Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Moe
Ilustrasi ibu (Pixabay)

Namaku Samhadi. Enam bulan lalu ditangkap polisi atas kasus pencurian disertai kekerasan. Padahal aku tak bermaksud membunuh. Aku hanya mengincar hartanya saja. Tiada guna aku merampas nyawa. Sebab tak ada tujuan menjualnya ke siapa.

Namaku Samhadi. Lahir dari rahim ibu bukan dari rahim babi. Tetapi, selama masa penahanan, aku diperlakukan bak babi. Kotor dan najis jika bersentuh tangan. Ini kurasa saat diberi jatah makan. Seolah-olah aku binatang jalang tak bertuan. Dilempar, sampai-sampai isi talam berserakan.

Namaku memang Samhadi. Perampok spesialis wilayah timur Jawa. Meski aku tak beragama, kuakui Mamak adalah makhluk yang harus kutaati setelah Tuhan dan Nabi. Barangkali kau tak percaya. Setiap aku mendapat masalah, entah hendak merampok atau yang lain, nama Mamak selalu membuatku tenang.

Mamak satu-satunya jimat yang paling bisa diandalkan.

***

 “Harusnya kau tak bela anakmu! Dia harus bertanggung jawab.”

“Setidaknya Samhadi menginap di kantor polisi. Atau di kantor kepala desa. Biar jadi pelajaran agar tak mengulangi perbuatannya.”

Aku masih mengingat serangkaian kalimat kelam yang diucapkan ibu-ibu di kampung. Saat mereka mendapatiku mencuri uang Pak RT yang tak becus kerja. Usiaku waktu itu sebelas tahun. Dan aku diseret ke tengah lapang, seolah-olah aku pelacur.

“Justru anakku bermasalah kalau kekurangan kasih sayang seorang ibu.”

Kuakui, aku agak terkejut mendapati jawaban Mamak. Aku sangka, Mamak bakal memukulku menggunakan rotan gara-gara mendapati anaknya mencuri. Justru sebaliknya. Mamak masih menganggapku sebagai darah dagingnya sendiri, seraya mengapit lenganku membawa pulang.

Tak henti sampai di sini. Saat aku kelas tiga SMP, Mamak tak marah saat dipanggil pihak sekolah lantaran aku mengambil dan menjual sepeda guru BK. Kata Mamak, harusnya sekolah memiliki kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Jangan menggunakan metode pendidikan dan pengajaran yang usang. Yakni menggunakan telapak tangan sebagai bahan ajar. Jadi, jangan salahkan aku kalau mencuri sepeda guru BK. Sebab sang guru gemar ringan tangan. Tentu, sebagai konsekuensi aku dikeluarkan dari sekolah.

Mamak juga merestui saat aku tak mau meneruskan sekolah. Banyak orang sukses yang tidak tamat sekolah. Katanya. Aku bersyukur memiliki ibu seperti mamakku ini. Selalu bisa diandalkan dan tak pernah memarahiku walau sebiji. Dasar orang-orang tak suka. Para tetangga sering menggunjing aku yang pengangguran. Ada saja yang menjadi bahan perbincangan.

“Berandal. Preman kelas kampung. Tak sembahyang, pasti masuk neraka.”

Ya, aku tak munafik. Aku memiliki catatan dosa menumpuk di langit. Tetapi, aku tak menggunjing. Mamak mengharamkan aku membicarakan orang-orang. Mamak juga melarangku minum bir dan nyabu. Apalagi makan daging babi dan anjing. Percaya? Pasti kau mengira orang sepertiku ini pecandu sabu.

“Jiwamu boleh hitam pekat, Sam. Tapi jangan kau sentuh barang haram itu. Kelak, mereka jadi saksi pada Tuhan kalau kau sebenarnya memiliki kebaikan.”

Karena Mamak adalah sosok yang harus ditaati, tak pernah aku menyentuh apalagi mengkonsumsi bir dan narkoba. Mamak amat girang mengetahui aku anak yang berbakti. Tetapi kebahagiaannya sirna, saat satu brigade polisi menyerbu rumah, hendak menangkapku yang baru selesai merampok calon bupati yang tak terpilih. Mamak segera melempar kerudung –sebetulnya, itu satu-satunya kerudung yang dimiliki Mamak– dan daster. Aku segera mengenakan pakaian itu, lalu mengambil ember berisi pakaian kotor.

Sedangkan Mamak dengan tenang menjawab pertanyaan polisi. Meski mereka tak mudah dikelabui lalu menggeledah rumah, aku berhasil pergi setelah berpura-pura menyamar layaknya perempuan yang hendak mencuci baju ke sungai. Lalu menghilang ke luar kota.

“Ah, Sam. Aku khawatir kau tertangkap, Nak.”

“Mamak tak perlu takut. Bukankah, Tuhan selalu mengabulkan doa seorang ibu?”

Mamak tersenyum. Sebulan menghilang setelah adegan penyergapan, Mamak terlihat lebih pendiam. Aku tak tahu gerangan apa yang membuatnya hemat bicara.

“Mamak tak suka kalung pemberianku ini?”

Mamak menggeleng. “Perasaanku tak enak, Sam. Sungguh.”

“Jangan begitu. Ucapan seorang ibu adalah doa.”

Sembari kutenangkan Mamak, kupasangi sebuah kalung yang amat indah. Rasa-rasanya, aku ingin terus berbakti pada perempuan tua ini. Aku tahu, meski kuberikan seluruh isi bumi pada Mamak, pengorbanannya memiliki anak sepertiku tak bisa ditebus. Terlalu mahal untuk seorang Mamak. Apalagi, tiga puluh hari tak bertemu, aku baru sadar kalau tubuh Mamak kian kurus. Duh, sepertinya mulut tetangga sangat luar biasa.

Belum sempat aku menanyakan bagaimana Mamak bertahan di tengah cacian orang-orang, lagi-lagi peristiwa serupa terulang. Kali ini, aku mati kutu. Tak bisa lari ke arah manapun. Entah tetangga mana yang menjadi mata-mata, aku tak lagi bisa keluar dari jerat hukum. Pasukan gabungan antara polisi dan tentara menyergapku tepat di hadapan Mamak.

Sepertinya, aku salah sasaran. Aku tak tahu kalau keluarga yang aku rampok tiga hari lalu memiliki anak seorang jenderal. Ini bisa dirasa saat masa penahananku di tingkat polisi dan kejaksaan. Terkesan ingin segera dituntaskan. Apalagi jaksa menuntuku hukuman mati. Atas pencurian yang dibarengi kekerasan yang tak kuhendaki.

“Saya tak berniat membunuh mereka, Pak Hakim,” ujarku meyakinkan Majelis Hakim. “Kalau saya tak membunuh, justru mereka yang membunuh saya. Bukankah ini namanya pembelaan sekaligus perlindungan diri?”

“Niat yang disertai perbuatan Saudara sudah salah. Merampok.”

“Saya hanya mengincar hartanya, Pak Hakim. Bukan nyawa.”

Meski kujelaskan berulang-ulang, hakim tua ini tetap memvonis hukuman mati. Tujuh hari lagi dieksekusi. Andai yang aku rampok bukan orang tua si jenderal, aku yakin tak bakal dihukum mati. Ah, rakyat kecil macamku ini, meski sudah jadi tahanan masih saja jadi korban kekuasaan.

Menuju hari-hari terakhirku di bumi, aku selalu menyebut nama Mamak dan berharap perempuan itu segera membesukku. Tetapi, sejam sebelum aku ditembak mati, Mamak tak datang jua. Padahal aku sangat mengharap kehadiran Mamak. Bukankah, selama ini perbuatanku selalu benar di hadapan Mamak? Bukankah, Mamak selalu membela dan melindungiku agar tak tertangkap polisi? Lantas, mengapa Mamak tak datang menemaniku di sini? Setidaknya, mengatakan kalau aku tak salah. Cukup itu.

“Kau sebut nama ibumu seribu kali, hukumanmu takkan berubah.”

Aku tak tahu, harus marah atau bagaimana saat seorang sipir berkata begitu. Andai sebentar lagi aku tak mati, sudah kuhajar bibirnya yang tak bisa menjaga kata-kata ini.

            “Sebut saja nama Tuhan dan Nabi. Itu jauh lebih berguna sebelum kau pergi.”

            Kali ini aku terdiam. Dua petugas menyuruhku mengenakan pakaian berwarna putih, lalu membawaku ke tanah lapang. Setelah melepas borgol, kedua tanganku diikat ke tiang. Bulu kudukku bergidik saat seorang dokter memberi tanda hitam di bagian dada sebelah kiri. Ini adalah area eksekusi agar nanti peluru tepat sasaran. Tepat menyasar jantungku.

Melihat regu tembak mengambil posisi, berulang kali aku sebut nama Mamak agar tenang. Tetap saja aku gemetar. Ditambah seorang petugas menutup kepalaku dengan kain hitam, aku kian lantang menyebut nama Mamak.

            “Berhentilah menyebut nama ibumu, Sam! Perempuan itu sudah mati. Dia bunuh diri lantaran menyesal mengasihi anaknya berlebihan,” kata sang Komandan sebelum akhirnya memberi aba-aba agar regu tembak menarik pelatuk senjata. Aku tercekat mendengar penuturan sang Komandan, tepat saat sebuah peluru menghunjam jantung. Menghentikan denyut nadi. Tetapi aku sempat mengadu pada Ilahi.

Moe