Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Rico Andreano Fahreza
Ilustrasi Sebuah Kehidupan. (Pixabay.com)

Lantunan hidup yang fana yang membawaku ke dalam ruang yang tak tertembus jarak dan dimensi yang semakin hampa. Hampanya raga yang mengatup pada rongga-rongga jalan kecil menghembuskan setiap nafas. Yang terasa merapat batin mencicipi getirnya lautan kelam kelampauan yang kini masih merangkulku. Untaian jiwa yang berseru akan teriakan penyesalan segala polahku.

Yang berkutat pada semua kesanggupan diri dalam kekariban nuansa mencekam yang berdenyut pada semua getaran rendahnya diriku. Kiasan yang menghantarkan beragam pesan seolah memberkan tanda akan hidup yang tak pernah abadi selalu. Lantunan demi lantunan yang berkias menggoreskan adanya panggilan dari alam jauh.

Panggilan alam jauh yang memukul tatapan hampanya remah-remah sinar yang mematikan pelan-pelan naungan kasih alam. Alam yang menganggap aku hanyalah butiran kecil yang sangat rendah terlihat dari bentangan seluruh alam raya.

Alam raya yang berseru tawa meledek diriku dengan segenap kepayahan yang kumiliki. Lautan raya yang bersenandung bahagia dengan memandang permai diriku hanyalah sebuah bangkai. Merangkai lembah nadi dengan jeratan yang membuat siapa saja tertatih-tatih. Buruk rupa cermin perangaiku menjadi pengingat akan polah segala kehinaan.

Kehinaan bertumpah kerendahan yang pelan-pelan selangkah demi melangkah menjemput titik balik dalam kehidupan yang tak kekal. Bersambut istirahat yang terbuat dari tanah tempat aku dahulu berawal dari tanah jua. Tanah yang dipilih sebagai calon awal kehidupan.

Rico Andreano Fahreza