Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Sam Edy
Ilustrasi Buku 'Jurnalisme di Cincin Api, Tak Ada Berita Seharga Nyawa'. (Dokumen pribadi/samedy)

Media massa, baik cetak maupun online, menjadi salah satu sarana untuk menyebarkan beragam berita, termasuk berita-berita yang berkaitan dengan bencana alam, seperti meletusnya gunung berapi, gempa bumi, dan lain sebagainya.

Media massa yang baik salah satu cirinya adalah: tidak sekadar menginfokan berita saja, melainkan ada nilai-nilai positif yang bisa dipetik oleh para pembacanya. Media massa yang buruk biasanya dapat dilihat dari cara penyajian berita atau artikelnya yang cenderung memprovokasi para pembaca untuk melakukan tindakan yang tidak baik, seperti menghakimi dan mencaci maki orang lain yang berseberangan pendapat.

Dalam kata pengantar buku ini, Dr. Surono menulis bahwa di era kemajuan teknologi informasi, kehadiran media massa cetak dan elektronik sangat diperlukan di daerah rawan bencana, yaitu daerah yang masyarakatnya terancam bahaya, yang berisiko terjadi bencana atau di daerah yang telah terjadi bencana. Kecepatan kehadiran media agar dapat dengan cepat memberi informasi kepada publik dan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar dapat dengan cepat melakukan pengurangan risiko dan penanggulangan bencana.

Hidup di wilayah cincin api Pasific (Ring of Fire), memang harus siap menghadapi bencana alam. Mulai dari tsunami yang dahsyat, gempa bumi yang membawa korban ribuan nyawa dan rumah serta harta benda, banjir yang terjadi di berbagai wilayah, longsor dan gunung meletus. Semua sudah dialami negeri ini, dan akan terus terjadi meski belum diketahui kapan. Negeri ini punya 127 gunung api (hlm. xi).

Menurut Octo Lampito, penulis buku terbitan Galang Pustaka (2015) ini, teknologi sudah memungkinkan untuk bisa mengingatkan, misalnya menghitung kapan gunung api mulai berbahaya, sistem peringatan dini tsunami sudah diciptakan meski belum seluruhnya bisa. Masalah yang kemudian muncul ketika bencana alam itu terjadi adalah manajemen untuk menangani para korban. Mulai tanggap darurat sampai pemulihan pasca-bencana. Di sinilah peranan media massa sebagai salah satu sarana efektif untuk berpartisipasi. Bukan sekadar memberitakan kejadian, yang berdampak mendatangkan bantuan misalnya, tetapi juga melakukan investigasi dalam pemberitaan dan menangani sumbangan.

Dalam sebuah peliputan berita, jurnalis ibarat seorang saksi. Dialah yang bisa menggambarkan peristiwa. Dengan intuisinya, ia tak buru-buru meninggalkan lokasi. Naluri jurnalistiknya hidup. Ia ingin yang pertama melihat kejadian dan melaporkan kepada pembacanya. Ada kebanggaan tersendiri ketika hanya dialah yang bisa melaporkan kejadian. Kepuasan ketika menghasilkan berita eksklusif (hlm. 2).

Terbitnya buku Jurnalisme di Cincin Api; Tak Ada Berita Seharga Nyawa dapat menambah wawasan yang berguna bagi para pembaca, seputar dunia jurnalisme yang diwarnai dengan suka dan duka.  

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sam Edy