Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Anik Sajawi
Presiden Prabowo Subianto saat pulang dari Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah menggunakan Maung Pindad. (Instagram/@prabowo)

Kemudahan teknologi kadang menjadi keniscayaan jika itu dimanfaatkan untuk hal yang positif. Namun jika tidak digunakan secara tepat, teknologi bak pisau bermata dua yang bisa memberikan ancaman dan kegunaan bagi pemiliknya.

Termasuk penggunaan teknologi digital bagi generasi muda saat ini, sebab diakui atau tidak, jika dibandingkan kondisi generasi muda dulu tentu sangat berbeda.

Dahulu akses informasi sangat terbatas dengan minimnya teknologi membuat orang lebih fokus karena minimnya distraksi.

Sebaliknya saat ini dengan berbagai kemudahan yang didapat ternyata tidak membuatnya menjadi wadah untuk belajar, tapi malah jadi tempat yang berimplikasi pada kecanduan media sosial yang berdampak pada kondisi pola pikir remaja saat ini yang mengkhawatirkan.

Sehingga perlu ada atensi dari Pak Prabowo mengenai regulasi media sosial yang bahayanya bak candu narkotika jika tidak segera ditangani. Saya menulis surat ini dengan penuh harapan dan kekhawatiran atas nasib generasi muda kita Pak.

Pada momen bersejarah Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tahun pada 28 Oktober, kita diingatkan akan semangat persatuan, perjuangan, dan cita-cita luhur yang dibawa oleh para pemuda tahun 1928. Namun, saya merasa bahwa semangat itu mulai memudar di kalangan generasi muda saat ini.

Kemudahan yang Jadi Bumerang

Di era digital saat ini, generasi muda seharusnya memiliki akses tak terbatas kepada berbagai sumber informasi dan peluang belajar yang dapat membantu mereka berkembang.

Kemudahan dalam mengakses teknologi dan internet memberikan mereka kesempatan untuk mengeksplorasi pengetahuan baru, berkolaborasi dengan orang-orang di seluruh dunia, dan memperluas jaringan sosial.

Namun, kenyataannya, banyak dari mereka justru terjebak dalam rutinitas penggunaan media sosial yang berlebihan, yang mengalihkan fokus dari pembelajaran yang produktif.

Kecanduan media sosial telah menjadi fenomena yang mengganggu pola pikir dan perilaku generasi muda. Alih-alih memanfaatkan platform digital untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, banyak yang terjebak dalam konten yang bersifat dangkal dan hiburan semata.

Padahal tanpa literasi digital, media sosial sering kali menjadi ruang bagi penyebaran informasi yang tidak akurat, di mana berita bohong dan hoax menyebar dengan cepat.

Hal itu menciptakan lingkungan pola pikir kritis jarang berkembang, dan pemuda lebih mudah terpengaruh oleh opini yang tidak berdasar hingga berimplikasi pada pemikiran dalam jangka panjang.

Dampak Buruk Kecanduan Media Sosial

Kecanduan media sosial telah menjadi isu yang semakin mengkhawatirkan di kalangan remaja, dengan dampak yang merugikan bagi perkembangan sosial dan mental mereka.

Banyak remaja yang menghabiskan berjam-jam di depan layar ponsel, menyerap konten tanpa henti, dan mengabaikan interaksi langsung dengan teman dan keluarga.

Hal itu akan menyebabkan kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi secara nyata dapat mengakibatkan isolasi sosial dan mengurangi kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang sehat di dunia nyata. Selain itu, pola pikir yang terbentuk dalam ekosistem digital sering kali bersifat dangkal dan tidak kritis.

Dampak jangka panjang dari kecanduan media sosial ini dapat menghambat perkembangan pribadi remaja. Alih-alih berfokus pada pembelajaran dan kontribusi positif kepada masyarakat, banyak yang terjebak dalam siklus konsumsi konten yang tidak produktif.

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi orang tua, pendidik dan pemangku kebijakan untuk memberikan dukungan dan bimbingan, serta menciptakan kesadaran tentang penggunaan media sosial yang sehat.

Perlu Regulasi yang Solutif

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada regulasi media sosial sebagai langkah untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi generasi muda.

Saat ini, banyak platform digital tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga sumber informasi yang bisa mempengaruhi pola pikir dan perilaku.

Tentu saja dengan regulasi yang tepat, kita bisa mengarahkan penggunaan media sosial agar tidak hanya berfokus pada hiburan, tetapi juga pada pembelajaran dan pengembangan diri.

Regulasi media sosial tidak hanya berkaitan dengan membatasi waktu penggunaan, tetapi juga mencakup pengawasan terhadap konten yang beredar.

Kita perlu memastikan bahwa platform-platform itu menyediakan konten edukatif yang bermanfaat dan membangun, serta menghilangkan konten yang merugikan.

Selain itu, kolaborasi dengan penyedia platform untuk mengembangkan algoritma yang lebih mendukung pendidikan dan pengembangan keterampilan sangat diperlukan, sehingga generasi muda dapat mengakses informasi yang berkualitas dan relevan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Anik Sajawi