Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Oliviea Novrimada Zahra
Film Budi Pekerti (Instagram/@filmbudipekerti)

“Sebagai mahasiswa yang dipaksa masuk jurusan kependidikan, film Budi Pekerti telah mengubah pola pikir saya soal profesi guru

Menjadi anak dari sosok guru membuat saya tahu setiap keluh kesah yang keluar dari mulutnya. Nggak usah jauh-jauh ngomongin kondisi pendidikan di Indonesia, lah!

Tiap ada kampanye capres pasti selalu ada kalimat “Kami janji akan naikkan gaji guru”. Saya bukan menjelek-jelekkan capres yang punya misi tersebut di tahun ini, apalagi menyindir presiden yang menjabat sekarang. Toh, gaji guru di Indonesia masih segitu-gitu aja.

Balik lagi soal film Budi Pekerti garapan Wregas Bhanuteja. Sutradara satu ini sudah tidak bisa diragukan lagi. Setelah sukses menggarap film Penyalin Cahaya (2021), Wregas mengantongi 17 nominasi piala citra atas film terbarunya, Budi Pekerti.

Wregas tidak pernah gagal mengemas fenomena yang lazim terjadi bahkan nyaris dinormalisasi oleh masyarakat era kini.

Budi Pekerti membahas soal Bu Prani, guru BK yang mendadak viral karena perselisihan antrean di warung putu yang sedang viral.

Keviralan ini berimbas pada profesi Bu Prani sebagai guru, suaminya yang punya penyakit bipolar, anak perempuannya yang bekerja dalam dunia media, dan anak laki-lakinya yang merupakan seorang influencer.

Adanya budaya cancel culture yang marak di media sosial membuat siapa pun bisa dapat cap malaikat bahkan iblis dari netizen dalam waktu singkat.

Wregas menjadikan objek dalam filmnya berprofesi sebagai guru, profesi ini sangat terkenal dengan sebutan profesi serba salah.

Awalnya saya enggan mengambil jurusan kependidikan. Saya lebih suka memilih jurusan-jurusan yang minim identitas dari masyarakat.

Apa saja asal jangan guru. Bayangkan saja! Kalau ada murid nakal yang disalahkan gurunya, kalau murid pintar yang disanjung orang tuanya. Haduh!

Jadi guru itu melelahkan. Gaji nggak seberapa tapi tanggung jawabnya nggak ngira-ngira! Guru dituntut untuk mencerdaskan bangsa, mendidik yang bodoh jadi pintar, mengubah yang buruk jadi baik. Yah, beginilah jadi bengkel siswa.

Saya terpaksa masuk jurusan pendidikan. Alasan seperti itulah yang membuat saya rada nggak ikhlas berkuliah sampai sekarang. Tapi film ini mengubah satu per satu persepsi saya soal profesi guru, yang nantinya akan saya jalani.

Kerja di mana saja dan tidak mungkin tergantikan robot manusia

Awalnya saya pikir guru adalah profesi monoton. Seragam, jam kerja, perilaku, semuanya diatur. Masih ingat adegan Bu Prani mengajar di tepi pantai? Film ini memang berlatar pandemi Covid sehingga kegiatan belajar mengajar harus dilakukan secara daring.

Tapi satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu ketika Bu Prani memberikan refleksi pada muridnya yang suka mencemooh temannya dengan kata kasar. Bahkan di situasi tanpa tatap muka seperti ini, guru tetap bisa menyalurkan ilmu dan rasa sayang pada muridnya.

Beberapa waktu lalu sedang gempar kabar banyaknya pekerjaan yang terancam karena bisa tergantikan oleh Artificial Intelligence (AI).

Namun kabar baik terlintas di kepala saya karena film ini, profesi guru tidak mungkin tergantikan karena ada perasaan seperti milik Bu Prani yang diberikan secara tulus, robot tidak mungkin bisa memberikan itu, kan?

Meski saya belum ada bayangan untuk bekerja sebagai guru dalam sebuah instansi resmi pemerintahan, tapi profesi guru ternyata bisa jadi pilihan untuk seseorang yang tidak suka hal monoton dan bekerja di mana saja.

Profesi ini cukup menantang karena menjadi garda terdepan dalam mencetak generasi penerus bangsa, yang tentunya punya pola pikir berbeda-beda.

Batu loncatan untuk kehidupan berkecukupan

Adanya pandemi membuat usaha Pak Didit bangkrut dan ternyata beliau mengidap penyakit bipolar. Gaji Bu Prani yang berprofesi sebagai guru dijadikan sumber utama kehidupan keluarganya.

Ini membuat saya teringat dengan perjalanan karier ibu saya sebelum diterima menjadi PNS. Meski keduanya bekerja, jaminan untuk bisa membeli rumah adalah gaji ibu sebagai guru.

Profesi guru memang memiliki gaji yang tidak bisa dibilang melimpah ruah. Hanya saja karena di bawah naungan pemerintah, gajinya cukup stabil.

Untuk menjadi seorang guru pun sebenarnya semua orang bisa. Langkah-langkah yang ditempuh untuk bisa berprofesi menjadi guru juga tidak sulit, cukup berkuliah dan mengajukan beasiswa untuk membayarnya.

Kalau dipikir kembali, saat itu masanya peralihan sekolah menuju kuliah, saya belum ada bayangan tentang masa depan dan saya memilih jalur aman. Guru memang serba salah, tapi guru bisa jadi profesi yang menentukan arah.

“Jadi guru saja dulu, nanti juga tahu mau apa,” begitu nasihat dari orang-orang saat itu. Tapi ada benarnya juga! Jam kerja guru bisa dibilang teratur, jadi bisa saja sepulang kerja buka usaha. Itu kalau mau ya!

Guru bukan hanya profesi tapi janji mengabdi yang abadi

Bu Prani diperankan oleh Ine Febriyanti, pemenang Piala Citra Pemeran Utama dalam ajang FFI 2023. Aktingnya sangat menjiwai sebagai guru yang amat tulus mendidik murid-muridnya.

Masih ingat adegan para alumni yayasan tempat Bu Prani mengajar berkumpul memberi support untuknya? Sosok guru memang tidak abadi, namun didikannya abadi.

Semasa sekolah, saya memang murid yang bandel. Itu jadi salah satu ketakutan saya untuk mengemban profesi ini nantinya. Selain itu, sebenarnya banyak guru yang menyebalkan. Ketika murid telat mereka menerima hukuman, tapi kalau guru telat masuk kelas?

Bu Prani tidak memberikan hukuman pada murid yang melanggar, melainkan refleksi. Masih ingat adegan Bu Prani saat bertemu Gora yang dulu adalah muridnya? Ini merupakan adegan yang membekas dan menyentuh hati saya. Mengemban profesi guru sebenarnya bukan soal gaji semata, melainkan soal ilmu yang akan terus abadi.

Oliviea Novrimada Zahra