Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Noviayan Andono
Ilustrasi buku Sampah di Laut Meira (bukumojok)

Dalam karya sastra yang berjudul ‘Sampah di Laut Meira’ terbitan Penerbit Buku Mojok pada tahun 2020, seorang penulis bernama Mawan Belgia mengajak kita menyelami dunia yang tak biasa, di mana benda-benda tak bernyawa seperti botol plastik Cola-Cola dan botol body lotion Ohana, bersama dengan roh Meira, seorang gadis cilik yang telah berpulang, menjadi narasumber cerita. 

Novel ini menghidupkan objek-objek mati dengan memberikan mereka suara untuk mengkritik perilaku manusia yang sering kali menganggap mereka tidak lebih dari sekadar sampah.

Perjalanan Cola, sang botol plastik, menjadi jantung dari cerita ini. Mulai dari kelahirannya di pabrik, hingga peristirahatannya di etalase warung, dan akhirnya menjadi milik seseorang, Cola mengalami nasib yang kerap kita saksikan: dibuang begitu saja ke pinggir jalan. 

Namun, bukan akhir bagi Cola, karena inilah awal dari petualangannya yang penuh warna, bertemu dengan karakter-karakter unik seperti Aladin si angin, Sulaiman si awan, tongkol jagung yang terombang-ambing di lautan, serta roh Meira yang setia menjaga, dan Ohana, si penyanyi body lotion yang gemar melantunkan lagu-lagu Raisa.

Novel ini tidak hanya sekedar cerita, tetapi juga pelajaran tentang pentingnya bertanggung jawab atas sampah yang kita hasilkan. Dengan akal dan pikiran yang kita miliki, kita tahu bahaya sampah plastik, namun masih kurang mahir dalam pengelolaannya. Sikap acuh tak acuh ini terus berlanjut, dan melalui novel ini, penulis berharap agar kisah ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih peduli, tanpa merasa dihakimi.

Dalam dialog yang memikat antara awan dan Cola, kita diajak untuk merenungkan bahwa pengetahuan adalah lautan yang tak bertepi. Awan, dengan wawasannya yang luas tentang kehidupan di atas sana, membuka mata Cola—dan kita—bahwa selalu ada lebih banyak yang bisa dipelajari. Ini mengajarkan kita untuk selalu berusaha memperluas cakrawala kita dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk kebaikan, bukan sekadar untuk pamer.

Selanjutnya, novel ini mengajarkan kita tentang siklus kehidupan yang tak terelakkan: pertemuan dan perpisahan. Setiap perpisahan membawa kita pada awal yang baru, bertemu dengan orang-orang baru yang membawa pelajaran baru. Ini adalah ritme alami yang kita alami, dari hari-hari di sekolah hingga mengejar impian kita.

Terakhir, novel ini mengeksplorasi hubungan simbiosis antara manusia dan alam. Melalui percakapan yang terjalin, kita diingatkan bahwa bila kita merawat bumi dengan baik, bumi pun akan membalas dengan kebaikan. 

Gaya penulisan yang imajinatif dan cerdas ini menyampaikan pesan penting tanpa terasa menggurui. Saya berharap, melalui buku ini, pembaca akan menjadi lebih sadar dan peduli terhadap kesehatan planet kita dan keseimbangan ekosistem yang kita bagi.

Noviayan Andono