Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Hendra Fokker
Potret K'tut Tantri bersama Bung Karno. K'tut Tantri dianggap sebagai pahlawan bangsa Indonesia, selama masa meraih kemerdekaan, beliau adalah sosok penting dalam kampanye media kala itu. (wikipedia.org)

Sosok pejuang ini mungkin jarang terdengar bagi generasi milenial kini. Nama K'tut Tantri, dikenal sebagai salah seorang pejuang Republik Indonesia berkebangsaan asing. Beliau lahir di Skotlandia pada 19 Februari 1898, dengan nama Muriel Stuart Walter dan tinggal menetap di Amerika Serikat. Pada usia 34 tahun, ia memutuskan untuk tinggal di Bali, karena terpukau dengan budaya dan keindahan alamnya.

Ketertarikannya kepada Bali, pada awalnya karena terpesona dari film yang ditontonya, Bali The Last Paradise. Otobiografi yang mengisahkan mengenai petualangannya di Indonesia, kemudian ia tuliskan dalam buku berjudul Revolt In Paradise atau Revolusi di Nusa Damai. Selama di Bali, ia diangkat sebagai anggota keluarga Kerajaan Klungkung.

Sementara, nama K'tut Tantri ia dapatkan selama menjadi keluarga Kerajaan. Selama hidupnya, ia adalah sosok yang sangat tekun dalam bidang jurnalisme. Bahkan kala itu, media-media asing, mengenalnya dengan nama Surabaya Sue. Karena terlibat aktif dalam kampanye mempertahankan kemerdekaan Indonesia bersama Bung Tomo di Surabaya.

Tepatnya, selama pertempuran 10 November 1945 terjadi. K'tut Tantri adalah sosok utama dibalik berita-berita perjuangan yang mengudara hingga ke luar negeri. Tentu saja hal ini karena kemahiran ia dalam berbahasa asing. Suatu hal yang sangat menguntungkan pihak Republik, selama berjuang kala itu.

Dunia menjadi tahu, bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia juga didukung oleh jurnalis-jurnalis dunia. Selama Jepang berkuasa, ia berhasil keluar dari Bali, dan tiba di Surabaya, untuk segera bergabung dengan para pejuang bawah tanah disana. Walau akhirnya ia berhasil ditangkap oleh Polisi Rahasia Jepang.

Beliau nyaris dieksekusi oleh Jepang ketika itu. Karena kesehatannya yang memburuk, maka dikirimlah ia ke rumah sakit untuk pemulihan, hingga kabar mengenai kemerdekaan Indonesia didengarnya di bangsal perawatan. Keteguhan sikapnya selama menghadapi Jepang, akhirnya membuat Bung Tomo memperkenankan dirinya untuk bergabung bersama BPRI.

BPRI atau Barisan Pemberontakan Republik Indonesia pimpinan Bung Tomo, adalah salah satu elemen bersenjata yang paling aktif selama pertempuran Surabaya berlangsung. Suaranya melalui corong radio, setiap malam mengudara untuk membangkitkan semangat juang para pejuang di Surabaya dan sekitarnya. Hingga ke wilayah lainnya, tergantung kekuatan sinyal radio kala itu.

Hingga suatu ketika, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Jogjakarta. Ia turut serta dalam kampanye menentang Agresi Militer Belanda yang gencar menyerang Republik. Selama masa itu, ia sempat berkomunikasi dengan Tan Malaka yang hendak melakukan rapat Persatuan Perjuangan di Solo.

Kepergiannya ke Singapura dan Australia selama masa mempertahankan kemerdekaan, bertujuan untuk mengkampanyekan gerakan solidaritas internasional bagi kemerdekaan Indonesia. Dari aktivitasnya itu, ia kemudian mendapatkan julukan Surabaya Sue.

Pada tanggal 27 Juli 1997, K'tut Tantri meninggal di Sidney, Australia. Berkat jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Nararya kepadanya pada November 1998. Sesaat sebelum kremasi, terbentang bendera Indonesia beserta lembaran kain putih dan kuning khas Bali terhampar di peti matinya.

"Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris, barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang bangsaku, dengan berbagai jalan yang aku bisa". Kutipan inilah yang selalu ia kemukakan dihadapan publik Internasional. Semoga abadi perjuangan kemanusiaan, melalui jalan jurnalisme seperti apa yang telah diperjuangkan K'tut Tantri.

Hendra Fokker