Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Kiai Noer Ali. (Wikipedia)

Tidak banyak yang mengenal nama Kiai Noer Ali sebagai pahlawan bangsa Indonesia, padahal kiprahnya untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya tak bisa disepelekan.

Kiai Noer Ali juga dikenal sebagai ulama yang karismatik, khususnya di mata orang Karawang-Bekasi. Bahkan, Kiai Noer Ali menjadi ikon kebanggaan mereka pada masa revolusi.

Namun dalam skala nasional, Kiai Noer Ali tidak banyak yang mengenalnya. Hingga ia pun seakan dilupakan dan makin hari namanya hilang dalam sejarah panggung perpolitikan Indonesia. 

Seperti yang ditulis dalam buku, "Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan" karangan Johan Prasetya, Kiai Noer Ali lahir di Desa Ujung Malang, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada tahun 1914. Noer Ali adalah putra dari pasangan Haji Anwar bin Haji Layu dan Haji Maimunah binti Tarbin. 

Pada usia delapan tahun, Kiai Noer Ali belajar agama kepada kiai kampung bernama Maksum dari Bulak. Memang sejak kecil Noer Ali memperlihatkan dirinya rasa antusias dan semangat belajar yang baik.

Pada tahun 1925, Kiai Noer Ali kembali belajar kepada Kiai Mughni salah satu ulama terkenal di Ujung Malang. Dari situlah Kiai Noer Ali banyak mendapatkan pelajaran kitab Alfiyah, al-Qur'an, Tajwid, Nahwu, Tauhid, dan Fiqh. 

Kiai Noer Ali juga mondok di pesantren milik Kiai Marzuki di kampung Cipinang Muara, sekitar tahun 1930. Di tempat itu, Kiai Noer Ali memperdalam pengetahuan agamanya dan mulai belajar ilmu kanuragan. 

Pada tahun 1934, Kiai Noer Ali berangkat ke Makkah ditemani sahabatnya Kiai Hasbullah. Di Makkah, Kiai Noer Ali banyak berguru pada ulama terkenal, diantaranya Syekh Ali al-Maliki, Syekh Umar Hamdan, Syekh Ahmad Fatoni, Syekh Ibnul Arabi, Syekh Muhammad Amin al-Quthbi, Syekh Achyadi, Syekh Abdul Zalil, dan Syekh Umar at-Turki. 

Ketika Kiai Noer Ali merasa sudah cukup memiliki ilmu pengetahuan, ia pun memutuskan untuk kembali ke tanah dan mengabdikan dirinya dalam perjuangan.

Kiai Noer Ali mendirikan pesantren yang menjadi basis perjuangan para pejuang. Selain itu, Kiai Noer Ali juga memelopori aksi pembebasan jalan antara kampung Ujung Malang, Teluk Pucung, dan Pondok Ungu dari tangan para tuan tanah. 

Setelah Indonesia merdeka, Kiai Noer Ali terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Saat dilaksanakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta pada 19 September 1945, Kiai Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir.

Sementara saat masa mempertahankan kemerdekaan, Kiai Noer Ali menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi, kemudian menjadi Komandan Batalion III Hizbullah Bekasi.

Karier Kiai Noer Ali juga sangat gemilang pada bidang politik, pendidikan, dan sosial. Di bidang politik, ia menjadi Ketua Masyumi Cabang Jatinegara pada 19 April 1950.

Sementara pada pendidikan, Kiai Noer Ali mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa Barat, serta kembali mengaktifkan pesantrennya dengan SRI sebagai lembaga pendidikan pertama.

Adapun pada bidang sosial, ia membentuk organisasi sosial dengan nama Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3) pada tahun 1953. 

Saat ada tanda-tanda peningkatan "perkampungan surga" yang ia dirikan dan menjadi cita-citanya sejak kecil, Kiai Noer Ali jatuh sakit. Tidak lama berselang, Kiai Noer Ali meninggal dunia pada 29 Januari 1992 di kompleks Pondok Pesantren Attaqwa Putri. 

Budi Prathama