Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahid Kurniawan
Buku Normal People by Sally Rooney (DocPribadi/Wahid Kurniawan)

Apa artinya menjadi normal? Bagaimana masyarakat mengkonstruksi label orang-orang yang normal? Kalau kita mencari jawaban ini dalam novel Sally Rooney yang berjudul Normal People (Bentang, 2020), dua pertanyaan itu berujung pada perkara keberterimaan. Normal menjadi label yang melekat dalam diri setiap individu dalam sistem masyarakat. Mereka hidup dengan sejumlah kenormalan, kebakuan, yang dikonstruksi baik secara sadar atau tidak sadar. Tapi utamanya, seperti yang dibilang sebelumnya, kenormalan bisa diartikan sebagai keberterimaan. Dan manakala keberterimaan tidak bisa dicapai setiap anggota masyarakat, rentetan konflik akan terjadi. Itulah yang ditunjukkan dalam novel ini.

Gambaran konflik itu melekat dalam figur karakter Connell dan Marianne. Konflik itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru, sebab apa yang terjadi di antara mereka jamak didapati dalam kisah-kisah romansa dan persahabatan kaum muda. Yang membedakan, interaksi kedua orang itu terbaca unik. Dalam kehidupan mereka, roda kehidupan itu memiliki arti literal, bahwa ada perputaran dalam kehidupan yang mereka jalani. Ketika masa SMA di kampung halaman mereka, satu kota di Irlandia, Connell memiliki popularitas yang baik. Ia menjadi idaman, cowok yang aktif di cabang olahraga, dan tampil sebagaimana cowok normal lainnya.

Sebaliknya, Marianne merupakan cewek yang dipandang aneh oleh sekitarnya. Marianne tidak memiliki teman dekat di sekolah, dan tentu tidak sepopuler Connell. Kendati begitu, siapa yang menyangka, mereka memiliki hubungan yang khusus. Kedekatan itu mulanya dipicu lantaran Connell kerap datang ke rumah Marianne untuk menjemput ibunya yang bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih. Obrolan yang terjadi di antara mereka, ketertarikan mereka terhadap sastra dan politik, menjadi hal yang membuat mereka cocok. Bagi Connell, hanya bersama Marianne ia bisa menjadi dirinya sendiri dan menikmati waktu yang mereka habiskan bersama.

Hubungan mereka pun berlanjut ke arah hubungan yang akrab kita kenal dengan sebutan “teman tapi mesra”. Begitu sering mereka bersama, melakukan banyak hal, dari perkara obrolan yang seru sampai percintaan yang panas. Namun, Connell amat peduli dengan penilaian dan pendapat orang lain, sehingga ia tidak mengakui Marianne di muka umum. Makanya, kala di sekolah, mereka kembali tampil sebagai dua orang asing, yang tak kenal satu sama lain. Situasi itu membuat beberapa orang di sekitar mereka, terutama ibu Connell, membenci apa yang dilakukan pria itu. Ia dipandang hanya memanfaatkan Marianne.

Itu pula yang lantas membuat hubungan mereka meregang. Mereka baru berbicara lagi setelah mereka lulus dan bertemu di kampus yang sama. Dan kali ini, situasinya berbalik, sebab popularitas ada dalam diri Marianne. Di kampus itu, Connell tidak menjadi siapa-siapa, hanya lelaki biasa, yang bahkan intelektualitasnya sempat tak dianggap. Namun, itulah babakan baru dari interaksi di antara mereka. Keadaan sudah banyak berubah, tentu saja. Marianne yang dulu melulu sendirian, kini menjadi primadona, dikelilingi banyak lelaki. Figurnya pun tampil menjadi pribadi yang “tampak” lebih terbuka dan menyenangkan.

Babakan kehidupan yang berubah itu membuat apa yang tadinya sederhana menjadi sesuatu yang runyam. Ada kompleksitas yang menyelubungi interaksi keduanya. Dan hal ini berhubungan dengan terma normal yang disebutkan di awal dan menjadi elemen dari judul novel ini. Kendati keadaan mereka berubah, apa yang mesti mereka hadapi tetaplah sama: diri dan orang-orang di sekitarnya. Normal menjadi seperti pagar, batas supaya kau diterima tanpa perlu menanggalkan siapa dirimu sebenarnya. Kungkungan kenormalan pun bukan sesuatu yang melulu buruk, yang menekan, atau yang senantiasa memaksa dan mengharuskan.

Lebih dari itu, terma itu mengindikasikan bagaimana mereka membentuk diri yang pas, yang mendapat keberterimaan tanpa melucuti hakikat diri sendiri. Dan tentu, terma itu berkaitan dengan pandangan dan interaksi dengan orang lain. Dan itu pulalah yang membingkai perjalanan hidup sejoli ini. Kisah mereka merupakan kisah yang terombang-ambing, antara ikut arus kenormalan hingga jati diri mereka tanggal, dan upaya menyeimbangkan diri supaya mereka berada “di antara”, tempat yang tak merugikan siapa pun; baik diri mereka sendiri ataupun orang lain. 

Dan, bagaimana mereka melaluinya? Bagaimana akhir dari perjuangan di tengah kompleksitas terma kenormalan itu? Jawabannya hanya satu: Tidak hal yang bisa dilakukan selain menyelami kisah mereka berdua.  Yuk, baca buku Normal People.

Wahid Kurniawan