Lagu "Love Hangover" dari Jennie dan Dominic Fike adalah potret brutal dari hubungan yang penuh ketergantungan emosional.
Dari judulnya saja, kita sudah bisa membayangkan bagaimana lagu ini menggambarkan efek samping dari mencintai seseorang yang sebenarnya tidak baik untuk kita. Layaknya mabuk, cinta yang berlebihan bisa meninggalkan sakit kepala keesokan harinya—tetapi tetap saja, kita kembali menenggaknya lagi.
Liriknya berisi pertarungan batin yang sangat relate bagi banyak orang. Baris "We say it’s over, but I keep fucking with you" adalah pengakuan jujur tentang betapa sulitnya lepas dari seseorang, meskipun kita tahu itu keputusan yang benar.
Ada semacam ketergantungan emosional yang terus menyeret si narator kembali ke dalam hubungan yang sama, meskipun dia sudah berjanji untuk tidak mengulanginya.
Jennie membawa karakter vokal khasnya—lembut tetapi penuh emosi. Suaranya mengandung keputusasaan yang samar, seolah dia sudah capek dengan permainan ini, tetapi tetap tidak bisa keluar. Sementara itu, Dominic Fike memberikan energi yang lebih santai, tetapi tetap berisi.
Frasa "Who sent you?" yang diulang-ulang dalam lagu ini menarik perhatian. Ada kesan bahwa kehadiran orang ini dalam hidup sang narator bukan kebetulan—mungkin ini takdir, atau mungkin ini hanya ego yang berbicara. Narator tahu bahwa hubungan ini bukan sesuatu yang sehat, tetapi tetap saja, ada dorongan untuk kembali.
Salah satu bagian paling kuat dalam lirik adalah pengakuan terhadap pola toxic yang terus terjadi. "I swore I’d never do it again, until you came over," menunjukkan bahwa kesalahan yang sama terus diulang tanpa ada jalan keluar. Seperti seseorang yang kecanduan, mereka sadar bahwa ini merusak, tetapi tetap melakukannya.
Lagu ini bukan sekadar tentang hubungan toxic, tetapi juga tentang sisi manusiawi dari cinta yang sulit dilepaskan. "Love Hangover" adalah anthem bagi mereka yang pernah terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, tetapi tetap kembali karena hati lebih keras kepala daripada logika. Sebuah lagu yang mungkin bikin kita berpikir, kapan kita benar-benar bisa berhenti?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Artikel Terkait
-
Lirik Lagu Tob Tobi Tob Viral di TikTok, Ternyata Ini Makna Sebenarnya!
-
CRAVITY Party Rock: Konsep Dance dan Party yang Melambangkan Kebebasan
-
10CM Borrow Your Night: Manisnya Menghabiskan Larut Malam Berdua Bareng Dia
-
The Lazy Song Bruno Mars dan Kesenangan Bermalas-malasan Tanpa Rasa Bersalah
-
WJSN Butterfly: Konsep Fairy Tale yang Menggambarkan Kebebasan
Ulasan
-
7 Our Family: Luka Keluarga dari Sudut Anak Paling Terlupakan
-
Ahlan Singapore: Rebecca Klopper Terjebak di Antara Kiesha Alvaro dan Ibrahim Risyad
-
Ulasan Novel Timun Jelita: Bukti Mengejar Mimpi Nggak Ada Kata Terlambat!
-
Ulasan Novel The Mint Heart: Romansa Gemas Reporter dengan Fotografer Cuek
-
Review Novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Potret Realistis Kehidupan Mahasiswa Indonesia
Terkini
-
Cerita Ruangkan, Solusi dari Bayang-Bayang Burnout dalam Hustle Culture
-
Sinopsis dan Kontroversi Drama China Love dan Crown, Layakkah Ditonton?
-
5 Rekomendasi Drama China Misteri Baru 2025 untuk Temani Akhir Pekan
-
Indonesia di Mata Ji Chang Wook: Perjalanan Healing yang Penuh Makna
-
Anime Dead Account Bagikan Trailer Baru Jelang Tayang 10 Januari 2026