Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Operation Finale (IMDb)

Apa yang terjadi jika seorang agen Mossad harus menangkap seorang Nazi yang menghilang setelah perang? Bukan sekadar misi mata-mata biasa, ‘Operation Finale’ menggabungkan elemen sejarah dengan thriller dan sedikit nuansa heist movie lho. Namun, ada satu pertanyaan besar: Seberapa jauh film boleh menggambarkan tragedi Holocaust?

Sinopsis Operation Finale

Film yang disutradarai Chris Weitz ini mengangkat kisah nyata operasi Mossad untuk menangkap Adolf Eichmann, arsitek Holocaust yang melarikan diri ke Argentina setelah Perang Dunia II. 

Oscar Isaac berperan sebagai Peter Malkin, agen yang ditugaskan untuk menangkap Adolf Eichmann (Ben Kingsley) agar bisa diadili di Israel. Dengan ketegangan yang semakin meningkat, Malkin dan timnya harus menyusun strategi untuk menyelundupkan Eichmann keluar dari Argentina tanpa menarik perhatian kelompok neo-Nazi yang siap membela pemimpin mereka.

Semenarik itu memang film ini. Namun, jauh lebih menarik lagi membahas terkait Holocaust lebih dalam lagi. Yuk kita bahas tuntas!

Representasi Holocaust dalam Film

Film yang juga dibintangi Melanie Laurent, Nick Kroll, dan Lior Raz, rupanya punya daya tarik tersendiri terkait Holocaust. 

Sejak lama, ada perdebatan besar tentang bagaimana Holocaust seharusnya digambarkan dalam film. Penggambaran Holocaust dalam sinema bisa jadi tindakan yang nggak etis, bahkan disebut sebagai "sekular blasphemy". Mengapa? Karena mereka percaya bahwa penderitaan jutaan korban nggak bisa direpresentasikan secara akurat lewat adegan-adegan yang direka ulang.

Operation Finale tentu saja nggak terhindar dari perdebatan ini. Dalam beberapa adegan, film ini menampilkan kilas balik eksekusi massal dan kekejaman Nazi yang dialami karakter utama. Dan sejujurnya, aja rasa nggak nyaman dengan cara film ini menggambarkan tragedi tersebut.

Namun, di sisi lain, film seperti Operation Finale justru penting agar generasi muda memahami kengerian Holocaust. Kalau kita melihat film seperti Schindler’s List atau The Pianist, keduanya juga menampilkan adegan-adegan kekejaman perang, tapi tetap dianggap penting dalam edukasi sejarah. Jadi, di mana batas antara menghormati sejarah dan eksploitasi tragedi? Ini jadi dilema dan tantangan bagi sineas sih. 

Perpaduan Thriller, Heist, dan Sejarah

Lalu tentang bagaimana film ini menggabungkan berbagai elemen genre. Sebagai film sejarah, tentu kita mengharapkan nuansa dokumentatif dan dramatis. Namun, Chris Weitz justru menambahkan unsur thriller dan heist ke dalamnya.

Sejak awal, film ini menampilkan Peter Malkin sebagai karakter agen Mossad yang nggak biasa—lebih santai, penuh pesona, dan sedikit impulsif. Oscar Isaac bahkan, gayanya mengingatkan pada karakter George Clooney di Film Ocean’s 11.

Begitu Malkin mulai merekrut timnya dalam misi menangkap Eichmann, film ini mulai terasa seperti film perampokan klasik. Ada karakter dokter anestesi (Melanie Laurent), agen humoris (Nick Kroll), dan tentunya sang "target besar" yang harus mereka culik dengan rencana yang sempurna. Jika kita melihat film seperti Argo (2012), ada kemiripan dalam cara kedua film ini membangun ketegangan—bukan lewat aksi laga yang eksplosif, tapi lewat strategi dan dialog intens.

Namun, apakah pendekatan semacam itu bagus? Sentuhan heist movie membuat film ini lebih dinamis dan nggak terasa seperti cuma dokumenter sejarah. Namun, di sisi lain, unsur thriller ini justru membuat film kehilangan bobot dramatisnya. Alih-alih fokus pada dampak moral menangkap Eichmann, film lebih banyak bermain dengan ketegangan khas film mata-mata.

Akhir kata, Film Operation Finale mungkin bukan film Holocaust terbaik, tapi tetap menarik karena berani mencampurkan elemen sejarah dengan thriller. ‘Operation Finale’ bisa jadi tontonan yang menghibur sekaligus membuka diskusi lebih luas tentang cara kita merepresentasikan sejarah dalam sinema kok. Selamat nonton ya. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Athar Farha