Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Alexander Joy
We Live in Time (IMDb)

Pernahkah Anda merasa hubungan percintaan tak ubahnya seperti sebuah cerita? Ada fase di mana dua orang bertemu dan mengawali kisah mereka, dilanjutkan dengan dinamika saat pasangan berjuang untuk mencapai tujuan, hingga akhirnya sampai pada penghujung jalan saat hubungan harus berakhir. 

Film We Live in Time menghidangkan semua itu, namun dengan cara yang tidak biasa, membiarkan kita melihat keseluruhan kanvas penuh warna dari hubungan tersebut.

Tobias (Andrew Garfield) bekerja di sebuah perusahaan sereal, sementara Almut (Florence Pugh) adalah seorang chef di restoran berbintang Michelin miliknya. 

Mereka sangat berbeda, namun berhasil bersatu.  Bahkan ketika perbedaan tujuan muncul – Tobias ingin punya anak, sementara Almut tidak – mereka masih berusaha untuk tetap bersama. 

Naskah yang ditulis Nick Payne menekankan pentingnya kompromi dalam hubungan yang serius. Kemajuan zaman membawa evolusi dalam genre romansa, yang kini sering dipakai untuk mengolah berbagai isu sensitif. 

Meski demikian, ada kerinduan akan kisah cinta sederhana yang menampilkan dua manusia dengan kepribadian baik yang tengah memadu kasih. 

Film ini memenuhi kerinduan tersebut dengan menghadirkan Tobias dan Almut sebagai pasangan tanpa drama besar seperti perselingkuhan atau kekerasan.

Andrew Garfield dan Florence Pugh sukses menghidupkan karakter Tobias dan Almut. Garfield memerankan Tobias yang agak canggung, sementara Pugh memerankan Almut dengan penuh percaya diri. 

Chemistry antara keduanya terasa sangat natural, meyakinkan penonton bahwa mereka benar-benar jatuh cinta. Namun, tak peduli sekuat apa pun cinta mereka, Tobias dan Almut tak mampu mengalahkan kanker ovarium yang mengidap Almut. 

Alur film ini kemudian menggunakan format non-linear, melompat antara tiga masa: awal pertemuan mereka, saat berusaha memiliki anak, dan masa kini setelah Almut didiagnosis mengidap kanker stadium 3. 

Lompatan waktu ini menggambarkan usaha mereka melawan waktu dan menikmati kembali momen-momen indah dalam bentuk kilas balik.

Meski We Live in Time adalah tearjerker yang memanfaatkan penyakit kronis untuk menghadirkan air mata, John Crowley, sang sutradara, menghindari pendekatan yang berlebihan dan murahan. 

Film ini adalah tearjerker yang elegan. Crowley dan Payne berhasil memperindah momen-momen emosional, seperti adegan melahirkan yang terasa cantik karena menitikberatkan pada perjuangan manusia, serta konklusinya yang berlatar di sebuah gelanggang es.

Daripada berfokus pada nasib buruk dan kehilangan, We Live in Time memilih untuk menampilkan bagaimana para karakter menjalani hidup sepenuhnya, tanpa meninggalkan penyesalan.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Alexander Joy