Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahid Kurniawan
Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (Twitter/warungsastra)

Karya sastra berbasis lingkungan mungkin masih cukup asing bagi pembaca kita. Kendati tidak sama sekali baru dalam ekosistem kesusastraan tanah air, tetapi di telinga pembaca, Environment literature atau sastra hijau belum seakrab karya dengan pendekatan lain, karya berbasis feminisme misalnya.

Padahal, sastra hijau cukup memiliki nama di gelanggang global. Pada tahun 1994, lembaga yang bernama Association for the Study of Literature and Environment (ASLE) lahir di Amerika. Lembaga ini mempunyai misi jelas: Menggalakkan sastra hijau supaya bisa menjadi ruh dari sekian macam karya mulai dari seni, humaniora, dan  karya sastra.

BACA JUGA: Nasihat Hadratus Syaikh Mbah Hasyim Asy'ari untuk Ulama dan Umat Islam

Perhatian lembaga semacam itu tentu punya alasan. Sastra, kita tahu, bisa menjadi medium, media, atau corong untuk menyampaikan segenap isu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Dan, semangat dari sastra hijau ini erat kaitannya dengan lingkungan hidup. Ia mengangkat masalah yang berkaitan dengan pencemaran, polusi, penggunaan zat-zat berbahaya, dan masalah lainnya yang berdampak terhadap lingkungan.

Dengan semangat itulah, penerbit Marjin Kiri, dengan lini penerbitnya yang bertajuk Pustaka Mekar, merilis salah satu karya bernapaskan sastra hijau dari penulis asal Cile, Luis Sepulveda. Karya ini memiliki judul yang cukup panjang, Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (Marjin Kiri, 2023). 

Persis seperti judulnya, novela ini mengisahkan seekor kucing bernama Zorbas—dibantu kucing-kucing pelabuhan lainnya—yang berusaha mengajari terbang seekor anak camar. Bagaimana ceritanya Zorbas yang dasarnya seekor kucing, mesti mengajari seekor anak camar? Semua itu tidak bakal terjadi kalau ia tidak bertemu dengan induk camar yang sekarat dengan minyak lengket memenuhi sekujur bulunya. Camar malang itu, pada suatu kesempatan, mengalami nasib buruk sebelum bertemu Zorbas. Ia terpisah dari rombongannya ketika tengah mangarungi samudra dan mencari makan. 

Sial bagi si camar, saat tengah menyelam demi menangkap buruannya, ia terlambat mengetahui peringatan camar lain bahwa tumpahan minyak dari kapal tanker berada di dekatnya. Segera saja tubuhnya tersaput minyak, dan dengan kepayahan ia berusaha terbang dan mencari tempat yang aman. Dalam kepayahannya itu, ia terjatuh di sebuah balkon, dan di balkon itu, kucing pelabuhan kita, Zorbas, tengah bersantai ria menikmati sinar matahari. 

Melihat itu, Zorbas tergerak membantu. Tapi sebelum Zorbas pergi mencari bantuan, si induk camar berpesan dan meminta Zorbas untuk berjanji kepadanya. Zorbas diminta, kalau si induk camar tidak selamat saat ia bertelur—ia sedang masuk periode bertelur, Zorbas mesti berjanji menjaga telur itu sampai menetas, lalu setelah menetas, ia mesti merawat dan mengajarinya terbang.

Tentu, Zorbas awalnya tidak menyanggupi hal tersebut, tapi didesak oleh keadaan, ia mengiyakan permintaan si induk camar. Setelahnya, ia pergi mencari bantuan kepada kucing pelabuhan lainnya. Namun, sayangnya, si induk camar tidak selamat. “Dan sekarang kita ucapkan selamat tinggal kepada camar itu, korban bencana yang disebabkan oleh manusia (Hal. 38).”

Sebuah Gugatan

Marjin Kiri sebagai pihak yang menerbitkan karya ini ke dalam bahasa Indonesia, tentu memiliki misi khusus. Bahwa diharapkan, novel yang memiliki kisah sederhana ini menjadi bacaan berkualitas terutama kepada pembaca yang disasarnya, yakni pembaca muda atau remaja.

Dan, itu bukannya berlebihan, sebab novela ini bukan sejenis bacaan yang selintas lalu dilupakan, tanpa meninggalkan apa pun untuk direnungkan. Apalagi, semangat sastra hijau yang mengakar kuat, membuat novela ini bisa menjelma sebuah gugatan.

Itu, misalnya, kita dapati di dalam salah satu petikan dialog berikut: “… Kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka ingin mengubah lautan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa. Aku baru pulang mengeduk di mulut Sungai Elbe, dan kalian tak bisa bayangkan berapa banyak sampah yang terseret arus ke sana. Demi batok penyu! Kami mengangkut keluar tong-tong insektisida, ban bekas, dan berton-ton botol plastik sialan yang ditinggalkan manusia di pantai,” Banyubiru bercerita geram (Hal. 62). Banyubiru adalah kucing yang kerap ikut kapal pembersih sampah di pelabuhan Hamburg.

Namun, walau berisikan gugatan, novela ini tetap mempertahankan kekhasan bacaan untuk pembaca muda. Selain mengangkat soal ekologi dan dampak kegiatan manusia yang merusak keseimbangan alam, novela ini juga mengandung kisah yang hangat dan kuat dengan nilai-nilai persahabatan.

Satu yang paling kentara misalnya, bisa kita dapati di dalam adegan ketika anak camar yang sedang diajari terbang, merasa tidak percaya diri dan menganggap ia tidak perlu belajar terbang. Ia dibesarkan oleh para kucing, sehingga ia percaya, hidupnya lebih dari cukup bila dijalani seperti laiknya kucing. Namun, Zorbas, jelas menentang hal tersebut. 

Ia berkata, “…Kau ini camar, dan kau harus menjalani takdirmu sebagai camar. Kau harus terbang. Kalau nanti kau bisa, Furtuna, kupastikan kau akan merasa bahagia, dan perasaanmu kepada kami serta perasaan kami kepadamu akan menjadi kian dalam dan kian indah karena inilah kasih sayang antara mahkluk yang sama sekali berbeda.” (Hal. 67)

BACA JUGA: Mengupas Film Bad Genius dari Sudut Pandang yang Berbeda 

Kisah Zorbas, camar, dan kucing pelabuhan lainnya memang kisah yang sederhana. Tapi bukan berarti mereka tidak memberi nilai sama sekali. Sebaliknya, di dalam kesederhanaannya itu, ia memiliki sesuatu yang bisa membangkitkan kesadaran atas pentingnya kepedulian terhadap lingkungan.

Semangat sastra hijau sedemikian dalam merasuk ke dalam bangunan cerita. Ia melekat kuat, terselip di dalam dialog dan narasi, bersanding dengan nilai lain yang meninggalkan kesan serta memancing permenungan pembaca tentang sekian hal: Lingkungan, persahabatan, dan kepedulian. 

Wahid Kurniawan