Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi
Ilustrasi Gula Aren (Dok. Pribadi)

Produksi gula aren di Indonesia mungkin bisa dibilang masih terbatas, kecuali daerah Maluku yang memang sudah terkenal. Namun, perlu kiranya kita juga sedikit melirik daerah tempat tinggal saya, di mana sejumlah masyarakat bekerja pada bidang pertanian dengan produksi gula aren atau gula merah.

Tepatnya di daerah desa Todang-Todang, kecamatan Limboro, kabupaten Polewali Mandar yang sampai saat ini saya masih mendiaminya. Mungkin saja, sedikit orang luar yang mengenal desa Todang-Todang, mengingat karena daerah tersebut memang terpencil dengan jumlah penduduk hanya berkisar 600 Kepala Keluarga (KK) saja. Apalagi desa Todang-Todang termasuk daerah yang tidak terkoneksi jaringan internet dengan baik.

Dari 11 desa yang ada di kecamatan Limboro, desa Todang-Todang termasuk desa yang terluas yakni 14.7 km persegi. Lagi pula, arus tempuh menuju desa Todang-Todang melewati pendakian dan kanan kiri jurang. Sehingga tidak sedikit juga orang berpikir panjang saat berkunjung karena akses jalanan yang menegangkan.

Namun, hal yang perlu juga dilirik bahwa desa Todang-Todang adalah daerah yang memproduksi gula merah dan sudah menjadi ciri khasnya. Bahkan, produksi gula merah termasuk pekerjaan dari leluhur yang terjadi secara turun temurun. Meskipun, hari ini sudah banyak bidang pekerjaan lain, akan tetapi produksi gula merah masih tetap bertahan.

Proses Pembuatan Gula Merah

Proses produksi gula merah di desa Todang-Todang tentu terlebih dahulu mengambil 'manyang' di pohon aren sebagai bahan dasarnya. Manyang adalah istilah lokalnya di desa Todang-Todang. Jadi, gula merah di desa Todang-Todang terbuat dari pohon aren yang lebih manis ketimbang gula merah yang diambil dari pohon kelapa.

Manyang atau air pohon aren untuk dibuat gula merah membutuhkan proses yang lumayan rumit dan agak lama. Dalam proses pembuatan, perlu kehati-hatian karena melalui proses pemanasan, dan juga perlu kerja keras mengingat ia termasuk golongan pekerjaan yang agak berat.

Saat proses pemasakan, manyang yang tadinya sudah diambil dari pohon aren kemudian dimasukkan ke wajang besar dalam keadaan nyala api menopangnya. Proses pemasakan berjalan dalam waktu yang relatif lama, apalagi kalau 'manyang' itu banyak. Bahkan dapat sampai setengah hari dalam keadaan proses pemasakan yang tidak pernah henti.

Kalau di Todang-Todang, manyang yang dimasak itu masih menggunakan kayu bakar. Meskipun, keberadaan kayu bakar sudah mulai sulit didapatkan, makanya butuh kerja keras. Tahap yang tidak boleh terlupakan saat masih dalam pemasakan yakni memasukkan kembali manyang yang sudah mendidih ke jergen atau bambu sebagai tempatnya untuk menampung manyang saat masih di pohonnya. Hal itu bertujuan agar pada saat proses pengambilan 'manyang' selanjutnya masih normal rasa manisnya.

Setelah selesai proses pemasakan yang berlangsung lama, 'manyang' pun nantinya akan berubah warna dan mengental. Manyang yang sudah lama mendidih akan menguning dan itu berarti perlu sedikit campuran kelapa atau buah kemiri agar 'manyang' yang dimasak dapat mengental dan siap dicetak menjadi gula merah siap saji.

Manyang yang sudah mengental perlu untuk diaduk agar bisa sedikit mengembang. Apabila sudah mengembang, selanjutnya dimasukkan ke percetakan dan menjadi gula merah yang siap kemas. Proses pengemasan juga biasanya menggunakan daun pisang yang kering agar gula merah tidak cepat meleleh. Kemasan daun pisang kering berlangsung lama digunakan hingga sekarang ini.

Proses Penjualan Gula Merah di Todang-Todang

Meskipun sekarang kita berada di era digital yang serba cepat, hampir semua lini kehidupan terkoneksi dengan tekhnologi dan internet seperti penjualan dan pembelian barang secara online. Seperti munculnya marketplace sebagai aplikasi yang dapat melakukan transaksi jual-beli hanya dengan menggunakan alat seperti smartphone, gadget, dan lain sebagainya.

Markertplace tersebut telah menyediakan banyak rupa barang yang siap dibeli. Namun, proses transaksi secara online seperti itu mesti didukung dengan akses jaringan yang baik. Karena apabila tidak terkoneksi, maka proses transaksi online pun tidak bakalan dapat dilakukan.

Beda halnya proses penjualan gula merah di Todang-Todang, di mana masih mengandalkan para tengkulak-tengkulak yang justru dapat mempermainkan harga. Jadi, para tengkulaklah yang berhak menentukan harga pada gula merah.

Hal itu terjadi, selain tidak memungkinkannya melakukan penjualan online, juga karena hubungan kekeluargaan antara tengkulak dan pembuat gula merah masih sangat dekat, termasuk juga tidak jelas pendistribusian gula merah, sehingga penjualan pun satu-satunya hanya kepada para tengkulak.

Karena hubungan kekeluargaan yang erat kepada para tengkulak, tentu proses penjualan juga akan bakalan sulit untuk memberikan kepada orang lain. Jadi, ada hubungan emosional yang masih terikat tinggi dalam proses penjualan gula merah yang ada di desa Todang-Todang.

Faktor itu jugalah mengapa di desa Todang-Todang pada proses jual-beli gula merah masih dilakukan para tengkulak yang sudah berjalan sejak lama. Hal itu tentu akan sulit hilang, di sisi lain sebagai budaya moralitas dan di sisi lain juga sebagai bisnis. Meskipun dalam teori bisnis tidak mengenal dengan istilah keluarga, akan tetapi di Todang-Todang masih terikat budaya hubungan kekeluargaan dalam penjualan gula merah, dan itu tentu sulit untuk berubah dan merubah.

Budi