Ibu duduk di sebelahku, di pembaringan, di kamar rumah sakit yang serba putih dan bau obat ini, siang dan malam. Ibu selalu ada di sisiku. Tangannya tak pernah berhenti mengusap keningku, rambutku, sesekali mencium wajahku. Cepat sembuh ya, Nak, bisiknya disuatu malam. Jika bisa, pindahkan saja sakitmu ke tubuh ibu, Nak, bisiknya disuatu malam yang lain (hlm. 63).
Petikan diatas merupakan bagian paragraf dari sebuah novel berjudul 'Ibu, Sedang Apa?' karya Edi AH Iyubenu, pemilik Penerbit Diva Press Yogyakarta.
Ya, membaca buku ini akan menambah kadar kecintaan kita kepada perempuan yang dengan kasih-sayangnya kita terlahir ke dunia. Saya sudah dua kali membaca ulang buku ini, dua kali pula menyeka air mata. Sebab seketika teringat setumpuk dosa yang telah diperbuat kepada ibu dan ingin segera menemuinya, lalu memeluknya, serta meminta maaf.
Buku ini mengajak kita untuk semakin menyayangi ibu. Sosok perempuan yang mempunyai dada seluas samudera. Yang mengerahkan segenap cintanya untuk kita. Membimbing, mendidik, merawat dan membesarkan kita tanpa syarat dan tak kenal lelah.
Novel ini juga menggiring kita agar menjadi anak yang berbakti, dan mengatakan kepada ibu yang masih ada, “aku menyayangimu dan maafkan atas segala kesalahanku”, serta mengirimkan Fatihah kepadanya dan bersedekah untuknya, jika sudah tiada.
Lebih lanjut, Edi AH Iyubenu meminta kita untuk menundukkan kepala, membayangkan jika sosok ibu telah benar-benar tiada dan kesempatan tidak akan kembali lagi untuk bersamanya, seperti yang dikutip: Tak ada lagi suara ibu ditelepon yang mengatakan hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut, selamat sampai tujuan. Tak ada lagi masakan terbaiknya yang tak bakal pernah bisa digantikan oleh racikan chef mana pun sebab hati ibu mustahil digantikan oleh hati siapa pun selain ibu. Tak ada lagi suapan tangannya bertaut dengan bibirku. Selamanya! (hlm. 61).
Mumpung ibu masih ada di tengah-tengah kita, jangan sia-siakan kehadirannya. Sebab, jika sudah sampai umur, saat alam memisahkan kita dan ibu, maka penyesalan tinggallah penyesalan. Bahkan, gelimang harta yang kita punya pun sama sekali tidak ada apa-apanya. Ketika itu, kita baru sadar bahwa ibu merupakan harta yang begitu bernilai.
Untuk mewakili rasa kehilangan ini, Edi AH Iyubenu menyatakan: Untuk apa mobil-mobil itu, Bu? Andai Tuhan berkenan mengembalikanmu ke pelukanku dengan cara mesti kubuang semua mobil itu, entah berapa biji banyaknya itu, tanpa syak sedikit pun seketika akan kuiyakan. Demimu, Ibu... (hlm. 62).
Bahkan, lebih dari itu, CEO Kafe Basabasi, Kafe Lehaleha dan Kafe Mainmain ini memposisikan ibu sebagai azimat atau jimat. Seperti yang ia tulis: Ibuku adalah jimatku. Aku berjalan, melaju, memandang, dan bernapas selalu dengan spirit jimat tersebut. Jimat itu adalah tujuanku, sekaligus sumber kehidupanku. Saat jimat itu telah pergi, gerangan apa lagi yang bermakna untuk diterabasi? (hlm. 123).
Selain itu, novel pembangkit jiwa untuk mencintai ibu ini, juga menyiratkan taburan nasihat yang perlu kita aplikasikan dalam ucap dan tingkah laku sehari-hari. Banyak ditemukan nasihat ibu kepada anak, semisal nasihat ibu agar anak tidak meninggalkan salat meski kondisi sangat sibuk, tetap sederhana dan tidak sombong saat kaya, biasakan baca selawat dan berbagi kepada orang miskin, serta berjibun nasihat lainnya, termasuk selalu dekat dengan keluarga agar tetap bahagia, sebagaimana kutipan berikut:
“Orang mau sekaya apa pun, ia takkan pernah bisa bahagia dengan kekayaannya jika tidak dekat dengan orang lain, utamanya keluarga. Kaya itu kan hanya alat, tujuannya bahagia. Buat apa kaya tapi tidak bahagia, kan?” (hlm. 42)
Meski tidak disebutkan di dalam kategori buku, berdasarkan yang saya baca secara berulang-ulang, akhirnya saya menyimpulkan bahwa kisah yang ditulis sejak 1 Desember 2013 lalu diteruskan pada enam tahun berikutnya ini (2019), merupakan kisah nyata (true story). Yang mengisahkan seorang ibu dengan keberlimpahan kasih-sayangnya kepada anak, semata tulus demi anak dan tidak mengharap imbalan, kemudian wafat saat menunaikan ibadah haji di Tanah Haram, disalatkan oleh Syeikh Maheer dan ribuan jamaah di depan Kakbah, lalu dimakamkan di Maqbarah Syara’i atau Ma’la dua.
Terakhir, marilah tundukkan kepala kita, buka hati serta renungkan pesan penulis yang saya kutip di buku ini halaman 69: Pernahkah kau membayangkan menegakkan salat jenazah, lalu mengajikan Yasin dan memungkasinya dengan tahlilan untuk ibu kandungmu yang amat kau sayangi dan sepenuh jiwa menyayangimu? Larilah sekarang juga kepada ibumu! Peluklah ia erat-erat, ciumlah ia, mintalah maafnya, mohonlah welas asihnya, mengemislah untuk ridhanya!
Baca Juga
-
Melahirkan Generasi Muda Nasionalis dalam Buku Indonesia Adalah Aku
-
Mengenal Puisi Sederhana Penuh Makna dalam Buku Perjamuan Khong Guan
-
Temukan Potensi Diri dan Kekuatan Pikiran dalam Buku Mind Power Skills
-
Ulasan Buku Memaknai Jihad, Mengenal Pemikiran Prof. Dr. KH. Quraish Shihab
-
Cinta Datang dari Ranum Buah Mangga dalam Buku Kata-Kata Senyap
Artikel Terkait
-
Meninggal Berdekatan, Ibu Mertua Faank Wali Sempat Bantu Memandikan Jenazah Ibu Ovie Wali
-
Faank Wali Kenang Momen Dimarahi Ibu Mertua
-
Kronologi Ibu Mertua Faank Wali Meninggal Dunia Usai Umrah, Sempat Dioperasi Karena Batu Ginjal
-
Istri Faank Wali Sudah Berfirasat Sang Ibu Akan Meninggal Dunia Usai Umrah
-
Ibu Mertua Meninggal Usai Ibadah Umrah, Faank Wali Bicara Tentang Kepergian yang Indah
Ulasan
-
Ulasan Novel Monster Minister: Romansa di Kementerian yang Tak Berujung
-
Ulasan Novel The Confidante Plot: Diantara Manipulasi dan Ketulusan
-
Review Film Drop: Dinner Romantis Berujung Teror Notifikasi Maut
-
Pengepungan di Bukit Duri: Potret Luka Sosial di Balik Layar Sinema
-
Review Anime Bofuri, Main Game VRMMORPG yang Jauh dari Kata Serius
Terkini
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Miliki 2 Modal Besar untuk Permalukan Arab Saudi
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Lebih Siap untuk Menjadi Juara Dibandingkan Tim Tuan Rumah!
-
Media Asing Sebut Timnas Indonesia U-17 akan Tambah Pemain Diaspora Baru, Benarkah?
-
Taemin Buka Suara Soal Rumor Kencan dengan Noze, Minta Fans Tetap Percaya
-
Kartini di Antara Teks dan Tafsir: Membaca Ulang Emansipasi Lewat Tiga Buku