Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Moreno
Gadis Kretek (instagram.com/netflixid)

Film "Gadis Kretek" memberikan perspektif menarik tentang perjuangan feminisme dalam konteks industri kretek di Indonesia pada era 1960-an.

Melalui tokoh utama Jeng Yah, film ini menggambarkan bagaimana seorang perempuan berusaha menembus dominasi laki-laki dalam industri yang secara tradisional dikuasai kaum pria.

Film ini juga mengeksplorasi bagaimana seorang perempuan dapat membangun identitasnya sendiri terlepas dari ekspektasi masyarakat. Jeng Yah tidak hanya sekadar pewaris bisnis, tetapi juga seorang inovator yang membawa perubahan dalam industri kretek. 
 
Perjuangan Jeng Yah merepresentasikan beberapa aspek penting feminisme. Aspek pertama yaitu film ini menunjukkan bagaimana perempuan mampu memiliki keahlian teknis yang setara dengan laki-laki.

Kemampuan Jeng Yah dalam menciptakan racikan kretek yang unik membuktikan bahwa keterampilan tidak mengenal gender. Hal ini menantang stereotip bahwa industri kretek hanya domain kaum pria.

Aspek kedua, film ini menggambarkan perjuangan melawan patriarki dalam lingkungan kerja, Jeng Yah harus menghadapi berbagai tantangan dan prasangka karena gendernya, namun ia tetap teguh mempertahankan posisinya di industri kretek.

Kemampuannya memimpin dan membuat keputusan strategis menunjukkan bahwa perempuan mampu mengambil peran kepemimpinan yang biasanya didominasi laki-laki.

Aspek ketiga adalah kemandirian ekonomi. Melalui keahliannya dalam industri kretek, Jeng Yah menunjukkan bagaimana perempuan dapat mencapai kemandirian finansial. Ini sejalan dengan prinsip feminisme tentang pentingnya kemandirian ekonomi bagi pemberdayaan perempuan.
 
Film ini juga mengangkat isu tentang hak perempuan untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Aspek penting lain yang ditonjolkan adalah solidaritas antarperempuan.

Melalui interaksi Jeng Yah dengan karakter perempuan lainnya, film ini menggambarkan bagaimana dukungan sesama perempuan menjadi kekuatan dalam menghadapi tantangan patriarki.

Hal menarik lainnya adalah film ini tidak menggambarkan feminisme dalam bentuk perlawanan frontal, melainkan melalui determinasi seorang perempuan yang membuktikan kapabilitasnya dalam industri yang didominasi laki-laki.

Hal ini memberikan perspektif yang lebih nuansa tentang bagaimana perjuangan feminisme dapat terwujud dalam konteks budaya Indonesia.

Pada kesimpulannya "Gadis Kretek" berhasil menghadirkan narasi feminisme yang kuat melalui kisah perjuangan perempuan dalam industri kretek.

Film ini tidak hanya berbicara tentang emansipasi, tetapi juga tentang bagaimana perempuan dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat.

Melalui karakter Jeng Yah, film ini mendemonstrasikan bahwa perempuan mampu mendobrak batasan gender dan mencapai kesuksesan dalam bidang yang didominasi laki-laki.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ryan Moreno

Baca Juga