Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nurillah A.
Media dan Kekuasaan (DocPribadi/nurillah)

Tumbangnya orde baru, tidak dapat dipisah dengan peran media yang jauh sebelum tahun 1998 telah menjajaki perpolitikan Indonesia. Media cetak misalnya, meski harus dibredel pemerintah, mereka memiliki peran yang signifikan dalam membangun opini publik.

Demikian pula dengan media televisi. Kehadiran media ini, sejatinya diharapkan untuk memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat. Namun sayangnya, TVRI yang merupakan satu-satunya stasiun televisi pemerintah terus menerus menyajikan program maupun berita yang selalu mendukung kepemerintahan.

Acara hiburan sangat jarang ditampilkan, sehingga terkesan mengabaikan kebutuhan masyarakat. Hal ini dipicu lantaran kekuasaan yang dimiliki pemerintah sangat melekat pada media televisi tersebut.

Begitupula dengan lahirnya televisi-televisi swasta yang notabene milik keluarga cendana, juga tak luput dari kontrol sang Jenderal. Tak pelak, kekuasaan yang dimiliki pemilik modal menetukan karakter program dan berita yang disiarkan.

Buku yang sejatinya disertasi Ishadi SK ini, menampilkan sisi media televisi yang jarang diketahui publik. Newsroom tidak hanya menjadi ruang bagaimana mencari, memilih, memilah lalu menyiarkan berita, tetapi juga bagaimana interaksi yang terjadi khususnya antara jurnalis dengan pemilik modal.

Pria yang memulai kariernya sebagai junior reporter TVRI ini, membahas secara gamblang mengenai pergolakan yang terjadi di dalam newsroom tiga stasiun televisi swasta; RCTI, SCTV dan Indosiar menjelang runtuhnya orde baru.

Kontestasi politik dan ekonomi merupakan adu kekuatan yang ditunjukkan antar ketiga stasiun televisi tersebut. Kontestasi ekonomi misalnya, pemilik modal tentu mengutamakan bisnis semata. Tidak peduli program yang ditayangkan berkualitas tinggi maupun rendah, sejauh laku di masyarakat dan mendatangkan banyak iklan, tentu disenangi para pemilik stasiun televisi atau pemilik modal.

Hal ini bertolak belakang dengan idealisme jurnalis. Bagi para jurnalis, menghadirkan fakta kepada masyarakat merupakan kewajiban mutlak sekalipun bertentangan, bahkan merugikan pemilik stasiun televisi. Tentu dengan risiko teguran keras, bahkan berupa pemecatan.

Puncak pergolakan antara jurnalis dengan pemilik media terjadi menjelang Mei 1998. RCTI yang memang memelopori karakter berita perlawanan dengan menyajikan ‘Seputar Indonesia’ telah membuat sejarah baru untuk bangsa.

Kasus “pita hitam” yang diikat di lengan kiri Desi Anwar tatkala membacakan ‘Seputar Indonesia’ pada Rabu, 13 Mei 1998, merupakan tanda awal pemberontakan di dalam ruang berita televisi swasta.

Para jurnalis memang memiliki kebebasan dalam mencari, memilih, dan membuat berita. Namun, mereka tidak bebas dalam menyiarkan berita. Pasalnya, kontrol pemilik media cukup ketat. Akan tetapi, Desi Anwar beserta tim produksi ‘Seputar Indonesia’ melawan kekuasaan tersebut.

Kasus “pita hitam” yang dikenakan Desi Anwar dipicu terjadinya tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa. Kejadian ini menimbulkan reaksi keras bahkan tokoh politik seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, bahkan Akbar Tandjung menghadiri penghormatan di kampus Trisakti.

Sedangkan di tempat lain, Universitas Indonesia (UI) melakukan aksi membar bebas yang turut mengajukan usulan agar setiap pejuang untuk mengenakan pita hitam di lengan kiri sebagai tanda solidaritas. Dan Desi Anwar melakukannya. Tentu butuh pertimbangan matang melakukan hal tersebut.

Salah satu contoh perlawanan jurnalis di atas, merupakan sejarah yang dibuat oleh media televisi. Ishadi SK telah berhasil menyajikan sebuah ensiklopedi mengenai media televisi.

Buku ini sangat komprehensif karena tidak hanya mengupas bagaimana proses ‘memasak’ sekaligus ‘menghidangkan’ suatu berita tetapi juga bagaimana interaksi yang ada di dalam ‘dapur’ stasiun televisi. Khususnya bagaimana para jurnalis di masa orde baru memperjuangkan idealismenya demi bangsa dengan segala resiko yang harus ditanggung.

Pertanyaannya sekarang, lalu bagaimana dengan newsroom sekaligus idealisme jurnalis di era reformasi? Agaknya, kita perlu melihat dunia pertelevisian sekarang dengan kenyataan kontestasi politik. Hal ini menandakan bahwa kepentingan politik dan bisnisdi mana pemilik stasiun tivi yang sebagian besar politikustidak dapat dipisah dengan karakter berita yang disiarkan.

Era orde baru memang telah tumbang, tetapi masalah yang dihadapi para jurnalis lebih kompleks di era reformasi. Barangkali, benarlah apa yang diucapkan Ishadi dalam judul bab terakhirnya yaitu karena jurnalis tak sepenuhnya merdeka.

Nurillah A.