan namun pasti akan segera tenggelam.

Oke, bukan hakku mencampuri keputusamu. Itu sepenuhnya menjadi hakmu.

Aku tahu itu!

Tapi entah mengapa aku tetap merasakan amarah ini.

Iya benar, aku marah.

Bukan kepadamu,

Tapi pada keputusanmu,

Pada sikapmu yang tidak berterus terang.

Mengapa tak pernah kau debat dengan jujur pemikiranku bahwa saat ini kita sedang berada di kapal yang mengarungi laut dalam cuaca buruk?

Membawa kau hanya mengangguk-angguk setuju saat kukatakan kita harus berjuang bersama memberikan yang terbaik agar kapal dapat bertahan melewati cuaca buruk ini?

Mengapa kau pura- pura percaya bahwa kapal ini akan sampai pada pelabuhan tujuan yang membawa kemakmuran bersama?

Mengapa kau seperti kelasi yang diam- diam melompat dari kapal setelah sembunyi- sembunyi mencari sekoci dari sana-sini?

Kau tak memberi kesempatan kepada nahkoda untuk mengatur ulang awak kapal dengan formasi tanpamu?

Sadarkah kau bahwa kau telah membuat kapal yang sedang goyang menjadi semakin tidak seimbang?

Tak mungkin hal seperti ini kau putuskan mendadak. Aku yakin kau sudah cukup lama memikirkan, merencanakan sampai pada memutuskan. Dan sungguh aku merasa sedikit terluka karena kau sama sekali tak pernah mengatakan apa-apa kepadaku.Padahal kau tahu arti dirimu bagiku, kau sudah kuanggap  seperti saudaraku, keluargaku.

Saudara?

Keluarga?

Keluarga macam apa yang sama sekali tak membicarakan hal sepenting ini?

Tentu bukan keluarga yang dianggap dekat.

Tunggu…

Dianggap?

Apakah…apakah.

Apakah mungkin aku tak kau anggap sebagai keluarga? Bagimu aku bukan sahabatmu?

Bukan teman dekatmu dan bahkan mungkin sama sekali bukan temanmu??

Astaga, tiba-tiba aku menjadi marah!

Kali ini bukan kepadamu tapi kepada diriku sendiri.

Kenapa aku tak menyadarinya?

Kenapa aku tak melihat tandanya?

Bahwa hanya aku yang terlalu jauh mengira, menyangka bahwa hubungan pertemanan kita sudah seperti keluarga?

Kutarik napas panjang. Aku harus melihat dengan lebih jernih. Ini bukan salahmu, sama sekali bukan.

Tetapi maafkan aku tak dapat mengusir perasaan seperti dikhianati. Bahwa kau diam-diam memang telah mempersiapkan proses pengunduran dirimu dengan rapi. Tak ada yang mencium gelagatmu. Mungkin kau  menggunakan waktu liburmu untuk mencari peluang lain.

Tak kusalahlan dirimu bermaksud memperbaiki kondisi keuangan keluargamu. Hanya saja aku tetap kecewa karena kau tak memberi kami kesempatan untuk setidaknya mencari penggantimu dahulu. Tak dapatkah kau membayangkan bahwa tak mudah tiba-tiba harus mencari pengganti pekerja. Semua seharusnya butuh waktu transisi untuk memberi kesempatan penggantimu beradaptasi.

Lalu hatiku menjadi ragu. Benarkah kau selama ini sebaik yang kupikirkan? Sebab semestinya kau tidak mengejutkan banyak orang dengan hal yang berbuntut masalah ini. Atau kah kau memang sengaja agar tak mendapat tekanan menyelesaikan semua tugasmu sebelum hengkang?

Ataukah ada dendam di hatimu terhadap perusahaan yang tak lagi memberimu gaji penuh? Tapi bukankan gajimu yang separuh itu tetap harus kau bayar dengan mengerjakan tugasmu yang juga separuh itu?

Ataukah kau justru bermaksud memberikan pelajaran kepada rekan- rekan kerjamu yang lain agar merasakan bagaimana tidak enaknya harus mengerjakan tugas orang lain?

Tapi tidakkah kau tahu bahwa itu pun akan berimbas kepadaku?

Apakah aku sedikitpun  tak ada artinya untukmu?

Tanyakan saja hatimu apakah ini pemikiran yang keliru?

Aku tahu aku harus mengenyahkan segala pemikiran buruk tentangmu. Tapi adalah bohong jika kukatakan mudah bagiku untuk mengusir rasa kecewa ini.

**

Setelah sekian lama kutahan isi hatiku. Aku pun membuat pengakuan pada diriku sendiri. Bahwa semua yang terjadi memang tak bisa kuatur sesuai kemauanku. Tetapi aku seharusnya tahu bahwa hanya aku yang dapat mengendalikan perasaanku. Aku yang menentukan bagaimana aku akan bereaksi terhadap sebuah situasi.

Dan pada kejadian ini aku menggarris bawahi kalimat yang pernah kudengar bahwa jika kau terlalu berlebihan menyayangi, berlebihan perduli maka kau yang akan paling tersakiti.

Kesimpulannya:

Mawan, aku tak lagi menyalahkanmu, kudoakan semoga hal baik menunggumu di depan. Tetapi kuberharap kau tak akan melakukan hal yang sama kelak di tempatmu yang baru. Sebab belum tentu orang disana bisa memaafkanmu.

Dan terima kasih atas pelajaran berharga yang kau berikan. Aku tak akan lagi terlalu melibatkan emosi dan membiarkan hubungan pekerjaan terkait terlalu dalam dengan perasaan. Tak ada orang lain yang mampu mencegah kita dari sakit hati selain diri sendiri.

Borneo, Juli 2021

Dream