De Liefde adalah buku kedua dari caturlogi De Winst. Buku ini menceritakan kelanjutan perjuangan Sekar Prembayun dan Everdine Kareen Spinoza.
Sekar adalah bangsawan Surakarta era 1930-an. Sedari mula, dia merupakan gadis pembelot. Tidak pernah dia tunduk patuh pada budi pekerti perempuan ningrat yang sering diasosiasikan sebagai halus lembut, lemah gemulai.
Sebaliknya, Sekar adalah pribadi keras, suka bertualang, tetapi amat peduli pada nasib kaum jelata. Sebab itulah dia bergabung dalam Partai Rakyat dan kerap terjun dalam aktivitas sosial-pendidikan berupa pemberantasan buta huruf.
Di samping itu, dia juga giat menulis di surat kabar dengan nama samara Elizabeth Fenton (di sekuel De Hoop Eiland, disebut Elizabeth Wenton [?]). Tulisan-tulisannya lantang mengkritisi Pemerintah Hindia-Belanda. Akibat kegiatannya tersebut, Sekar ditangkap dan dibuang ke Belanda.
Sedangkan Everdine, dia seorang Belanda totok. Dalam perjalanan naik kapal dari Belanda menuju Nusantara, dia berjumpa dengan Rangga Puruhita, sepupu Sekar, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Leiden.
Keduanya jatuh cinta, lalu menikah. Namun, nahas, Rangga ditangkap Pemerintah Hindia-Belanda kemudian diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara.
Penyebabnya, pabrik gula yang dia dirikan bersama teman-temannya, dianggap mempengaruhi para pekerjanya untuk menganut paham nasionalisme.
Everdine dan Rangga tidak sempat mengecap masa bulan madu. Sepeninggal suaminya, Everdine membuka kantor advocaat, guna mendampingi kaum pribumi golongan rakyat jelata yang digilas kelaliman warga Eropa kelas atas.
Kasus terberat yang ditangani Everdine adalah perihal perdagangan perempuan yang melibatkan pejabat tinggi Hindia-Belanda.
Ketika membaca bagian ini, saya teringat novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Rusmini van de Brand, perempuan Indo-Belanda yang dijual ke rumah bordil De Lente di Belanda, memiliki jalinan nasib nyaris serupa dengan Annelies Mellema, tokoh karya Pram tersebut.
Ibu keduanya pun berstatus sama; perempuan golongan bawah yang diambil jadi selir atau gundik Belanda kaya.
Kemiripan berikut, ayah biologis Annelis maupun Rusmini, sama-sama jadi alkoholik dan doyan menenggelamkan diri di rumah pelacuran.
Bedanya, Nyai Ontosoroh, ibu Annelies, tumbuh jadi perempuan kuat dan superior, meski kelak di pengadilan, dia kalah mempertahankan Annelies.
Sementara Rinnah, ibu Rusmini, justru mengalami gangguan mental akibat hilangnya anak tersebut dari sisinya. Tapi akhirnya, Rusmini kembali ke pelukan Rinnah lewat bantuan Everdine sebagai advocaat.
Sedangkan Sekar yang menjalani masa pembuangan di Belanda, tidak juga luntur sikap antikemapanannya.
Dengan beragam upaya, dia menghubungi tokoh-tokoh politik dan para akademikus berpengaruh untuk menyerap ilmu mereka.
Tentu saja, aktivitas tersebut tidak sepi dari risiko. Demikian pula aktivitas pendampingan dan pembelaan hukum yang dilakoni Everdine. Kedua perempuan muda tersebut harus berhadapan dengan pilihan-pilihan hidup yang sulit.
Kedua tokoh perempuan tersebut, sama seperti tokoh-tokoh perempuan ciptaan Afifah Afra lainnya. Mereka pemberontak, menentang kemapanan, namun berperangai welas asih, terutama kepada kaum miskin papa.
Mereka selalu haus ilmu dan berjiwa pemimpin, justru berkebalikan dengan tokoh-tokoh pria ciptaan Afra yang kerap bersifat peragu, penggamang, dan penakut, seperti Rangga Puruhita.
Jika ditarik ke dunia nyata, mungkinkah tokoh-tokoh perempuan ciptaan Afra adalah pantulan dirinya sendiri?
Diketahui, Afra pernah dan masih menjadi pimpinan sejumlah organisasi maupun perusahaan, misalnya komunitas Forum Lingkar Pena dan penerbit Indiva Media Kreasi.
Di bidang sosial kemasyarakatan, dia aktif di PPA Seroja yang fokus mengurusi anak-anak jalanan dan kalangan miskin.
Dalam hal pendidikan, Afra pun gigih me-ngangsu ilmu, di antaranya lewat jalur pendidikan formal. Saat ulasan ini ditulis, Afra tengah menempuh S2 Psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, sebelumnya S2 Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.
Di bidang tulis-menulis, Afra intens menyuarakan kritik sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya lewat tulisan-tulisan fiksi-nonfiksinya.
Lepas dari benang merah tersebut, tokoh-tokoh perempuan Afra, seperti Sekar Prembayun dan Everdine Kareen Spinoza dapat menjadi semacam teladan; bagaimana perempuan dapat berkiprah dan berkontribusi dalam masyarakat tanpa terlalu menghiraukan stigmatisasi dan apa kata orang.
Dan seperti kata pepatah; sambil menyelam minum air, dengan membaca De Liefde, setidaknya dua manfaat teraih. Pertama, mendapat keasyikan atau keseruan cerita. Kedua, mencerap informasi sejarah seputar sepak terjang tokoh-tokoh cerdik cendekia perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga
-
Pelajaran Tekad dari Buku Cerita Anak 'Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api'
-
Cerita-Cerita yang Menghangatkan Hati dalam 'Kado untuk Ayah'
-
Suka Duka Hidup di Masa Pandemi Covid-19, Ulasan Novel 'Khofidah Bukan Covid'
-
Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Hindu dalam Misteri Hilangnya Luwur Sunan
-
Pelajaran Cinta dan Iman di Negeri Tirai Bambu dalam "Lost in Ningxia"
Artikel Terkait
-
Datang ke Lembata, Brand Kosmetik Ini Ajak Perempuan NTT Berlatih Mengembangkan Karakter dan Kemampuan Makeup
-
Niat Zakat Fitrah Untuk Keluarga dan Waktu Terbaik Membayarnya, Jangan Sampai Terlambat!
-
Lazada Foundation Berkomitmen Lindungi Masa Depan Digital Perempuan dan Generasi Muda
-
Lima Tahun Penyiraman Air Keras Novel Baswedan, IM+57 Desak Jokowi Usut Aktor Intelektual Penyerangan
Ulasan
-
Mengulik Save me Karya Xdinary Heroes: Kala Jiwa yang Terluka Harapkan Pertolongan Tuhan
-
Review Film Aftersun: Kisah yang Diam-Diam Mengoyak Hati
-
Five Cities Four Women: Saat Para Penyedia Jasa Teman Kencan Butuh Dekapan
-
The Divorce Insurance: Drama Satir Lee Dong Wook Soal Cinta dan Perceraian
-
Review Way Back Love: Romansa Fantasi tentang Berdamai dengan Masa Lalu
Terkini
-
Marvel Resmi Tunda Dua Film Avengers Ini Demi Tingkatkan Kualitas
-
Boy Group AHOF Umumkan Debut Juli, Gandeng EL CAPITXN sebagai Produser
-
Dikabarkan Kembali ke Spanyol, Mampukah Jordi Amat Bersaing di Usia Senja?
-
Marvel Hapus 3 Film dari Jadwal Rilis Usai Doomsday dan Secret Wars Ditunda
-
Hugh Jackman Buka Suara soal Kemunculan Wolverine di Avengers: Doomsday