Kehadiran buku Tuhan Tidak Perlu Dibela yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta pada Oktober 2000, merupakan sebuah upaya menghadirkan kembali Gus Dur ke tengah-tengah kita. Buku ini tidak hanya mengajak kita untuk mengetahui kiprah Gus Dur, namun juga mengungkap pemikiran-pemikiran luar biasa dari sosok Gus Dur.
Tulisan yang tertuang dalam setiap lembar di buku ini adalah kolom-kolom Gus Dur yang telah dimuat di media Tempo dalam rentang waktu sekitar sepuluh tahun sejak tahun 1970 sampai tahun 1980. Di samping itu, buku ini juga berisi uraian Gus Dur menyangkut negara, budaya, dan agama.
Terkait dengan agama, buku ini mengurai fenomena agama yang kemudian ditunggangi oleh segelintir orang tak bertanggung jawab pengusung bendera politik. Fenomena ini sampai sekarang ternyata masih hangat diperbincangkan. Agama dan politik garis keras ini sengaja lekas disorot oleh Gus Dur karena mulai banyak bertebaran dan harus dihentikan, agar tidak lagi terjadi perilaku kekerasan yang berangkat atas nama agama.
Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka, Tuhan tidak perlu dibela (hlm. 57).
Politik garis keras atau tindak kekerasan dalam berpolitik bukan cerminan dari perilaku umat beragama, sebab sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Penyalahgunaan agama sebagai alat politiklah yang menyebabkan terjadinya kekerasan.
Disamping tema yang telah disebutkan, buku ini juga mengandung tema budaya lokal yang perlu dilestarikan serta layak diberi apresiasi sebagai penghargaan, karena budaya lokal merupakan identitas bangsa yang berkebudayaan majemuk.
Keagungan suatu ajaran atau kejadian bersejarah dalam kehidupan agama dapat ‘ditradisikan’ dalam bentuk lugas dan spontan, seperti dalam pembacaan Maulid di desa-desa, dan juga dengan upacara anggun dan formal ditingkat tertinggi pemerintahan (hlm. 139).
Secara garis besar, buku ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama tentang refleksi pemikiran Islam. Bab kedua berisi intensitas kebangsaan dan kebudayaan. Sedangkan bab ketiga mencakup demokrasi, ideologi dan politik luar negeri. Selamat membaca!
Fathorrozi
Penulis lepas tinggal di Ledokombo Jember
Baca Juga
-
Menkeu Purbaya Ancam Tarik Anggaran Program Makan Gratis jika Penerapannya Tidak Efektif
-
Ferry Irwandi Ungkap Jumlah Orang Hilang pada Tragedi 25 Agustus yang hingga Kini Belum Ditemukan
-
Nadya Almira Dituding Tak Tanggung Jawab Usai Tabrak Orang 13 Tahun yang Lalu
-
Vivo V60 Resmi Rilis, Andalkan Kamera Telefoto ZEISS dan Snapdragon 7 Gen 4
-
Review Buku Indonesia Merdeka, Akhir Agustus 2025 Benarkah Sudah Merdeka?
Artikel Terkait
-
Musim Keduanya Tayang Mei 2022, Simak Sinopsis Film Doctor Strange
-
Sudah Tamat dan Tinggalkan Kesan, Simak 6 Fakta Drakor Shadow Beauty
-
Sinopsis Film Atrangi Re: Sara Ali Khan Bingung Pilih Suami Atau Pacar
-
Mengenal Gus Dur Lebih Dekat dari Novel Peci Miring
-
IKIGAI, Buku dari Jepang untuk Hidup yang Lebih Damai dan Tenteram
Ulasan
-
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Moral yang Mirip Sinetron
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
-
Review Film Dongji Rescue: Kisah Heroisme Lautan yang Menggetarkan
Terkini
-
Tayang di Noice! 'Film Gak Nikah Gapapa Kan?' Bakal Mengaduk-aduk Emosimu
-
4 Mix and Match Blazer Anti-Boring ala Noh Sang Hyun, Gaya Makin Macho!
-
Rektor UI Harumkan Indonesia: Penghargaan Tohoku University Lengkapi Lompatan UI di Peringkat Dunia
-
Suporter SMAN 3 Cibinong Panaskan Grand Final AXIS Nation Cup 2025
-
Aksi Seru dan Komedi Berpadu, Prime Video Bagikan Trailer Film Playdate