Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Siti Khoirunnisa
Ilustrasi biji kopi asli Indonesia. (Pixabay/Andreaswegelin)

Tahun 2021, International Coffee Organization memperkirakan di masa datang permintaan kopi dapat melampaui batas pasokan kopi di dunia. Hal ini disebabkan tanaman kopi sangat dipengaruhi oleh iklim dan suhu, sementara iklim di dunia tidak menentu, akibat pemanasan global.

Di sisi lain berdasarkan beberapa jurnal tumbuhan, jenis varietas kopi arabika dan robusta yang mayoritas berada di dunia mudah terserang penyakit dan hama. Hal ini menyebabkan petani kopi mengalami kesulitan untuk meningkatkan pasokan biji kopi yang dihasilkan setiap musim panennya.

Dengan meningkatnya permintaan dan berbagai tantangan keberlanjutan terkait pertanian kopi tradisional, ada kebutuhan mendesak akan cara-cara untuk memproduksi kopi. Karena tingginya permintaan kopi, diperlukan lebih banyak lahan perkebunan untuk menghasilkan biji kopi yang cukup dan memadai, tentu saja hal tersebut memicu terjadinya deforestasi –terutama di daerah perhutanan hujan yang sensitif-.

Mengingat bagaimana perubahan iklim dan penggundulan hutan berdampak negatif pada lingkungan dan perkebunan tanaman kopi tersebutlah, maka diperlukan suatu cara alternatif pada pertanian konvensional.

Sebuah laboratorium penelitian di Finlandia mengumumkan bahwa mereka telah membuat kopi menggunakan teknik pertanian seluler. Menurut sebuah artikel di Phys.org, Pusat Penelitian Teknis dari Technical Research Center atau VTT Finlandia sedang mengembangkan produksi kopi melalui sel tanaman di laboratorium Finlandia.

Dalam prosesnya, kultur sel yang dilakukan di dalam bioreaktor yang diisi dengan media nutrisi dimana media tersebut akan digunakan untuk menghasilkan berbagai produk hewani dan nabati pada kondisi optimal pertumbuhannya.

Berdasarkan hasil wawancara oleh reporter Phys.org, Ketua Tim Peneliti VTT, Dr. Heiko Rischer mengatakan, "Di VTT, proyek ini telah menjadi bagian dari upaya keseluruhan kami untuk mengembangkan produksi bioteknologi komoditas sehari-hari dan yang sudah dikenal yang diproduksi secara konvensional oleh pertanian. Untuk ini, kami menggunakan banyak inang yang berbeda, seperti mikroba, tetapi juga sel tanaman".

Seperti yang telah dijelaskan oleh Ketua Tim Peneliti dari VTT, kopi yang diproduksi di laboratorium ini dalam prosesnya risetnya menggunakan banyak inang yang berbeda, mikroba biakan yang dikembangkan, hingga bagian sel tanaman kopi. Sehingga nantinya dapat diketahui kondisi optimum pengembangan biji kopi.

Dalam penanaman biji kopi tersebut dimulai dengan membuat kultur sel pada daun kopi pada kondisi optimum pertumbuhan selnya, selanjutnya membangun garis sel masing-masing di laboratorium, dan mentransfernya ke bioreaktor untuk mulai diproduksi secara biomassa.

Setelah analisis biomassa selesai, proses pemanggangan atau roasting dilakukan, dan biji kopi baru yang diproduksi akhirnya dievaluasi oleh panelis sensorik terlatih di VTT. Keseluruhan prosedur tersebut membutuhkan masukan dari beberapa disiplin ilmu dan pakar di bidang bioteknologi tanaman, kimia, dan ilmu pangan.

Berdasarkan penilaian tersebut mengungkapkan standar penilaian aroma dan rasa yang dilakukan oleh panelis sensorik dan pemeriksaan analitik VTT. Dalam pemaparan panelis tersebut menjelaskan bahwa kultur sel yang telah ditumbuhkan di bioreaktor berupa ‘smoothies’ atau gumpalan biji berwarna putih yang dapat disaring dan dikeringkan menjadi bubuk putih. Kemudian bubuk putih ini akan diproses dalam roaster sehingga menghasilkan bubuk coklat kopi pada umumnya.

Berdasarkan hasil analisis panelis VTT, profil seduhan memiliki kesamaan dengan kopi biasa (kopi perkebunan konvensional). Namun memiliki perbedaan pada tingkat rasa pahit dan fruitiness yang kurang menonjol daripada biji kopi koncensional serta memiliki kadar kafein yang lebih rendah.

Saat ini semua bahan kopi yang diproduksi dalam kondisi laboratorium merupakan makanan eksperimental dan akan memerlukan persetujuan peraturan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau FDA untuk dipasarkan dan dijual kepada konsumen di Amerika Serikat. Sedangkan di beberapa negara Eropa, kopi yang ditanam di laboratorium harus terlebih dahulu disetujui sebagai Novel Food sebelum dipasarkan.

Sedangkan di Indonesia sendiri pemanfaatan teknologi kultur sel pada tanaman kopi lebih tepatnya dilakukan pada jenis varietas arabika telah banyak dilakukan namun belum sampai pada tahap produksi secara biomassa.

Dalam perkembangan risetnya, penelitian yang dilakukan di laboratorium kultur jaringan Unit Pengembangan Benih Unggul Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan sejak tahun 2012 menunjukkan, eksplan yang baik untuk memperbanyak kopi Arabika varietas Sigarar Utang, S 795 dan AS2K adalah daun muda yang sudah membuka sempurna. Namun pada optimasi kondisi kultur selnya masih belum disesuaikan dan harus dikembangkan lagi.

Nah, dengan penggunaan teknologi kultur jaringan dan sel secara tepat, sejumlah kendala yang sering dihadapi pada kegiatan penyediaan bahan tanaman komoditas perkebunan terutama di Indonesia diharapkan dapat diminimalisir.

Siti Khoirunnisa