Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Sam Edy Yuswanto
Buku "Agar Imanku Semanis Madu" (DocPribadi/SamEdy)

Bahrus Surur dalam kata pengantar buku berjudul ‘Agar Imanku Semanis Madu’ ini menyampaikan bahwa buku tipis ini lahir dari berbagai fenomena dan peristiwa yang muncul dalam kehidupan keseharian. Salah satunya, yakni ketika terjadi kesenjangan yang begitu jauh antara keimanan dan pengalaman makna dalam kesejarahan hidup manusia. Realitas itu kemudian dicoba-sentuh dengan perspektif keimanan. Sekadar ingin membuktikan bahwa segala perilaku manusia dalam kehidupan ini sesungguhnya sangat berkait-kelindan dengan keimanan. Keimanan itu senantiasa mengiringi dan melingkupi seluk-beluk kehidupan duniawi seorang muslim. 

Tauhid adalah sebuah loncatan dan pilihan di atas konklusi nalar dan revolusi mental, yang memasuki wilayah supranatural dan transendental. Namun begitu, walaupun sifatnya abstrak, iman senantiasa melahirkan dorongan dan pengaruh amat kuat untuk mengarahkan pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang untuk berbuat kebajikan (amal saleh). Ibarat roh, iman tidak tampak namun bekas dan dampaknya sangat nyata dalam perilaku seseorang (Agar Imanku Semanis Madu, halaman 20).

Dalam buku 'Agar Imanku Semanis Madu,' terbitan Quanta (2017) ini Bahrus Surur menjelaskan, ciri orang yang beriman dan bertauhid ada dua. Pertama, orang yang bertauhid adalah mereka yang bebas menentukan pandangan dan jalan hidupnya sendiri berdasarkan pertimbangan akal sehat dan secara jujur tentang apa yang benar dan salah, antara yang baik dan buruk. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Furqan: 73, “(orang beriman itu) ialah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, tidak tunduk begitu saja seperti orang yang tuli dan buta.” Bila mendengar sesuatu yang dipercaya sebagai sumber kebenaran, orang yang bertauhid tidak tunduk membabi buta, namun tetap kritis dan dipertimbangkan dengan akal sehat.

Kedua, seorang mukmin juga akan selalu tampil sebagai orang yang berani, penuh percaya diri, dan berkepribadian kuat (Ali Imran: 139). Karena ia tidak terkungkung oleh keangkuhan dirinya sendiri dan tidak menjadi tawanan egonya, maka ia jujur dan adil (An-Nisa’: 135). Ada kaitan erat antara tauhid dan nilai-nilai pribadi yang positif, seperti sikap kritis, penggunaan akal sehat (sikap rasional), kemandirian, keterbukaan, kejujuran, berani karena benar, dan bertanggung jawab (Ali Imran: 191).

Menarik apa yang disampaikan Imam Al-Ghazali melalui teori cerminnya. Baginya, aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi dengan cahaya keilahian bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap. Sebaliknya, orang yang sekadar percaya kepada Tuhan tanpa menumbuhkan sifat-sifat keagungan Tuhan dalam dirinya bagaikan iblis. Artinya, kualitas motivasi manusia akan menjadi rendah ketika Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasinya. Berdasarkan kenyataan tersebut, basis tauhid menjadi hal yang sangat krusial dalam mendorong berkembangnya tradisi keilmuan di masa peradaban Islam (Agar Imanku Semanis Madu, halaman 22).

Melalui buku 'Agar Imanku Semanis Madu' kita akan memahami bahwa yang namanya keimanan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap orang. Selamat membaca, semoga bermanfaat. 

Sam Edy Yuswanto