Sebagai penonton yang nonton sampai akhir, sejenak terdiam beberapa saat setelah kredit Film Good One mulai bergulir. Bukan karena ada kejutan besar di akhir, bukan juga karena twist yang tiba-tiba membelalakkan mata. Namun, karena merasa baru saja menyaksikan sesuatu yang begitu nyata, begitu dekat, dan sayangnya, juga begitu familier.
Film yang pernah tayang di Jakarta World Cinema pada 21-28 September 2024, merupakan debut sutradara India Donaldson, tapi kalau nggak tahu sebelumnya, aku mungkin mengira dia sudah lama berkecimpung di industri film.
Yes! Ada kepercayaan diri dengan cara dia bercerita, dalam bagaimana dia membangun ketegangan bukan dengan ledakan besar atau teriakan dramatis, tapi dengan sunyi yang perlahan mencengkeram.
Seperti apa kisahnya? Sini kepoin yuk!
Cerita berpusat pada Sam (diperankan Lily Collias), remaja perempuan yang pergi berkemah bersama ayahnya, Chris (James Le Gros), serta teman ayahnya, Matt (Danny McCarthy).
Seharusnya, Matt membawa serta putranya, Dylan (Julian Grady), tapi di menit-menit terakhir, Dylan menolak ikut karena masih kesal dengan perceraian orang tuanya.
Jadilah hanya diikuti tiga orang. Awalnya semua tampak biasa saja. Ayah dan anak yang saling bercanda, persiapan perjalanan yang menyenangkan.
Yakin deh, dari awal, ada sesuatu menggelitik lho. Misal saat Chris meminta Sam untuk duduk di belakang saat menjemput Matt. "Kenapa aku harus pindah ke belakang?" tanya Sam.
"Karena aku memintamu ... ," jawab Chris dengan nada santai (kira-kira gitu ya).
Dialog itu terdengar biasa, tapi entah kenapa, terasa ada sesuatu yang mengganjal. Dan benar saja, sepanjang film, Donaldson menebar petunjuk-petunjuk kecil yang bikin makin nggak nyaman.
Ketika mereka menginap di hotel, pembagian tempat tidur dilakukan begitu saja tanpa bertanya pendapat Sam. Saat makan siang, pembicaraan tentang identitas Sam terjadi tanpa dia benar-benar diberi ruang untuk menyuarakan pikirannya. Dan ketika mereka tiba di tempat perkemahan, sekelompok pria asing di sekitar mereka membuat Sam merasa waspada—perasaan yang mungkin sering dialami perempuan di ruang-ruang yang didominasi laki-laki.
Hmmm … sepertinya memang ada sesuatu ya? Tontonlah, Sobat Yoursay!
Impresi Selepas Nonton Film Good One
Donaldson nggak pakai pendekatan dramatis atau eksplisit buat menunjukkan ketimpangan gender dalam interaksi sehari-hari sih. Sebaliknya, membiarkan penonton mengamati dan merasakan sendiri gimana dinamika itu berjalan.
Nggak ada adegan kekerasan yang frontal, nggak ada teriakan atau konfrontasi besar. Yang ada adalah ketidaknyamanan yang merayap perlahan, yang seringkali kita abaikan atau anggap biasa karena sudah terlalu sering terjadi di dunia nyata.
Yang membuat Good One lebih menarik yakni gimana menangkap realita dengan begitu jujur. Bagaimana laki-laki bisa dengan mudah menyepelekan perasaan perempuan, bahkan ketika mereka nggak berniat jahat. Bagaimana dunia bisa terasa begitu nggak aman, bukan karena ada ancaman yang jelas, tapi karena ketidakpedulian yang berulang kali dibiarkan terjadi. Dan paling menyakitkan, gimana perempuan seringkali harus menciptakan ruang aman mereka sendiri, karena orang-orang yang seharusnya melindungi mereka justru gagal memahami ketakutan mereka.
Nah, Lily Collias tampil luar biasa sebagai Sam. Dia nggak banyak berbicara, tapi lewat ekspresi dan gestur tubuhnya, aku bisa merasakan ketegangan yang dipendam. Aku bisa melihat bagaimana pikirannya terus bekerja, mencoba memahami situasi di sekitarnya, mencoba mencari cara untuk merasa aman.
Dan di akhir film, ketika dia duduk di dalam mobil, menutup pintu, dan membiarkan dirinya berada di dalam ruang kecil itu selama beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan—aku paham. Kadang, satu-satunya cara untuk merasa aman adalah dengan menciptakan batas sendiri.
‘Good One’ bukan film yang akan membuatmu terkejut atau tersentak dengan adegan-adegan besar, tapi akan membuatmu berpikir, dan mungkin juga membuatmu sedikit lebih sadar tentang bagaimana dunia bekerja bagi perempuan. Dan bagi sebuah film debut, itu adalah pencapaian yang luar biasa.
Skor: 4/5
Baca Juga
-
Review Film Saint Clare: Niat Jadi Horor Ilahi, Hasilnya Malah Sesat
-
Untamed di Netflix: Luka Lama dan Rahasia Kelam di Taman Nasional
-
Review Film Eddington: Paranoia Massal dan Satir Gelap Ala Ari Aster
-
Review Film Smurfs: Petualangan Baru dan Sihir yang Nggak Lekang Oleh Zaman
-
Review Film Sentimental Value: Ladang Luka Lama yang Belum Sembuh
Artikel Terkait
-
Jumbo dan Kebangkitan Animasi Indonesia, Saatnya Cerita dari Hati ke Hati
-
4 Film Visinema Pictures Terlaris, Terbaru Jumbo Otw Empat Juta Penonton
-
Zootopia 2: Kenapa Sekuelnya Jadi Penting Buat Disney dan Penggemarnya?
-
Ulasan Film Jumbo: Petualangan Imajinasi yang Bikin Hati Jadi Hangat
-
Optimisme V-KOOL di Tengah Tren EV Berbekal Pengalaman Tiga Dekade
Ulasan
-
Ulasan Novel Fan Favorite: Pertarungan Hati dan Reputasi di Acara Televisi
-
Review Film Wall to Wall: Ketegangan Psikologis yang Bikin Jantungan!
-
Review Drama Good Boy: Ketika Mantan Atlet 'Babak Belur' Ungkap Kejahatan
-
Ulasan Novel Don't Let Go: Permainan Takdir yang Tidak Masuk Akal
-
Ulasan To Live, Novel Karya Yu Hua yang Ajarkan Arti Keberuntungan Sebenarnya
Terkini
-
007 First Light: Petualangan Bond Muda Nekat yang Bawa Aksi dan Drama Seru!
-
6 Rekomendasi Laptop Touchscreen Terbaik 2025: Buat Kerja atau Kuliah Dijamin Sat-set
-
Bobby, Polisi, dan Kucing yang Lebih Berharga dari Warga Negara?
-
Up All Night oleh xikers: Kegundahan Para Jiwa Muda Hadapi Lika-Liku Hidup
-
Samsung Seri A 2025: HP Kelas Sultan dengan Harga Anak Kos, Cekidot!