Selamat malam, Barra. Namaku Nilam. Aku adalah santri tingkat enam di Pesantren Nurul Ilmi. Kita tadi bertemu di pesantren putri. Kamu bertanya di mana letak kantor pesantren, dan aku menunjuk pesantren putra.
Sebelumnya, maafkan kalau aku tadi kurang sopan. Aku agak terkejut saja. Aku menulis surat ini sebagai permintaan maaf atas ketidaksopanan itu. Semoga pesantren ini menyenangkan bagimu.
Salam,
Nilam
Inilah surat Nilam atas respons pada pertemuan pertama dengan santri baru berambut panjang bernama Barra Sadewa. Surat itu hanya ditulis oleh Nilam dan disimpan, tidak dilayangkan kepada laki-laki yang namanya tertera dalam surat tersebut.
Dan di tempat yang berbeda, di pesantren putra, Barra Sadewa juga menulis surat tentang kesan pertamanya di pesantren dan awal pertemuannya bersama Nilam. Surat itu juga ia simpan sendiri, menjadi koleksi pribadi.
Pada pagi pertama itu banyak hal berkelebat di pikiranku. Dulu, aku berpikir pesantren ini adalah penjara. Tempat aku harus menyesali diri karena suatu hari pernah dengan gagah berani berkata kepada guru agamaku, bahwa aku tidak percaya Tuhan itu ada. Tapi, kemudian aku bertanya sendiri. Sebenarnya yang tidak ada itu Tuhan ataukah aku?
Nilam, aku ingin sekali menyebutmu cantik, tapi aku takut, kata cantik itu tidak cukup menggambarkan rona dirimu. Kamu lebih dari itu. Kamu seperti sebuah dunia tempat hal-hal positif menyatu. Matamu yang cemerlang, tatapanmu yang malu dan sopan, gestur tubuhmu yang menimbulkan rasa hormat dan segan. Kamu seperti bukan dari dunia ini. (Halaman 46).
Novel Habibie Ya Nour El Ain ini menceritakan kisah Nilam yang merupakan anak bungsu dari Kiai Syarifuddin Aftar yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ilmi Padang. Barra Sadewa merupakan santri baru yang sangat nakal di SMA.
Selain itu, Barra juga tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, yakni salat. Kepada guru agamanya, ia juga mengaku tidak percaya kepada Tuhan. Akhirnya si kepala sekolah mendesak Barra untuk nyantri selama dua minggu di Pesantren Nurul Ilmi. Dengan harapan, Barra akan menjadi pribadi yang lebih baik, mengenal Tuhan, dan mampu mematuhi ajaran Islam.
Saat tiba di Pesantren Nurul Ilmi, Barra tidak mau bahkan melawan ketika pengurus pesantren hendak memotong rambutnya yang gondrong. Ia menepis tangan pengurus yang memegang gunting itu dengan dalih bahwa ia bukan santri, ia hanya belajar sebentar selama dua minggu di pesantren.
Di pondok itu, Barra merasa dihargai, disayangi, dan diterima. Sedikit demi sedikit ia pun berubah. Terlebih di pesantren itu Barra bertemu dengan Nilam, salah satu santri yang merupakan putri pengasuh. Pertemuan yang hanya terjadi beberapa kali tanpa ada pembicaraan panjang, telah membuat keduanya jatuh cinta sedemikian dalam tanpa pernah terungkap satu-sama lain. Bahkan, setelah bertahun-tahun kemudian. Keduanya hanya menulis surat yang tidak pernah terkirim.
Novel ini ditulis dengan sudut pandang Nilam, tetapi sesekali Maya Lestari GF bercerita dari sudut pandang Barra, melalui surat-surat yang ditulisnya untuk Nilam.
Novel yang ditulis dengan tata bahasa yang indah ini dapat menghipnotis para pembaca untuk tidak melewatinya lembar demi lembar. Novel berlatar pesantren ini sungguh nikmat, asyik dan menyenangkan.
Selamat membaca!
Identitas Buku
Judul: Habibie Ya Nour El Ain
Penulis: Maya Lestari GF
Penerbit: DAR! Mizan (Mizan Pustaka)
Cetakan: I, Desember 2016
Tebal: 240 Halaman
ISBN: 978-602-420-298-9
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Vivo V60 Resmi Rilis, Andalkan Kamera Telefoto ZEISS dan Snapdragon 7 Gen 4
-
Review Buku Indonesia Merdeka, Akhir Agustus 2025 Benarkah Sudah Merdeka?
-
Samsung Segera Kenalkan Galaxy S25 FE, Dibekali Prosesor Exynos 2400 dan CPU 10 Core
-
Vivo X Fold 5 Resmi Masuk Indonesia, HP Lipat dengan Durabilitas Tinggi serta Engsel Kuat dari Baja
-
Menganalisis Ideologi Negara dalam Buku Ragam Tulisan Tentang Pancasila
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku 'Perantau' Karya Gus tf Sakai, Butuh Baca Ulang untuk Memahami
-
4 Rekomendasi Novel Klasik Indonesia yang Wajib Dibaca Sekali Seumur Hidup
-
Belajar dengan Suasana Bebas dalam Novel Sekolahku Bukan Sekolah
-
Menelisik Perasaan Perempuan Melalui Novel The Days of Abandonment
-
Ulasan The Architecture of Love: Cinta yang Tidak Selalu Sempurna
Ulasan
-
Review Film Menjelang Magrib 2: Cerita Pemasungan yang Bikin Hati Teriris
-
Between Us: Sebuah Persahabatan yang Terluka oleh Cinta
-
Mengurai Cinta yang Tak Terucap Lewat Ulasan Buku 'Maafkan Kami Ya Nak'
-
Mahar Jingga: Cinta yang Halal Tapi Tak Selalu Membahagiakan
-
Ali Band dan Perayaan Musik Dansa dari Timur Tengah ke Jakarta
Terkini
-
Roblox Bukan Sekadar Game: Tempat Gen Z dan Alpha Nongkrong, Sampai Bikin Dunia Sendiri!
-
Melihat Gaya Komunikasi Menteri Keuangan Baru Purbaya Yudhi Sadewa, Bisa Diterima Gen Z?
-
Kawaii Sebagai Kekuatan Ekonomi: Pelajaran dari Jepang untuk Indonesia
-
4 Inspo OOTD Chaeryeong ITZY yang Wearable Banget untuk Daily Look!
-
Misteri Kursi Panas Pengganti Dito Ariotedjo: Beneran Bakal Diisi Raffi Ahmad?