Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Wahid Kurniawan
Ilustrasi angin meniup asap pembangkit.[Unsplash]

Yu Miri dikenal sebagai salah satu penulis Jepang perempuan yang memiliki identitas unik. Ia lahir dan besar di Jepang, tetapi memiliki darah Korea dalam dirinya. Identitasnya itu yang membuatnya tergolong orang-orang Zainichi, yaitu sebutan yang disematkan untuk orang berdarah Korea di Jepang. Adapun soal istilah ini, juga melekat sebagai salah satu corak kesusastraan yang ada di negeri itu. Kendati istilah itu masih diperdebatkan merujuk ke sebuah genre sastra atau bukan, tetapi eksistensi karya-karya dalam barisan ini tetap diakui. Dan Miri, sebutan akrabnya, merupakan salah seorang penulis yang berdiri dalam barisan ini.

Sebagai penulis bercorak Zainichi Literature, Yu Miri memiliki kekhasan yang disematkan dalam karyanya. Tema identitas seorang yang terbuang atau seseorang memiliki masalah terkait tempat tinggal, menjadi dual hal utama yang bisa kita dapati dalam karya-karyanya itu. Dua tema itulah yang terdapat dalam dua karyanya edisi bahasa Inggris-nya bisa kita baca, yaitu Tokyo Ueno Station (Tilted Axis Press, 2021) dan North Winds Blow the Leaves From the Trees (Granta Magazine, 2020). Karya pertama merupakan novel, sementara yang kedua merupakan cerita pendek. Kedua karya itu diterjemahkan oleh orang yang sama, yaitu Morgan Giles.

Namun, dalam tulisan ini, cerpen Yu Miri-lah yang akan ditelisik lebih jauh. Kalau di novelnya itu, Yu Miri menyoalkan soal kehidupan seorang gelandangan dan perjuangannya dalam mencari makna hidup, dalam cerpennya itu Yu Miri menyoalkan tentang gambaran korban bencana nuklir Fukushima. Bencana yang juga dikenal Tragedi Fukushima Daiichi itu merupakan peristiwa bersejarah dalam masyarakat Jepang. Bencana itu terjadi pada 11 Maret 2011, berupa gempa sebesar 9 magnitudo, disusul tsunami dan ledakan nuklir. Dengan bencana sebesar itu, tentu dampak yang dihasilkan luar biasa parah.

Apalagi, dampak yang menimpa tidak saja berupa kerusakan dan hilangnya tempat tinggal, tetapi juga menyasar keadaan psikologis para korbannya. Hal itulah yang tergambarkan dalam cerpen Yu Miri ini. Dikisahkan, ada seorang perempuan dan ibunya yang menjalani hari-hari terakhir mereka di penampungan sementara. Setting cerita itu mengambil masa dua tahun setelah tragedi Fukushima, tetapi perbaikan yang dilakukan Jepang belum sepenuhnya selesai.

Bahkan, dampak yang menimpa para korbannya, masih menyisakan sesuatu yang belum selesai. Seperti yang diceritakan dalam cerpen itu, Yu Miri mengisahkan keadaan masyarakat yang tidak bisa kembali ke rumah mereka, sebab tempat tinggal itu telah rusak dan terdampak radiasi, sehingga tempat itu tidak bisa ditinggali lagi. Keadaan itu yang menghadirkan kenelangsaan bagi para korban, seperti saat si karakter perempuan kebingungan menentukan di mana mereka akan tinggal selanjutnya. Sebab, masa tinggalnya sudah mendekati masa tenggang dalam penampungan itu, dan mereka dituntut untuk pergi dari sana.

Ke mana mereka akan pergi? Pertanyaan itu dilontarkan karakter cerita di kalimat pertama dalam cerpen tersebut. Kebingungan itu juga ditambah ingatan akan bencana dua tahun lalu yang masih membayangi pikirannya, seolah bencana itu baru terjadi di hari kemarin. Ingatan itu pun menjadi penderitaan tak terperi, apalagi saat sang ibu meninggal pada suatu malam. Praktis, si karakter utama sendirian, tidak memiliki siapa-siapa lagi di muka bumi ini. Namun, rupanya ada rahasia lain yang disimpan mendiang ibunya, bahwa ada kemungkinan kalau ayah karakter utama masih hidup. Anggapan itu muncul saat pada suatu malam, si karakter utama memeriksa barang-barang mendiang ibunya. Di sana, terdapat nama asing yang tak pernah diceritakan oleh sosok mendiang ibunya. 

Tapi, untuk apa semua itu? Apakah penemuannya itu membuatnya tak lagi kesepian? Di situlah, Yu Miri merepresentasikan kisah korban bencana yang sepenuhnya kehilangan semangat hidup, sebab besarnya dampak yang mereka dapatkan. Lewat cerita ini, Yu Miri mewakili kisah mereka yang pernah terdampak bencana, dan mengisahkan mereka dengan kejujuran. Tidak ada yang tertutupi, tidak ada yang dibuat mengada-mengada. Oleh sebab itu, maka tidak perlu heran akan didapati nilai kemanusiaan dalam cerita ini, yaitu tentang bagaimana seseorang berjuang melawan keputus-asan dan mencoba menemukan alasan lain untuk terus hidup. Nilai kemanusiaan itu yang membuatnya menarik untuk dibaca. 

Wahid Kurniawan