Masyarakat di Indonesia memiliki budaya Tedhak Siten yang berasal dari masyarakat Jawa. Jika diartikan secara harfiah, tedhak memiliki arti ‘turun’ atau ‘melangkah’, dan siten memiliki arti ‘tanah’. Tedhak Siten berarti upacara adat ‘turun tanah’ yang dilakukan untuk anak yang berusia 7-8 bulan.
Tujuan upacara Tedhak Siten adalah anak tumbuh dengan sehat, kuat, serta bisa melewati tantangan hidupnya nanti. Upacara adat ini juga dianggap sebagai bentuk penghormatan untuk bumi yang dianggap sebagai tempat berpijak untuk anak-anak.
Prosesi Tedhak Siten diawali dengan anak yang melangkah di pasir yang sudah disiapkan, kemudian kakinya dibasuh dengan air yang sudah dicampur bunga, lalu anak akan diarahkan untuk melangkah melewati 7 jenang dengan warna yang berbeda, warna-warna itu antara lain merah, putih, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu.
BACA JUGA: Mengenang Tradisi Galak Gampil saat Sungkeman di Kota Malang
Biasanya warna ini akan diurutkan dari yang tergelap menuju ke yang terang. Setelah itu, anak diarahkan untuk melewati tangga yang terbuat dari tebu dan masuk ke dalam kurungan yang di dalamnya anak bisa memilih barang-barang sebagai simbol masa depannya nanti.
Sama halnya dengan Indonesia yang memiliki budaya Tedhak Siten, ternyata Jepang juga memiliki budaya yang hampir sama, yaitu hatsu tanjou (). Dalam tulisan kali ini, kita akan belajar apa itu hatsu tanjou dan apa saja persamaan dan perbedaannya dengan Tedhak Siten yang ada di Indonesia.
Apa itu hatsu tanjou?
Hatsu tanjou () merupakan perayaan ulang tahun pertama di Jepang, perayaan ini dilakukan dengan cara mendoakan dan meramalkan masa depan bayi. Selain itu juga terdapat beberapa prosesi yang memiliki makna khusus.
Sejarah hatsu tanjou?
Upacara ini awalnya diciptakan pada masa perang dunia kedua. Pada saat itu banyak bayi yang meninggal dunia bahkan sebelum menginjak usia satu tahun. Oleh karena itu, untuk anak yang berhasil menginjak usia satu tahun dirayakan hatsu tanjou sebagai bentuk rasa syukur.
Apa saja yang dilakukan dalam perayaan hatsu tanjou?
Pada saat perayaan hatsu tanjou, terdapat dua tradisi yang umum dilakukan oleh orang Jepang, yaitu isshou mochi () dan erabitori (). Isshou mochi dilakukan dengan cara menaruh mochi seberat 1-2 kg ke dalam tas kecil bertuliskan nama bayi dan membimbing bayi untuk menggendongnya sambil berjalan atau merangkak menuju orang tuanya.
Namun di masa modern ini banyak yang merasa tradisi tersebut terlalu berat untuk si bayi sehingga banyak orang tua yang menggunakan cara yang berbeda, yaitu cukup dengan menginjakkan kaki bayi yang beralaskan sandal jerami ke atas mochi seberat 1-2 kg hingga jejak kaki bayi tercetak di atas mochi. Cara ini lebih banyak disukai karena terkesan tidak terlalu membebani si bayi.
Ritual selanjutnya adalah erabitori, seperti namanya yang berasal dari kata erabu () yang berarti memilih dan toru () mengambil. Dalam ritual ini bayi diminta mengambil dan memilih barang yang dipercaya melukiskan masa depannya.
Dalam ritual ini barang yang menjadi pilihan pun tentunya barang-barang dengan makna yang baik, misalnya buku, uang, maupun barang-barang lain yang dapat disesuaikan dengan permintaan keluarga si bayi. Jika dilihat dari berbagai ritual yang dilakukan, prosesi hatsu tanjou ini memang mirip dengan Tedhak Siten.
Apa makna dibalik hatsu tanjou?
Tidak hanya prosesnya, jika dilihat dari maknanya pun hatsu tanjou memiliki banyak kesamaan dengan Tedhak Siten. Hatsu tanjou dirayakan agar anak diberkati dengan barang dan makanan yang cukup seumur hidup. Perayaan ini memiliki konsep yang disebut dengan enman (). Konsep enman memiliki arti yang sangat baik yaitu, kesempurnaan, harmoni, kedamaian, kelancaran, kelengkapan, kepuasan, dan integritas. Sifat-sifat dari konsep tersebut merupakan sifat yang diinginkan orang tua agar dimiliki oleh anaknya ketika dewasa nanti.
Selain itu, dalam setiap proses yang dilakukan pun memiliki makna tersendiri. Isshou mochi dilakukan dengan harapan agar anak bisa kuat memikul beban hidupnya sendiri di masa depan nanti. Sedangkan erabitori dilakukan agar anak memilih benda yang menggambarkan takdirnya di masa depan nanti, misalnya jika anak memilih buku maka akan menjadi anak yang pintar di masa depan nanti.
Apa persamaan dan perbedaan antara hatsu tanjou dan Tedhak Siten?
Jika dibandingkan dengan Tedhak Siten, hatsu tanjou memiliki banyak kesamaan. Terutama dalam hal “maksud” atau “Makna” perayaan itu sendiri. Baik hatsu tanjou maupun Tedhak Siten memiliki makna agar bayi siap melangkah menghadapi kehidupan dan dapat memilih apa yang menjadi bakat ataupun masa depannya sejak dini. Walaupun jika dilihat secara logika hal itu adalah stereotip semata, karena apa yang bayi pilih tidaklah benar-benar menentukan masa depannya, namun maksud upacara perayaan tradisional adalah baik dan dimaksudkan untuk masa depan bayi sendiri.
Perbedaan pertama antara hatsutanjou dan Tedhak Siten dapat dilihat dari umur bayi saat upacara itu dilakukan. Berbeda dengan hatsu tanjou, Tedhak Siten tidaklah dilakukan saat bayi genap berusia satu tahun, tetapi jika dihitung menurut kalender Jawa, saat yang tepat untuk bayi melakukan Tedhak Siten adalah 7 lapan, dimana 1 lapan berarti 35 hari dan 7 lapan berarti bayi berusia 245 hari.
Perbedaan kedua antara hatsu tanjou dan Tedhak Siten juga dapat dilihat dari tata cara melakukan upacara tersebut. Walaupun memiliki makna yang sama, namun tata cara dalam melakukan upacaranya berbeda. Dalam upacara Tedhak Siten, diperlukan sesajen yang digunakan untuk persembahan dengan maksud meminta kepada Tuhan agar bayi diberikan perlindungan dan terhindar dari segala hal jahat.
Selain itu, berbeda dengan isshou mochi yang menggunakan mochi, Tedhak Siten menggunakan jenang 7 warna yang nantinya akan diinjak oleh kaki bayi. Hal ini bermakna bayi akan siap melewati segala cobaan dalam hidup.
Sebenarnya isshou mochi memiliki makna yang sama, yaitu agar bayi kuat menanggung beban dalam kehidupan. Hanya saja media yang digunakan berbeda, dalam isshou mochi digunakan mochi seberat 1-2 kg yang akan dipikul oleh bayi. Walaupun untuk saat ini ritual tersebut dianggap terlalu berat untuk dilakukan oleh bayi, namun maksud dari ritual ini adalah baik.
Perbedaan ketiga adalah ritual Tedhak Siten menggunakan lebih banyak media, seperti tangga dari tebu dan juga pasir. Semua media itu nantinya akan diinjak oleh kaki bayi dengan makna tertentu. Menginjak tebu bermakna agar bayi kedepannya memiliki tekad yang kuat dan penuh percaya diri seperti tokoh pewayangan Arjuna, sedangkan menginjak dan mengacak-acak pasir bermakna bayi kedepannya akan mampu bekerja yang memenuhi kebutuhannya.
Di sini dapat dilihat bahwa ritual yang dilakukan dalam Tedhak Siten lebih banyak dan kompleks. Untuk erabitori, dalam Tedhak Siten bayi dimasukkan dalam kendang ayang dan diminta untuk memilih benda yang akan menggambarkan masa depannya nanti, sama halnya dengan erabitori, semua benda yang menjadi pilihan dalam kandang ayam tersebut bermakna baik. Benda-benda itu antara lain buku, perhiasan, aksesoris, uang dan masih banyak lagi.
Selain itu upacara adat yang dilakukan di Indonesia seperti Tedhak Siten lebih ramai dan meriah daripada di Jepang. Di Jepang biasanya satu keluarga yang merayakan hatsu tanjou akan mengundang sanak saudara terdekat atau hanya merayakannya dengan anggota keluarga yang berada di satu rumah. Namun dalam Tedhak Siten biasanya yang diundang adalah keluarga besar, baik dari pihak ayah dan ibu maupun tetangga sekitar rumah, sehingga acara menjadi lebih meriah.
Kesimpulannya, hatsu tanjou merupakan upacara perayaan ulang tahun di Jepang yang dilakukan dengan ritual isshou mochi dan erabitori. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur karena bayi telah berhasil menginjak umur satu tahun.
Persamaan antara hatsu tanjou dan Tedhak Siten dapat dilihat dari makna upacara itu sendiri, keduanya memiliki makna agar bayi siap melangkah menghadapi kehidupan dan dapat memilih apa yang menjadi bakat ataupun masa depannya sejak dini. Sedangkan perbedaan antara hatsu tanjou dan Tedhak Siten dapat dilihat dari umur bayi saat pelaksanaan upacara, tata cara pelaksanaan upacara dan yang terakhir adalah media yang digunakan.
Artikel Terkait
-
Kevin Diks Ketakutan Habis Cedera di Timnas Indonesia vs Jepang: Saya Sampai Lakukan...
-
Review Film River, Terjebak dalam Pusaran Waktu
-
Profil Febru Danar Surya, Ilustrator Bantul di Balik Koreografi Godzila Vs Gundala saat Lawan Jepang
-
Ilustrator di Balik Koreo Gundala vs Godzila di Laga Indonesia Lawan Jepang, Karyanya Curi Perhatian Dunia!
-
Destinasi Liburan Akhir Tahun, Menikmati Tradisi Natal di 3 Negara Asia
Ulasan
-
Menyantap Pecel Lele Faza, Sambalnya Juara
-
Antara Kebencian dan Obsesi, Ulasan Novel Malice Karya Keigo Higashino
-
Jangan Memulai Apa yang Tidak Bisa Kamu Selesaikan: Sentilan Bagi Si Penunda
-
Novel 'Mana Hijrah': Ujian Hijrah saat Cobaan Berat Datang dalam Hidup
-
Hidden Game, Pesona Cafe Bernuansa Minimalis di Kota Jambi
Terkini
-
5 Manfaat Penting Pijat bagi Kesehatan, Sudah Tahu?
-
Kalahkan Shi Yu Qi, Jonatan Christie Segel Tiket Final China Masters 2024
-
Bambang Pamungkas Sebut Mimpi Indonesia ke Piala Dunia Masih Ada, Kenapa?
-
4 Pilihan OOTD Hangout ala Park Ji-hu yang Wajib Dicoba di Akhir Pekan!
-
Tips Sukses Manajement waktu Antara Kuliah dan Kerja ala Maudy Ayunda