Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Thomas Utomo
De Liefde (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

De Liefde adalah buku kedua dari caturlogi De Winst. Buku ini menceritakan kelanjutan perjuangan Sekar Prembayun dan Everdine Kareen Spinoza.

Sekar adalah bangsawan Surakarta era 1930-an. Sedari mula, dia merupakan gadis pembelot. Tidak pernah dia tunduk patuh pada budi pekerti perempuan ningrat yang sering diasosiasikan sebagai halus lembut, lemah gemulai.

Sebaliknya, Sekar adalah pribadi keras, suka bertualang, tetapi amat peduli pada nasib kaum jelata. Sebab itulah dia bergabung dalam Partai Rakyat dan kerap terjun dalam aktivitas sosial-pendidikan berupa pemberantasan buta huruf.

Di samping itu, dia juga giat menulis di surat kabar dengan nama samara Elizabeth Fenton (di sekuel De Hoop Eiland, disebut Elizabeth Wenton [?]). Tulisan-tulisannya lantang mengkritisi Pemerintah Hindia-Belanda. Akibat kegiatannya tersebut, Sekar ditangkap dan dibuang ke Belanda.

Sedangkan Everdine, dia seorang Belanda totok. Dalam perjalanan naik kapal dari Belanda menuju Nusantara, dia berjumpa dengan Rangga Puruhita, sepupu Sekar, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Leiden. 

Keduanya jatuh cinta, lalu menikah. Namun, nahas, Rangga ditangkap Pemerintah Hindia-Belanda kemudian diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara.

Penyebabnya, pabrik gula yang dia dirikan bersama teman-temannya, dianggap mempengaruhi para pekerjanya untuk menganut paham nasionalisme.

Everdine dan Rangga tidak sempat mengecap masa bulan madu. Sepeninggal suaminya, Everdine membuka kantor advocaat, guna mendampingi kaum pribumi golongan rakyat jelata yang digilas kelaliman warga Eropa kelas atas. 

Kasus terberat yang ditangani Everdine adalah perihal perdagangan perempuan yang melibatkan pejabat tinggi Hindia-Belanda.

Ketika membaca bagian ini, saya teringat novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Rusmini van de Brand, perempuan Indo-Belanda yang dijual ke rumah bordil De Lente di Belanda, memiliki jalinan nasib nyaris serupa dengan Annelies Mellema, tokoh karya Pram tersebut.

Ibu keduanya pun berstatus sama; perempuan golongan bawah yang diambil jadi selir atau gundik Belanda kaya.

Kemiripan berikut, ayah biologis Annelis maupun Rusmini, sama-sama jadi alkoholik dan doyan menenggelamkan diri di rumah pelacuran.

Bedanya, Nyai Ontosoroh, ibu Annelies, tumbuh jadi perempuan kuat dan superior, meski kelak di pengadilan, dia kalah mempertahankan Annelies.

Sementara Rinnah, ibu Rusmini, justru mengalami gangguan mental akibat hilangnya anak tersebut dari sisinya. Tapi akhirnya, Rusmini kembali ke pelukan Rinnah lewat bantuan Everdine sebagai advocaat.

Sedangkan Sekar yang menjalani masa pembuangan di Belanda, tidak juga luntur sikap antikemapanannya.

Dengan beragam upaya, dia menghubungi tokoh-tokoh politik dan para akademikus berpengaruh untuk menyerap ilmu mereka.

Tentu saja, aktivitas tersebut tidak sepi dari risiko. Demikian pula aktivitas pendampingan dan pembelaan hukum yang dilakoni Everdine. Kedua perempuan muda tersebut harus berhadapan dengan pilihan-pilihan hidup yang sulit.

Kedua tokoh perempuan tersebut, sama seperti tokoh-tokoh perempuan ciptaan Afifah Afra lainnya. Mereka pemberontak, menentang kemapanan, namun berperangai welas asih, terutama kepada kaum miskin papa.

Mereka selalu haus ilmu dan berjiwa pemimpin, justru berkebalikan dengan tokoh-tokoh pria ciptaan Afra yang kerap bersifat peragu, penggamang, dan penakut, seperti Rangga Puruhita.

Jika ditarik ke dunia nyata, mungkinkah tokoh-tokoh perempuan ciptaan Afra adalah pantulan dirinya sendiri?

Diketahui, Afra pernah dan masih menjadi pimpinan sejumlah organisasi maupun perusahaan, misalnya komunitas Forum Lingkar Pena dan penerbit Indiva Media Kreasi.

Di bidang sosial kemasyarakatan, dia aktif di PPA Seroja yang fokus mengurusi anak-anak jalanan dan kalangan miskin.

Dalam hal pendidikan, Afra pun gigih me-ngangsu ilmu, di antaranya lewat jalur pendidikan formal. Saat ulasan ini ditulis, Afra tengah menempuh S2 Psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, sebelumnya S2 Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Di bidang tulis-menulis, Afra intens menyuarakan kritik sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya lewat tulisan-tulisan fiksi-nonfiksinya.

Lepas dari benang merah tersebut, tokoh-tokoh perempuan Afra, seperti Sekar Prembayun dan Everdine Kareen Spinoza dapat menjadi semacam teladan; bagaimana perempuan dapat berkiprah dan berkontribusi dalam masyarakat tanpa terlalu menghiraukan stigmatisasi dan apa kata orang.

Dan seperti kata pepatah; sambil menyelam minum air, dengan membaca De Liefde, setidaknya dua manfaat teraih. Pertama, mendapat keasyikan atau keseruan cerita. Kedua, mencerap informasi sejarah seputar sepak terjang tokoh-tokoh cerdik cendekia perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Thomas Utomo