Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahid Kurniawan
Keajaiban Toko Kelontong Namiya (DocPribadi/Wahid)

Kalau datang ke toko buku, cobalah berjalan ke deretan rak fiksi. Telusuri rak per rak, lalu cermati bagian yang memajang buku-buku terjemahan penulis Asia—yang tentu saja didominasi karya penulis Jepang dan Korea Selatan.

Jangan khawatir, biasanya mereka punya rak tersendiri, sehingga bukan hal yang sulit-sulit amat untuk menemukannya. Bila sudah berdiri di depannya, perhatikan lagi, sebab sangat mungkin kita menemukan sejumlah kecenderungan. Bahwa penulis Jepang adalah barisan lebih yang mendominasi, bahwa Haruki Murakami punya rak sendiri yang berisi karyanya, dan bahwa karya Keigo Higashino perlahan menyaingi katalog karya-karya Murakami. 

Barangkali, sebagian dari kita masih asing dengan nama tersebut. Sebab, bicara soal penulis Jepang, banyak pembaca Indonesia kadung mengakrabi nama Haruki Murakami sebaik mengingat penulis-penulis Indonesia kiwari. Padahal, nama Keigo Higashino bukannya tak moncer sama sekali.

Apalagi, dalam kurun waktu belakangan ini, seiring karyanya yang makin banyak diterjemahkan, peminat karya-karya Higashino kian bertambah. Sejak kali pertama hadir di hadapan pembaca, kini terhitung sudah tujuh buku yang telah (dan akan) diterjemahkan ke bahasa Indonesia,The Devotion of Suspect X (Kesetiaan Mr. X) (GPU, 2016), Salvation of a Saint (Dosa sang Malaikat) (GPU, 2021), Malice (Catatan Pembunuhan Sang Novelis) (GPU, 2020), Newcomer (Pembunuhan di Nihonbashi) (GPU, 2020), Keajaiban Toko Kelontong Namiya (GPU, 2022), Black Showman dan Pembunuhan di Kota Tak Bernama (GPU, 2022), dan terakhir, yang akan rilis sebentar lagi, Angsa dan Kelelawar (GPU, 2023).

Dari ketujuh judul buku tersebut, tentu kita bisa meraba kekhasan Higashino. Satu hal yang melekat di benak pembaca adalah kepiawaiannya menjalin kisah crime penuh kejutan dan kerumitan hubungan karakter yang dihadirkan dengan keringanan gaya bercerita. Tempo novel-novel Higashino cenderung stabil, walau kadang terkesan cepat, tapi baik kestabilan ataupun kecepatan itu sama-sama memantik rasa penasaran pembaca, sehingga ada kesan tak membiarkan pembaca terjebak dalam parade narasi membosankan.  

Higashino pun tak selalu patuh pada satu pakem cerita atau genre tertentu. Kendati namanya melambung sebagai penulis bergenre crime atau misteri yang digadang-gadang dapat menyaingi kecemerlengan nama Agatha Christie, tapi lokus kepengrajinan Higashino merambah genre dan bentuk cerita lainnya. 

Misalnya, dalam novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya (GPU, 2022) terjemahan Faira Ammadea, Higashino bermain-main dengan genre realisme magis dengan alur non-linear dan kecenderungan cerita berlapis-lapis. Bagaimana ia melakukannya? Mulanya, cerita dibuka dengan adegan tiga orang pencuri—Shota, Atsuya, dan Kohei—yang bersembunyi di sebuah toko kelontong terbengkalai setelah melakukan pencurian pada suatu malam.

Tempat itu tak disengaja ditemukan salah seorang dari mereka saat tengah mencari alternatif persembunyian yang menjadi bagian rencana pencurian mereka. Dan sebagai bagian dari rencana, mereka berniat hanya sejenak bersembunyi di sana. Mereka tinggal sampai fajar menyingsing. Malam itu tahun 2012, dan mereka menanti fajar yang tak lekas datang sebab waktu seolah beredar dengan putaran yang berbeda. 

Tadinya, keanehan itu tak mereka sadari. Keganjilan makin mengental ketika mereka tanpa sengaja menemukan surat di kotak surat dan tanpa ragu membukanya. Isi surat itu sama ganjilnya, sebab berisi permintaan konsultasi terkait permasalahan seorang gadis yang bingung antara memilih tetap ikut olimpiade atau merawat pacarnya yang sakit. Ada kebimbangan sarat di benak si gadis, mengingat pacarnya ingin ia tetap mengikuti olimpiade, sementara jauh di lubuk hatinya ia khawatir pacarnya meninggal dan ia tak bisa menemaninya.

Melihat itu, salah seorang dari ketiganya iseng menulis jawaban untuk mengisi waktu luang sembari menunggu. Surat balasan pun ditulis, kendati dua lainnya menilai itu tak berguna. Surat itu diletakkan di kotak susu toko, lalu belum ada satu menit berlalu, surat lain datang. Keganjilan itu membuat mereka terenyak. Ada apa ini?

Seiring waktu berjalan, mereka menyadari keganjilan lainnya: bahwa surat itu datang dari masa lalu, tepatnya tahun 1980-an; bahwa waktu seolah melambat; bahwa ada peredaran waktu yang tak biasa, sehingga mereka bisa berhubungan dengan mereka yang ada masa lalu; dan bahwa identitas toko kelontong itu masih menjadi misteri bagi mereka.

Dengan segenap keganjilan itu, pertanyaan menggantung di benak mereka, dan pembaca menemukan alasan untuk terus mengikuti kisah mereka. Kebingungan ketiga pencuri mempertebal rasa penasaran pembaca. Apalagi, Higashino memberikan sejumlah petunjuk-penghubung yang tak jelas, tapi memiliki kedudukan sebagai penyambung teka-teki dari toko kelontong dan situasi ketiga pencuri itu. 

Namun, pada bagian berikutnya, alih-alih memberikan kejelasan soal misteri itu dengan pengisahan ketiga karakter tadi, Higashino memberikan jeda supaya karakter lainnya bisa masuk ke dalam cerita. Di sinilah kesan alur waktu yang tak linear bisa pembaca temukan.

Bahkan, kesan penyisipan kisah karakter lain ini memberikan kesan kisah-dalam-kisah, dan sejumlah kisah karakter lainnya itu dapat berdiri sendiri. Setidaknya, dari kelima bab yang ada di dalam novel, tiga bab berisi kisah-kisah di luar kisah ketiga pencuri tadi. Latar waktu yang melandasi kisah itu pun berbeda dengan masa kini—masa ketiga pencuri itu—sebab mereka mengambil latar masa lalu. 

Dengan segenap perbedaan itu, setiap karakter berperan sebagai penyambung teka-teki dalam lokus cerita utama. Mereka memiliki kaitan satu sama lain, baik secara langsung ataupun tidak. Pembaca perlahan bisa meraba apa-yang-disembunyikan toko kelontong dengan segenap kemisteriusan dan keganjilannya itu, juga mengaitkan keterhubungan karakter tiga pencuri dengan sosok musisi yang meninggal di panti asuhan (bab 2), asal mula sesi konsultasi di toko kelontong itu (bab 3), sisi lain musisi yang ada di bab 2 (bab 4), dan pembeberan alasan ketiga orang itu mencuri dan terungkapnya sejumlah fakta dan kaitan dari karakter-karakter lainnya (bab 5). 

Dari situ, kendati apa yang ditawarkan Higashino dari novel ini bukan parade cerita misteri yang mendebarkan nan memancing rasa keingintahuan pembaca, Keajaiban Toko Kelontong Namiya memberikan kepuasaan lainnya: pengalaman membaca yang membuat kita seperti tengah menyusun kepingan puzzle, sebelum di akhir kisah nanti menemukan kelegaan sekaligus rasa haru.

Mengapa rasa haru? Sebab, hampir setiap kisah karakter dalam cerita berakhir dengan situasi “penyadaran” yang memancing rasa empati dan haru pembaca. Cerita mereka pun menegaskan hal lainnya, bahwa ketidaktahuan bukanlah akhir dari segalanya, kita hanya perlu melihat dengan sudut pandang yang berbeda, sehingga apa yang tadinya tersembunyi, mulai terlihat keliauannya.

Dengan sekian hal tersebut, maka nama Higashino patut diperhitungkan bagi mereka yang ingin menggali khazanah kesusastraan Asia Timur. Untungnya, penerjemahan dan penerbitan karyanya tidaklah berhenti pada karya ini saja, sebab karyanya yang lain,  Angsa dan Kelelawar (GPU, 2023), akan menyusul terbit dalam waktu dekat.

Novel yang kembali menunjukkan jati diri Higashino sebagai master crime-story ini sudah mulai didapatkan melalui marketplace penerbit terkait. Perkara apakah karya terbarunya ini bakal mengungguli novel Keajaiban Toko Kolontong Namiya ini atau tidak, biarkan kita buktikan sendiri dalam pembacaan-pembacaan berikutnya. 

Wahid Kurniawan