Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Ina Barina
Ilustrasi Menulis Pesan (Freepik.com)

Klasik,

Aku begitu asik merangkai kata menjadi berpuluh kalimat,

Kalimat yang mulai menyusun semua perasaan yang kutorehkan.

Ini menjadi sebuah kebiasaan, yang sangat sulit untuk kuhentikan

Hatiku terus saja menggerakan jemari tanganku untuk meraih pena itu,

Mulai memegangnya dan menulis berpatah-patah kata dalam sayatan asa,

Sebuah biasa yang menyakitkan.

Menulis dan mengirim pesan-pesan ini, menjadi candu untukku

Rasanya, sesuatu telah membekas disana

Dalam alunan rindu yang terus saja menggema disetiap hariku

Aku tak bisa,

Aku tak sanggup membendungnya, sendiri di dalam diriku

Dan disinilah aku,

Berakhir dengan menulis ribuan bahkan jutaan pesan yang tak jelas arahnya,

Mengirimkannya kepada seseorang yang katanya adalah pujaan hati.

Ya, pujaan hati.

Seseorang yang namanya selalu ada dalam setiap larik doa yang kupanjatkan,

Seseorang yang senyumnya mampu meyakinkanku, bahwa dunia akan baik-baik saja selama aku melihatnya

Seseorang yang suaranya selalu menjadi musik terindah dalam kedua telinga yang telah muak atas kebisingan hidup

Dan seseorang itu juga, yang hadirlah kini telah menjadi semu.

Begitu semu, tetapi tetap memabukkan.

Anehnya,

Meskipun tak pernah ada satupun balasan,

Tanganku masih saja semangat menuangkan segala rindu pada kalimat-kalimat manis diatas warna-warna kertas

Selalu masih saja ada bisikan, yang meyakinkanku bahwa suatu hari nanti, surat ini pasti berbalas

Meskipun aku tahu,

Itu adalah sebuah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan,

Sebuah harapan perlawanan terhadap takdir, yang telah dengan jelas memisahkan kita

Yang telah membawamu ke tempat terindah di dunia,

Dan aku masih disini.

Hidup dalam cerita yang telah mati.

Ina Barina

Tag