Beberapa tahun yang lalu, animasi lokal masih dianggap “hiburan alternatif”. Bukan tontonan utama, bukan juga yang ditunggu-tunggu. Banyak yang bilang, "Ah, ini mah buat anak kecil", atau "Paling ya gitu-gitu doang".
Selepas film animasi ‘Nusa’ dan ‘Juki’, kini salah satu yang lagi bersinar: ‘Jumbo' buatan Visinema. Kabar terbaru yang dibagikan melalui laman resmi Instagram @visinemastudios, 13 April 2025, telah menyedot atensi 3.000.000++ penonton. Keren dan mantap jiwa!
Dan bukan hanya karena promosi gencar atau visual yang memanjakan mata, tapi karena film ini berhasil menyampaikan rasa. Yakni sebuah emosi, sesuatu yang susah dijelaskan tapi mudah dirasakan.
Jelas itu pencapaian luar biasa yang patut dirayakan. Rasanya kayak lagi hidup di masa keemasan animasi Indonesia. Satu per satu film animasi muncul, bukan cuma menghibur, tapi juga menyentuh—dalam banget, sampai-sampai orang dewasa pun nggak bisa menahan haru.
Sesulit apa sih perjalanan film animasi lokal sebelum ‘Jumbo’ beredar? Sini merapat dan baca tuntas pembahasannya!
Animasi Lokal Dulu Dianggap Biasa, Sekarang Digandrungi
Perjalanan animasi lokal sebenarnya bukan hal baru. Indonesia sudah punya banyak kreator brilian, animator-animator handal, bahkan sekolah animasi yang berkualitas. Namun, tetap saja, butuh waktu panjang buat bisa menembus kepercayaan publik.
Tentu nggak semua langsung mulus. Dunia animasi lokal penuh perjuangan. Biaya produksi tinggi, sumber daya terbatas, tantangan teknis dan SDM yang kadang nggak sebanding dengan proyek besar. Belum lagi komentar miring dan ekspektasi publik yang seringkali terlalu keras.
Butuh satu titik balik, momen di mana penonton sadar, “Oh, ternyata animasi buatan kita bisa sebagus ini ya.”
Dan titik balik itu pelan-pelan mulai muncul!
Bukan cuma lewat teknis, tapi juga lewat cerita. Lewat keberanian film-film mengangkat isu yang nggak selalu ringan. Kadang tentang kehilangan, tentang mimpi yang terpendam, tentang hubungan orangtua dan anak yang retak, bahkan tentang rasa takut akan perpisahan. Semuanya dibungkus dengan cara yang indah, lembut, tapi ngena. Dan dari situ, penonton mulai membuka hati.
Sekarang, kita nggak lagi nonton animasi lokal karena “ya sudah, coba saja nonton”. Namun, karena kita percaya. Kita butuh nonton itu.
Kepercayaan dari penonton didapat bukan karena animasi sekarang viral doanh, tapi juga karena mereka (animasi), tahu caranya bicara ke hati penonton. Nggak pakai rumus berat, nggak harus lewat dialog filosofis yang ribet. Cukup lewat satu adegan peluk diam-diam, satu kalimat minta maaf yang tertahan, atau satu momen ketika karakter utama akhirnya berani jujur tentang rasa sakitnya.
Itu semua bikin kita, yang sehari-hari pura-pura kuat di dunia nyata, akhirnya merasa "kebongkar". Ada sisi dalam diri kita—si anak kecil yang dulu (mungkin) sering nangis pas mainannya hilang—yang ternyata saat dewasa perasaan semacam itu masih ada dan masih butuh dipeluk, dan masih ingin dimengerti.
Dan secara mengejutkan, animasi lokal bisa jadi media buat melepas tiap-tiap rasa itu.
Terbukti lho, dengan adanya Film Jumbo, yang juga banyak ditonton orang dewasa. Orang-orang yang datang ke bioskop awalnya mungkin cuma mau menemani para bocil, tapi ternyata di luar dugaan, kisahnya sangat hangat dan menyentuh benak penonton dewasa.
Pada akhirnya, ada yang datang diam-diam setelah kerja, ada yang nonton sendiri biar bisa nangis sepuasnya, sedangkan aku, ngajak pasangan sambil bilang, “Kayaknya kamu harus nonton Film Jumbo deh!”
Yang jelas masa depan animasi Indonesia kelihatan cerah banget. Bukan hanya dari sisi teknis yang makin berkembang, tapi karena penontonnya sudah siap. Sudah matang secara emosional dan terbuka buat mencintai karya dari negeri sendiri.
Bayangkan kalau makin banyak studio berani produksi animasi. Makin banyak penulis cerita yang mau bicara jujur lewat medium visual ini. Makin banyak karakter orisinal Indonesia yang bisa hidup di layar lebar dan tumbuh bersama kita semua.
Mungkin hari ini kita terharu karena sosok Jumbo. Namun besok? Siapa tahu kita akan punya kisah tentang anak kampung yang mau jadi astronot, tentang burung kecil yang ingin pulang, atau tentang keluarga kecil yang belajar mencintai dalam kekurangan. Dan semuanya lahir dari tangan-tangan anak bangsa.
Satu hal yang pasti, kita nggak perlu lagi ragu. Animasi lokal sudah bukan karya ecek-ecek.
Baca Juga
-
'Menuju Pelaminan', Film yang Bikin Sinefil Paham, Nikah Nggak Cukup Cinta
-
Lagi Viral! Dirty Vote II o3 Rilis di YouTube dan Bongkar Oligarki
-
Review Film Good News: Lucu, Getir, dan Terlalu Jujur
-
Film Jangan Panggil Mama Kafir, Bikin Mikir Beratnya Cinta Lintas Agama
-
Mengejutkan! Rachel Amanda Stand-Up dalam Film Suka Duka Tawa
Artikel Terkait
-
4 Film Visinema Pictures Terlaris, Terbaru Jumbo Otw Empat Juta Penonton
-
Zootopia 2: Kenapa Sekuelnya Jadi Penting Buat Disney dan Penggemarnya?
-
Ulasan Film Jumbo: Petualangan Imajinasi yang Bikin Hati Jadi Hangat
-
Optimisme V-KOOL di Tengah Tren EV Berbekal Pengalaman Tiga Dekade
-
Promo MTix Hari Ini, Nonton Film Makin Seru dengan Beragam Diskon Menarik
Entertainment
-
Tak Hanya Season 3, Anime The Apothecary Diaries Siap Rilis Film Orisinal
-
Prekuel Weapons Resmi Diproduksi, Siap Ungkap Asal-usul Aunt Gladys
-
Visual Pyo Ye Jin di Taxi Driver 3 Bikin Pangling, Intip Bocorannya
-
Na Daehoon Optimis Tetap Kuat Jalani Hidup meski Tanpa Julia Prastini: Selama Ada 3 Malaikat Kecil
-
Bikin Netizen Shock! Raisa Diduga Ajukan Gugatan Cerai ke Hamish Daud
Terkini
-
Terungkap! 10 Ras Anjing yang Paling Mudah Dilatih, Cocok untuk Pemula
-
'Menuju Pelaminan', Film yang Bikin Sinefil Paham, Nikah Nggak Cukup Cinta
-
Novel Red Bromelia: Cinta yang Tak Lenyap Meski Ingatan Hilang
-
Bung Harpa Sindir Alex Pastoor: 'Kalau Tahu Tak Logis, Kenapa Diterima?'
-
Duo Korea Masuk Bursa Pelatih Thailand, Pasukan Gajah Perang Bakal Makin Sulit Ditundukkan!