Epilepsi atau ayan termasuk penyakit yang menakutkan bagi sebagian orang. Hal ini tentu dapat dimaklumi, sebab penyakit ini bisa kambuh sewaktu-waktu tanpa memandang situasi dan kondisi.
Sementara, tak semua orang dapat melakukan pertolongan yang tepat terkait penyakit ini. Oleh karena itu, penting bagi siapa saja untuk mengetahui lebih dalam penyakit ini, dengan harapan bisa memberikan pertolongan pada orang yang menderita penyakit epilepsi.
Menurut dr. Irawaty Hawari, SpS, epilepsi adalah salah satu penyakit neurologi menahun yang dapat mengenai siapa saja di dunia tanpa batasan usia, gender, ras, sosial, dan ekonomi. Di Indonesia, epilepsi dikenal oleh masyarakat kita sebagai “ayan” atau “sawan” (hlm. 1).
Epilepsi tentu ada gejala-gejalanya. Dalam buku ‘Out of Shadow’ diungkap, gejala utama pada epilepsi adalah kejang. Kejang adalah gangguan yang terjadi di otak. Otak terdiri atas miliaran sel-sel saraf yang terhubung satu sama lain melalui sinyal listrik yang aktif secara bergantian. Ketika sejumlah atau sebagian besar sel-sel saraf tersebut dalam keadaan aktif secara bersamaan, maka terdapat energi listrik berlebihan yang menyebabkan kejang.
Seseorang dapat mengalami kejang karena berbagai penyebab, misalnya demam tinggi, kurang oksigen, trauma kepala, atau penyakit lain yang menyebabkan kejang seperti radang otak, tumor otak, atau perdarahan. Kejang akan memengaruhi fungsi otak, gejala yang timbul tergantung dari bagian otak mana yang terkena. Kejang tersebut bisa berupa hilangnya kesadaran anak, gerakan-gerakan kaki dan tangan satu sisi atau bersamaan, dan perubahan perilaku (hlm. 9).
Mungkin banyak orang yang mengira bahwa epilepsi itu adalah penyakit yang tak hanya berbahaya tetapi juga bisa menular kepada orang lain. Tentu anggapan semacam ini tidak benar dan harus diluruskan.
Epilepsi bukan penyakit menular, tetapi diturunkan. Beberapa tipe epilepsi mempunyai dasar kelainan genetik. Kelainan tersebut menyebakan kerusakan struktur atau kimia otak, sehingga meningkatkan risiko seseorang terhadap kejang dan epilepsi (hlm. 11).
Bagi orang tua yang memiliki anak yang menderita epilepsi, tentu harus berupaya membekali diri dengan ilmu pengetahuan seputar epilepsi. Tujuannya agar bisa menghibur, mengontrol dan membantu anaknya ketika sedang mengalami kejang atau saat sedang kambuh.
Orang tua sebaiknya membuka komunikasi yang terbuka dengan anak tentang epilepsi. Diagnosis epilepsi mengakibatkan timbulnya perasaan rendah diri, cemas, takut, dan perasaan tidak berdaya. Bahkan ada yang merasa akan mati karena penyakitnya. Lewat komunikasi yang baik, orang tua bisa meyakinkan anak bahwa epilepsi bukan suatu kutukan atau akibat dari kesalahan seseorang dan sangat jarang seseorang mati karena epilepsi (hlm. 24).
Buku ‘Out of Shadow’ yang disusun oleh Yayasan Epilepsi Indonesia dan diterbitkan oleh PT Penerbit IPB Press (Bogor) ini layak dijadikan sebagai buku penting yang akan menambah wawasan pembaca seputar penyakit epilepsi dan bagaiman cara menghadapinya. Selamat membaca.
Baca Juga
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
-
Ulasan Buku Setengah Jalan, Koleksi Esai Komedi untuk Para Calon Komika
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan Film Waktu Maghrib 2: Sumpah Serapah yang Bikin Desa Kacau!
-
Review Film 100 Yards: Konflik Dua Murid, dan Seratus Yard Kehormatan
-
Ulasan Novel The Little Prince: Persahabatan Antara Pilot dan Pangeran Kecil
-
Film Jumbo 10 Juta Penonton: Sebuah Mimpi yang Kini Jadi Kenyataan!
-
Menjalani Hidup dengan Hati Ikhlas dalam Buku Ubah Lelah Jadi Lillah
Terkini
-
Menembus Hutan Demi Harapan, Psikologi UNJA Bangkitkan Mimpi Anak Suku Anak Dalam Jambi
-
Lady Gaga Dikonfirmasi Main di Wednesday Season 2, Perankan Sosok Guru
-
Singapore Open 2025 Punya Juara Baru, Thailand Sukses Sabet Dua Gelar!
-
5 Rekomendasi Parfum dengan Wangi Mewah ala Joshua SEVENTEEN, Wajib Coba!
-
Melampaui Stigma: Menempatkan Buku Kiri dalam Perspektif Literasi